Mengisi Kekosongan Kesadaran
Sebagai gadis kota, Siti Soraya Cassandra (31) menyadari dirinya menjauh dari alam. Ia abai terhadap sampah dan tak pernah merasakan menanam apalagi memetik aneka tanaman pangan. Ingin mengisi kekosongan kesadaran itu, ia akhirnya melompat dari zona nyaman dan menceburkan diri pada profesi yang disebutnya sebagai petani kota.
Menemui Sandra di Kebun Kumara di Pulau Situ Gintung III, Tangerang Selatan, ia bak bunga yang sedang mekar-mekarnya. Gagasannya meluap-luap untuk menumbuhkan kecintaan pada alam lewat berkebun di lingkungan terdekat, yaitu di pekarangan urban kota. Semangatnya juga menggelora meskipun tantangan yang dihadapinya tidak ringan.
Ketika diundang Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Sumpah Pemuda di Istana Presiden, tahun lalu, Sandra menyampaikan kekhawatirannya tentang turunnya minat generasi muda untuk menjadi petani. Menurut dia, susah meyakinkan orang bahwa petani itu keren jika anak-anak di kota merasa jijik memegang tanah dan belum pernah nyeker tanpa alas kaki.
Bagi Sandra, sangat penting menghadirkan kebun sebagai wahana untuk menumbuhkan kesadaran tentang alam. Kebun Kumara mengisi kekosongan kesadaran itu.
Kebun Kumara yang berlokasi di Taman Situ Gintung dinaungi pepohonan besar, seperti gaharu, pinang, sukun, dan jati. Tempat itu dipilih karena nuansa hutannya yang unik, berbeda sekali dengan suasana permukiman padat penduduk yang melingkupinya. Apalagi, lokasinya tak begitu jauh dari Ibu Kota dan Waduk Situ Gintung yang mengelilinginya.
Sepintas, Kebun Kumara ini mirip pekarangan rumah biasa. Di sekeliling rumah yang juga difungsikan sebagai kantor dan tempat pelatihan terdapat kebun dengan beragam jenis tanaman, seperti pisang, aneka sayuran, bunga, dan tanaman bumbu dapur.
Di kebun tersebut, Sandra dan tim intinya yang terdiri atas 8 orang dan dibantu sekitar 20 fasilitator freelance mengisi hari dengan padatnya agenda pelatihan.
Kebinekaan tanaman
Pelatihan berkebun diberikan, antara lain ke sekolah-sekolah yang umumnya adalah sekolah internasional, kantor, dan komunitas-komunitas. Pelatihan untuk masyarakat umum juga diberikan, baik bagi orang dewasa maupun anakanak.
”Anak kota terlalu terpisah dari alam. Jika ditanya soal alam, jawabannya, ya, gunung atau pantai. Seakan jauh dari kota, padahal halaman depan rumah juga alam yang harus dirawat,” ujar Sandra.
Dengan kurikulum yang disusun Sandra, anak-anak belajar untuk menanam benih, menyaksikannya tumbuh menjadi bibit lalu membesar. Selain praktik menanam, peserta pelatihan juga belajar mengelola sampah dapur untuk membuat kompos hingga membuat ekobrik. Tak semua bahan plastik ternyata bisa didaur ulang menjadi ekobrik.
Anak-anak juga diajak belajar makan beralas daun pisang dan minum dari gelas, bukan plastik kemasan. ”Banyak cara membuat alam hadir dalam konteks sehari-hari anak. Bukan yang jauh. Setiap tindakan berdampak langsung ke alam,” tambahnya.
Kebun Kumara yang mungil juga jadi alat pembelajaran bagi peserta pelatihan bahwa tak butuh lahan luas untuk berkebun. Dari lahan yang sempit pun, Kebun Kumara terbukti bisa rutin panen untuk diolah menjadi makanan sehari-hari.
Kebun ini menanam beragam jenis tanaman sekaligus juga mengajarkan tentang kebinekaan di hutan. Keanekaragaman tanaman itu saling menopang satu sama lain untuk pemenuhan kebutuhan pangan.
Media tanam yang digunakan fokus pada media tanam tanah karena tanah tergolong paling mudah direvitalisasi. Tanpa tambahan pupuk pun, tanah sudah mengandung unsur hara yang baik bagi pertumbuhan tanaman.
