Aedes, Si Belang yang Tak Kunjung Menghilang
Nina bobo.. Oh Nina Bobo.. Kalau tidak bobo digigit nyamuk.. Lagu anak-anak tersebut barangkali mengingatkan kita bahwa acaman gigitan nyamuk tetap mengintai sepanjang hari, sekalipun kita sedang tidur. Meski kecil, nyamuk menjadi salah satu hewan yang cukup mematikan. Berbagai penyakit bisa ditularkan melalui hewan ini.
Kewaspadaan tersebut saat ini perlu ditingkatkan terutama pada nyamuk Aedes aegypti yang menjadi penular virus demam berdarah. Kasus demam berdarah dengue (DBD) sepanjang tahun 2019 terus meningkat. Pada awal minggu pertama Januari 2019 ditemukan 3.222 kasus. Jumlah ini meningkat pesat menjadi 23.305 kasus pada 22 Februari 2019. Sebanyak 207 orang tercatat meninggal dunia akibat DBD.
Demam berdarah paling banyak menyerang Provinsi Jawa Barat (3.957 kasus), kemudian Jawa Timur (3.074 kasus), Nusa Tenggara Timur (2.179 kasus), dan DKI Jakarta (1.587 kasus). Untuk data kematian akibat DBD, korban meninggal dunia paling banyak ditemukan di Provinsi Jawa Timur (52 orang), Nusa Tenggara Timur (25 orang), dan Jawa Barat (18 orang).
Kepala Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman (UKPHP) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) Upik Kesumawati Hadi menuturkan, nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang sangat adaptif dengan kondisi lingkungan. Larva nyamuk ini semula hanya hidup di dalam rumah, terutama di penampungan air bersih di dalam rumah seperti bak mandi, vas bunga, dan penampungan air dispenser. Namun, kini larva tersebut mampu berkembang di sekitar luar rumah.
Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu dari 3.450 jenis nyamuk di dunia. Secara fisik, nyamuk ini seperti nyamuk pada umumnya dan memiliki mulut yang cukup panjang untuk menghisap sumber makanannya. Namun, pada bagian kakinya berwarna belang, hitam dan putih. Nyamuk Aedes berperan sebagai penular penyakit atau vektor penyakit demam berdarah.
Selain itu, perubahan perilaku dalam menghisap darah juga terjadi pada nyamuk dengue ini. Semula, nyamuk hanya aktif di siang hari atau disebut diurnal dan sekarang juga aktif di malam hari (nokturnal). “Hal ini menuntut kita untuk lebih waspada terhadap nyamuk yang juga mempunyai sifat mudah terusik, mampu berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain, dan menjadi vektor yang efisien menularkan virus dengue,” katanya.
Hal ini menuntut kita untuk lebih waspada terhadap nyamuk yang juga mempunyai sifat mudah terusik, mampu berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain, dan menjadi vektor penularan virus DBD.
Perubahan iklim pun turut berperan mengubah siklus hidup nyamuk demam berdarah. Suhu bumi yang semakin memanas mendukung siklus hidup nyamuk menjadi lebih cepat. Perkembangan virus dalam tubuh nyamuk juga menjadi lebih cepat sehingga transmisi virus dan sebaran ke seluruh tubuh juga cepat meluas.
Menurut Upik, langkah paling efektif mencegah penyakit demam berdarah adalah dengan menekan populasi nyamuk dengue. Upaya awal bisa dilakukan dengan menghilangkan habitat bibit atau jentik nyamuk seminggu sekali dengan 3M plus, yakni menguras bak penampungan air dengan menyikat, menutup tampungan air yang sulit dibersihkan, serta mendaur ulang barang bekas.
Ia menambahkan, cara lain adalah memantau semua wadah air yang berpotensi menjadi perkembangbiakan nyamuk aedes. Langkah ini sudah dijalankan melalui gerakan jumantik atau juru pemantau jentik.
Apabila empat langkah tersebut dijalankan secara konsisten di dalam kehidupan sehari-hari, vektor nyamuk dipastikan berkurang dan dapat terkendali sehingga tidak lagi menularkan DBD. “Menekan populasi nyamuk seharusnya tidak hanya di saat musim penghujan tetapi juga ketika kemarau. Jadi, seharusnya dilakukan sepanjang tahun,” kata Upik.
