Penerapan ekonomi hijau di Kalimantan Tengah baru sebatas dokumen perencanaan. Meskipun masuk dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan di daerah, implementasi ekonomi hijau oleh pemerintah masih belum dilakukan. Pemerintah daerah masih menjadi eksploitasi lahan sebagai sumber investasi dan pemasukan daerah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Penerapan ekonomi hijau di Kalimantan Tengah baru sebatas dokumen perencanaan. Meskipun masuk dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan di daerah, implementasi ekonomi hijau oleh pemerintah masih belum dilakukan. Pemerintah daerah masih menjadi eksploitasi lahan sebagai sumber investasi dan pemasukan daerah.
Hal itu terungkap dalam diskusi dengan tema “Media dan Pembangunan Berkelanjutan di Kalimantan Tengah” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Kalteng dan Global Green Growth Institute (GGGI) Indonesia di Kalteng. Diskusi itu dilakukan di atas perahu susur sungai di Palangkaraya, tepatnya di Sungai Kahayan, Senin (25/2/2019).
GGGI sudah melakukan pendampingan penyusunan perencanaan pembangunan ekonomi hijau di Kalimantan Tengah sejak 2013 lalu. Hasilnya, Kabupaten Pulang Pisau dan Murung Raya sudah membuat rencana strategis pertumbuhan ekonomi hijau.
“Isu ekonomi hijau sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Mennegah Daerah (RPJMD) kami juga akan menerapkannya di 33 kesatuan pengelolaan hutan (KPH) di Kalteng,” ungkap perwakilan GGGI untuk Kalteng Hendrik Segah.
Dalam strategi pertumbuhan ekonomi hijau di Kabupaten Pulang Pisau salah satunya adalah penyediaan listrik dari biogas limbah pabrik (POME). Di Pulang Pisau terdapat 15 konsesi sawit di mana delapan di antarabta sudah beroperasi dengan luas tanam mencapai 141.671 hektar. Potensi POME yang dihasilkan adalah 300 ton per jam yang dinilai cukup menghasilkan satu megawatt listrik.
Selain POME, biogas juga dihasilkan dari energi limbah ternak di mana Pulang Pisau memiliki 29.140 ekor ternak termasuk sapi, babi, kerbau, dan kambing. Dari jumlah tersebut diperkirakan kotoran yang dihasilkan mencapai 260.089 kilogram per hari.
Meskipun demikian, keduanya masih sebatas rencana. Implementasinya masih terkendala berbagai macam faktor di antaranya anggaran.
Anggota Sekretariat Pertumbuhan Ekonomi Hijau GGGI Maria Ratnanningsih mengungkapkan, sama halnya dengan tubuh manusia, kesehatan ekosistem sangat bergantung pada bagaimana perawatan dan pengelolaan sumber daya alam. Harus dipastikan baik daya dukung maupun daya tampungnya.
“Jadi ini langkah besar ada kabupaten yang membuat perencanaan dan dari pertemuan beberapa kali ada perubahan paradigma tidak hanya soal untung rugi tetapi juga soal fungsi,” kata Maria.
Saat ini sedikitnya 136.928 orang yang hidup di bawah garis kemiskinan menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam. Hal itu menjadi makin rentan terhadap kerusakan lingkungan dan bencana alam.
Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng Fahrizal Fitri mengungkapkan, pihaknya berkomitmen untuk mengimplementasikan pembangunan ekonomi hijau di seluruh kabupaten. Beberapa program yang disiapkan antara lain food estate dalam bidang pertanian organik.
“Semua negara berkewajiban menurunkan emisi, ini harus diturunkan ke kebijakan termasuk di Kalteng,” ungkap Fahrizal.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Save Our Borneo Safrudin Mahendra mengharapkan, program ekonomi hijau tidak hanya nama tetapi juga implementasi. Menurutnya, program ini sangat kontradiksi dengan kondisi alam Kalteng saat ini di mana alih fungsi lahan masih terus terjadi.
Safrudin mencontohkan, di Desa Kubung, Kabupaten Lamandau, masyarakat memberdayakan durian menjadi dodol dan jenis makanan lain untuk menghidupi keluarga. Durian dan jengkol hutan menjadi komoditas andalan dan mendatangkan keuntungan.