”Kita juga enggak hebat-hebat banget. Seharusnya sudah dilakukan lebih dulu. Merasa telat baru mulai. Agak tertampar. Merasa malu karena enggak peka dalam hidup sehari-hari,” kata Sandra.
Tanpa latar belakang pendidikan pertanian, Sandra yang lincah ini belajar langsung dari petani, menyambangi kampus Institut Pertanian Bogor, banyak membaca, dan bertemu dengan pelaku-pelaku di bidang pertanian. Sandra berguru tentang bagaimana menata ruang hidup dan perilaku selaras dengan alam, antara lain dari Agradaya di Sleman dan Kebun Bumi Langit di Bantul, DI Yogyakarta
Tema gaya hidup lestari dalam keseharian inilah yang kemudian ingin ditularkan lewat Kebun Kumara. ”Bagaimana agar orang kota punya pengalaman ini. Kok kita di kota dijauhkan dari ilmu mendasar seperti menanam atau asal-usul makanan? Akhirnya kita telusuri enggak pernah dapat pengalaman itu karena enggak ada tempat di kota yang ngajarin kita menanam,” ujarnya.
Kerja kantoran
Meraih gelar master psikologi dari University of Queensland, Australia, Sandra pernah bekerja kantoran sebagai social performance adviser di perusahaan minyak Shell Upstream Indonesia Services B.V. Ia pun pernah menjadi konselor bagi mahasiswa S-1 di Sampoerna School of Business. Seiring waktu, kerja kantoran ternyata tak cocok dengannya
Setelah berguru ilmu bertani ke banyak tempat, Sandra memutuskan menjalani peran lain dalam hidup yang diistilahkannya sebagai pindah kuadran.
Dari kuadran hidup yang mapan dengan pendapatan tetap, saat ini langkahnya menuju pada pembangunan bisnis di bidang pertanian yang diharapkan nantinya bisa berkelanjutan.
”Mimpinya, Kebun Kumara bisa jadi bisnis enterprise atau bisnis sosial dimana dampak sosial dan lingkungannya bisa diukur. Dampak harus berkembang seiring berkembangnya bisnis. Seiring bisnis menguat, manfaat juga meluas,” ujar Sandra.
Dia pernah mengajar bersama Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar di Lumasebu, Maluku Tenggara Barat, di wilayah yang dinobatkan sebagai kecamatan dengan kemiskinan absolut. Pengalaman itu juga menjadi bekalnya.
Selain membuat pelatihan dan menjual bibit tanaman, Kebun Kumara juga mulai melebarkan bisnis dengan menjual jasa pembuatan kebun pangan atau edible landscaping di pekarangan rumah, kantor, dan lembaga. Peminatnya ternyata cukup banyak, mulai dari keluarga muda yang ingin memberi pendidikan berkebun bagi anak, sekolah, hingga komunitas seperti komunitas perempuan pengungsidi Jagakarsa.
Dibanding hidup mapan sebagai pekerja kantoran, Sandra memilih menjalani hidup dinamis sebagai petani kota. Baginya, hakikat dari pendidikan seseorang adalah kemampuan untuk memilih gaya hidup yang sesuai jati diri.
”Bukan yang paling bergengsi atau menghasilkan banyak uang, seakan semua dinilai dari uang yang didapat. Saya menemukan banyak pelajaran hidup yang tidak saya temukan sebelumnya,” kata Sandra.
Siti Soraya Cassandra
Pendidikan:
- S-1 Psikologi Universitas Indonesia
- S-2 Psikologi University of Queensland, Australia
Pengalaman profesional:
- Pendiri, petani, dan fasilitator Kebun Kumara (2016-sekarang)
- Social Performance Adviser di Shell Upstream Indonesia Services B.V. (2013-2016)
- Pengajar Muda di Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar (YGIM) (2012-2013)
- Student Learning Officer di Sampoerna School of Business (SSB) ( 2010–2013)
Pengalaman Organisasi dan Penghargaan:
- None Jakarta Kepulauan Seribu (2010)
- Project Manager ASEAN UNI GAMES (2008-2009)
- Semifinalis ESL Australasian Intervarsity Debating Championship 2007
- Indonesia Delegation | World Schools Debating Championship (WSDC) Peringkat ke-44 Best Speaker in WSDC 2005 di Calgary, Kanada