Meskipun berbagai cara sudah disosialisasikan, upaya pemberantasan nyamuk DBD belum juga berhasil. Kasus penularan masih saja ada, bahkan di tempat-tempat yang sebelumnya jarang ditemukan, antara lain dataran tinggi dan wilayah bukan endemis DBD seperti Papua.
Upik berpendapat, kendala yang terjadi saat ini yang menyebabkan sulitnya menekan populasi nyamuk DBD ada pada faktor manusianya sendiri. Manusia yang menyediakan habitat nyamuk dengue. Berdasarkan hasil penelitian dia di 8 lokasi berbeda menunjukkan, angka bebas jentik hanya 17,8 persen sampai 88,5 persen. Artinya, angka ini memberikan peluang terjadinya penularan penyakit. Sementara, untuk bebaspenularan DBD di suatu daerah diperlukan angka bebas jentik di atas 95 persen.
Pertumbuhan penduduk
Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan arus urbanisasi yang tidak terkendali juga menunjang kualitas kehidupan nyamuk. Biasanya, daerah yang padat penduduk memiliki kualitas tempat tinggal yang rendah, kekurangan air bersih, dan buruknya pengolahan limbah.
Hal lain yang menjadi kendala pemberantasan penyakit DBD adalah tingginya mobilitas penduduk. Dengan mobilitas yang tinggi, potensi penyebaran DBD dari suatu tempat ke tempat yang lainnya semakin besar. Hal ini perlu menjadi perhatian karena seringkali sumber penyakit berasal dari pusat berkumpulnya orang-orang di kota yang akan menyebar bersamaan dengan mobilitas masyarakat.
Faktor utama yang menjadi penyebab penularan DBD semakin tinggi karena rendahnya kepedulian masyarakat untuk mengendalikan nyamuk. Upik menilai, tingkat pendidikan dan pengetahuan berkorelasi positif terhadap keterlibatan seseorang dalam pencegahan terjadinya DBD di masyarakat.
Oleh karena itu, peningkatan kuantitas maupun kualitas penyuluhan kesehatan terkait DBD di lingkungan masyarakat perlu dilakukan terus menerus. Teladan dari tokoh pemimpin dan tokoh masyarakat juga sangat diperlukan untuk meningkatkan partisipasi dan kepedulian masyarakat.
Resistensi
Upaya pemberantasan sarang nyamuk atau yang dikenal 3M Plus merupakan upaya pencegahan DBD yang paling efektif. Kegiatan pengasapan atau fogging yang selama ini berjalan sebenarnya sudah tidak disarankan oleh para peneliti.
Upik menyampaikan, banyak riset terkait masalah resistensi vektor Aedes aegypti terhadap insektisida dari proses pengasapan di beberapa daerah endemik DBD di Indonesia. Penggunaan insektisida yang sama secara terus menerus dapat menimbulkan resistensi populasi. Hal ini terjadi karena adanya proses seleksi dengan hilangnya individu nyamuk yang rentan atau peka dan menyisakan individu-individu yang tahan atau resisten terhadap insektisida.
“Meskipun demikian perlu diteliti lebih lanjut kemungkinan mutasi gen yang dapat terjadi akibat pemaparan terhadap insektisida itu. Adanya mutasi gen itu dapat menjadi faktor penyebab gagalnya upaya pengendalian vektor,” ujar Upik.
Perlu diteliti lebih lanjut kemungkinan mutasi gen yang dapat terjadi akibat pemaparan terhadap insektisida itu. Adanya mutasi gen itu dapat jadi faktor penyebab gagalnya pengendalian vektor.
Penelitian lain yang sekarang masih berlanjut adalah pengendalian nyamuk dengan melepas nyamuk jantan mandul hasil iradiasi yang dikerjakan oleh Badan Teknologi Nuklir Nasional (BATAN) dan pemanfaatan nyamuk berwolbachia yang masih diteliti oleh Tim EDP Jogjakarta.
Berbagai penelitian terus dilakukan agar “Si Belang” atau nyamuk Aedes aegypti bisa dikendalikan. Harapannya, masalah kesehatan masyarakat bisa teratasi, termasuk masalah penularan deman berdarah dengue.