Mimpi Indah dan Perjalanan Nur ke Suriah Berakhir Penyesalan
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
Syahdan, pada 2015, Nur (20) memulai perjalanan menuju tempat yang ia yakini sebagai surga dunia yang bisa mengantarkannya ke surga alias kehidupan indah nan kekal di akhirat. Ketika sampai, bayangan itu sirna. Bersama ayah, ibu, dan kakaknya, Nur harus berjuang berbulan-bulan meninggalkan tanah itu: Suriah.
Perkenalan Nur dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) bermula dari internet dan media sosial yang bisa melampaui batas dan jarak. Saat itu, usia Nur baru 16 tahun. Melalui Facebook, ia bisa mendapatkan banyak informasi tentang negara yang konon menyejahterakan rakyatnya dengan berbagai fasilitas gratis, seperti fasilitas kesehatan, tempat tinggal, listrik, dan air bersih.
Dari berbagai cerita yang didapatkan di media sosial itu, Nur bertekad pergi ke negeri itu. ”Saat itu, saya melihat anak-anak Eropa berusia 15 tahun dan 16 tahun pergi ke Suriah. Saya ingin juga seperti itu,” kata Nur setelah acara diskusi film dokumenter Pengantin garapan Nur Huda Ismail di Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (23/2/2019).
Nur yang saat itu baru duduk di kelas II SMA kemudian berbincang kepada kedua orangtuanya. Ayah Nur yang seorang direktur sebuah perusahaan di Batam tidak peduli dengan keinginannya. Karena bayangan ”negeri impian” itu seperti memanggil-manggil di kepalanya, Nur mencari cara untuk mengumpulkan uang dengan cara yang ia mampu.
Perempuan itu sempat mengikuti berbagai lomba, seperti lomba foto berhadiah puluhan juta. Namun, ia selalu gagal. Akhirnya, Nur menemukan cara dengan menekan orangtuanya. Suatu hari, ia menulis surat untuk orangtuanya. ”Kalau tidak diizinkan pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS (NIIS), Nur tidak akan pulang ke rumah,” tulis Nur dalam surat itu.
Orangtuanya sempat geger dan mencarinya karena tak kunjung pulang seusai jam sekolah. Tidak sampai 24 jam, Nur kembali ke rumah. Keluarganya kemudian berbincang lama tentang keinginan Nur untuk bergabung dengan NIIS. Dengan pertimbangan paman Nur, yang sudah mengetahui tentang NIIS lebih dulu, akhirnya 26 anggota keluarga, termasuk Nur, memutuskan pergi ke Suriah dengan berbagai motivasi.
Nur mengatakan, ayahnya pergi karena ingin menjaga keluarganya. Ibu dan kakaknya pergi karena ingin mendampingi Nur. Selebihnya, keluarga yang sudah mendengar kabar NIIS ikut pergi karena, selain penasaran, mereka memiliki keyakinan masing-masing terhadap jihad.
Sesampai di Turki, tujuh orang dideportasi karena pihak keamanan mengetahui mereka akan menuju wilayah NIIS. Sisanya 19 orang berhasil masuk ke wilayah NIIS, termasuk Nur. ”Sesampainya di sana, beda banget dengan yang ada di media sosial. Di asrama putri sering terjadi pertengkaran dan asramanya kotor,” kata Nur.
Selain itu, ia melihat praktik nikah dan cerai yang lumrah. Anggota keluarga lelaki dalam rombongan itu, termasuk ayahnya, diharuskan bergabung dengan angkatan bersenjata dan berperang. Hal itu bertentangan dengan kampanye NIIS di media sosial dan internet. Para lelaki itu akhirnya bersembunyi di sebuah rumah susun yang mereka sewa.
Pada masa-masa persembunyian itu, mereka kerap berdiskusi mengenai propaganda NIIS di media sosial yang berbeda dengan kenyataan di sana. Setelah melalui diskusi dari hari ke hari, mereka akhirnya sepakat untuk keluar dari wilayah NIIS dan kembali ke Indonesia.
Pengungsian
Dalam usaha pulang ke Indonesia, mereka harus melalui berbagai rintangan. Mereka menghubungi Kedutaan Besar RI di Damaskus, tetapi tidak berhasil. Akhirnya, pada medio 2017, Nur dan rombongan bisa keluar dari wilayah NIIS. Saat itu, total rombongan adalah 17 orang karena nenek dan kerabatnya meninggal di sana.
Mereka kemudian ditampung di pengungsian. ”Dengan bantuan keluarga di Indonesia dan pemerintah, dua bulan kemudian kami kembali ke Indonesia,” kata Nur.
Saat ini, lelaki dewasa dalam rombongan itu, termasuk ayah Nur, sedang dalam proses hukum karena dianggap berperan mengurus perjalanan melalui komunikasi dengan pemandu lokal yang memberi petunjuk mereka ke Suriah.
Semua berpeluang
Peneliti Prasasti Production, Rizka Nurul Amanah, mengatakan, semua orang berpeluang bergabung dengan NIIS, bahkan sampai mau menjadi ”pengantin” bom bunuh diri. Menurut dia, bukan hanya lelaki, melainkan juga perempuan. Bukan pula hanya dari kalangan berpenghasilan dan berpendidikan rendah.
Keluarga Nur yang berkecukupan secara ekonomi dan dari kalangan terpelajar juga bisa terpengaruh. ”Benteng terakhir itu keluarga. Orang bergabung dengan NIIS motivasinya bukan lagi ideologi atau ekonomi, tetapi emosional. Ada banyak faktor, seperti pengalaman pribadi, lingkungan, dan media sosial,” kata Rizka.
Hal itu tidak hanya terjadi pada orang yang tinggal di perdesaan, tetapi juga yang tinggal di perkotaan. Rizka pernah mewawancarai 30 orang yang dideportasi dari Turki karena mereka ingin bergabung dengan NIIS. Ia mendapati, ada satu keluarga dari kalangan terdidik dan mapan finansial.
”Kepala keluarganya manajer bank di Jakarta dan mempunyai rumah di Bogor. Ternyata dia punya sentimen terhadap etnis Tionghoa. Posisinya sebagai manajer digeser oleh keturunan Tionghoa. NIIS punya propaganda anti-China, jadi cocok,” kata Rizka.
Berpikir dengan akal sehat dan saling menjaga orang terdekat adalah hal yang paling bisa dilakukan. Sebab, saat ini, siapa saja bisa menjadi teroris dan siapa saja bisa mencegahnya. Setidaknya membangun pola komunikasi yang sehat di lingkungan keluarga adalah surga sesungguhnya tanpa harus memercayai utopia di tanah nun jauh hingga mengorbankan banyak hal. (SUCIPTO)