Langsung Dibuang, 84 Persen Makanan Berlebih dari Hotel di Depok
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
KOMPAS/PASCAL S BIN SAJU
Ilustrasi makanan di restoran
DEPOK, KOMPAS -- Pengelolaan makanan berlebih di beberapa hotel dan restoran di Indonesia belum ditangani dengan baik atau menjadi bentuk lain yang bernilai guna. Beberapa pengelola hotel dan restoran justru cenderung membuang sampah pangan langsung ke tempat sampah.
Masalah itu terungkap dalam dialog multipihak bertajuk "Menuju Depok Kota Cerdas Pangan" di Depok, Jawa Barat, Senin (25/2/2019). "Hingga saat ini, belum ada kebijakan tertulis dari manajemen hotel, restoran, dan katering terkait penanganan makanan berlebih," kata Peneliti Lingkungan Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, Dora Kusumastuti dalam dialog tersebut.
Hasil studi berjudul "Kajian Kerangka Pengaturan dan Pengelolaan Makanan Berlebih di Hotel, Restoran dan Katering" yang dilakukan Dora menyebutkan, praktik pengelolaan makanan di hotel dan restoran saat ini berpotensi menimbulkan makanan berlebih (food waste). Sayangnya, selama ini makanan berlebih belum bisa ditangani dengan baik dan seragam.
"Penanganan yang dilakukan kepada makanan berlebih ini masih beragam, seperti dibuang, dibagikan, dan digunakan sebagai pakan ternak," ujar Dora.
Hasil studi tersebut mengindikasikan, sebesar 84 persen makanan berlebih dari hotel di Depok langsung dibuang. Sementara itu, sebesar 33 persen makanan berlebih dari restoran juga dibuang begitu saja.
Di Solo, Jawa Tengah, 52 persen makanan berlebih yang dihasilkan restoran dibuang langsung ke tempat sampah tanpa diolah. Untuk makanan berlebih di hotel sebesar 53 persen diberikan kepada karyawan atau orang di sekitar hotel.
Mayoritas pengelola hotel dan restoran dinilai Dora belum memiliki kebijakan tentang pengalokasian makanan berlebih untuk diberikan kepada pihak yang lebih membutuhkan. Mekanisme pengelolaan makanan berlebih menjadi bentuk lain yang bernilai guna juga belum ada.
Menurut Dora, upaya pencegahan melalui suatu perencanaan pengaturan bahan baku yang dapat meminimalkan munculnya makanan berlebih. Hal ini bisa dimulai dari penyiapan menu di hotel dan restoran dengan memperhitungkan jumlah tamu yang akan menikmati hidangan.
KRISTI DWI UTAMI UNTUK KOMPAS
Peneliti Lingkungan Universitas Slamet Riyadi Surakarta Dora Kusumastuti
Direktur Gita Pertiwi Ecological Studies Programme, Titik Eka Sasanti, dalam dialog itu juga mencontohkan, beberapa hotel di Solo, sudah menerapkan strategi penyediaan makanan sesuai tren. Jumlah makanan yang disajikan disesuaikan dengan jumlah makanan yang bisa dihabiskan pelanggan sehari itu.
"Misalnya, pada Senin-Jumat beberapa pengelola hotel di Solo hanya menyediakan makanan sejumlah 60-80 persen dari jumlah total tamu. Sebab, tren menunjukkan pada hari-hari kerja, jumlah pelanggan yang makan di hotel lebih sedikit," ujar Titi.
Sementara itu, pada akhir pekan para pengelola hotel di Solo baru akan menyediakan hidangan sebesar 80-100 persen dari jumlah tamunya. Sebab, tren menunjukkan pada akhir pekan tamu hotel cenderung memilih makan di hotel.
Diolah
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Depok, Iyay Gumilar, mengatakan, setiap hari Kota Depok menghasilkan 10 persen atau 135 ton sampah pangan non-rumah tangga yang berasal dari hotel dan restoran. Adapun untuk total seluruh sampah yang dihasilkan oleh Kota Depok sebesar 1.350 ton sampah.
"Dari jumlah tersebut ada sebagian yang langsung dibuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipayung, tetapi ada juga yang sudah mulai diolah oleh Unit Pengolahan Sampah menjadi pupuk kompos," kata Iyay.
Meski demikian, Iyay tidak bisa menyebutkan lebih lanjut terkait berapa persen makanan berlebih yang sudah diolah menjadi kompos.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia, Siti Khadijah Hasan, menjelaskan, perlu adanya regulasi agar para pelaku usaha disiplin mengelola makanan berlebihnya. Mekanisme pemberian hadiah dan hukuman perlu diberlakukan dalam hal ini.
"Saya menyarankan, Dinas Kesehatan Kota Depok mewajibkan pelaku usaha untuk membuat surat sanitasi pangan. Hal itu untuk menekan adanya pemborosan makanan," kata Siti.
Siti menambahkan, pelaku usaha yang sudah mengelola sampah pangannya dengan baik perlu diberi insentif. Sehingga, pelaku usaha lain menjadi termotivasi untuk bisa mengelola sampah pangannya dengan baik.
Redistribusi
Kajian Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2014 menyebutkan, sepertiga makanan yang diproduksi dunia hilang percuma dan atau menjadi sampah. Di saat yang sama, hampir satu miliar penduduk dunia mengalami kelaparan.
Hal ini sangat disayangkan oleh Dora. Menurutnya, makanan berlebih dari restoran maupun hotel dapat dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
KRISTI DWI UTAMI UNTUK KOMPAS
Suasana dialog multipihak bertajuk Menuju Depok Kota Cerdas Pangan, di Depok, Jawa Barat, Senin (25/2/2019).
Untuk makanan yang masih layak konsumsi misalnya, bisa disumbangkan kepada komunitas berbagi makanan, panti asuhan, panti jompo, rumah singgah, dan lain-lain. Solusi ini bisa menyelesaikan dua masalah sekaligus yakni mengurangi sampah pangan dan mengurangi kelaparan.
Aktivis Sekolah Relawan Depok, Abdul Manan mengatakan, selama ini, Sekolah Relawan membutuhkan banyak sumbangan makanan untuk dibagikan kepada fakir miskin, musafir, dan lain-lain. Selama ini kegiatan ini baru mendapat dukungan dari individu-individu yang ingin beramal. Mereka belum mendapatkan bantuan dari pelaku usaha, misalnya hotel atau restoran
"Jika bisa bekerja sama dengan pelaku usaha kami tentu akan sangat senang. Artinya, jangkauan kami dalam memberikan makanan gratis bagi yang membutuhkan menjadi lebih luas," ucap Abdul.
Sementara itu, makanan sisa yang sudah tidak layak konsumsi juga bisa diolah menjadi pakan ternak dan kompos. Sebab, menurut FAO, tumpukan sampah pangan bisa meningkatkan jumlah emisi gas rumah kaca. (KRISTI DWI UTAMI)