Ketika Wartawan Dihadang Sakit
Wartawan juga manusia. Bisa sedih, stres, dan sakit. Bagi mereka yang menikmati profesinya sebagai wartawan, pekerjaan ini menawarkan kepuasan luar biasa. Namun, harus diakui, pengorbanan yang diberikan juga tidak biasa. Lupa makan, lupa istirahat karena menunggu narasumber atau mengejar peristiwa tidak jarang membawa jurnalis ke rumah sakit.
Wartawan mungkin terlalu sibuk mengejar dan merangkai peristiwa. Tanpa sadar, tubuhnya kewalahan. Akhirnya, peristiwa meninggalkannya, kabur bersama kesehatannya. Kondisi itu saya rasakan saat meliput ke kampung halaman di Makassar, Sulawesi Selatan, akhir September 2018.
Gempa bermagnitudo 7,4 yang disertai tsunami menerjang Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2019). Saat itu, dampak kerusakan akibat bencana tersebut belum diketahui. Jaringan telekomunikasi terputus. Wartawan Kompas di Palu, Videlis Jemali, hilang kontak.
Meskipun tiga tahun terakhir saya bertugas di Kompas Biro Jawa Barat Banten, tepatnya di Cirebon, namun petaka itu terasa begitu dekat. Tidak heran, karena saya lahir dan besar di Makassar. Teman-teman kuliah saya dahulu di Universitas Hasanuddin, Makassar juga banyak yang berasal dari Palu.
Untuk mengetahui dampak bencana, satu-satunya cara tentu saja harus datang ke lokasi. Entah mengapa saya punya firasat akan ditugaskan ke sana. Perasaan serupa juga terjadi ketika KMP Lestari Maju kandas di perairan Kepulauan Selayar, Sulsel, Juli tahun lalu. Saya ditugaskan ke sana untuk meliput persitiwa yang menyebabkan 36 orang meninggal dan seorang bayi hilang.
Firasat saya benar. Kantor meminta saya ke Makassar sesegera mungkin, Sabtu sore. Beruntung, istri dan anak saya yang berumur 7 bulan sedang pulang ke rumah keluarga di Kabupaten Indramayu, sekitar 56 kilometer dari Cirebon. Saya pun langsung memesan tiket kereta api ke Jakarta lalu melanjutkan penerbangan ke Makassar, Minggu dini hari.
Sebenarnya, Makassar diperkuat Kepala Biro Kompas Sulawesi dan Indonesia Timur Final Daeng bersama wartawan Reny Sri Ayu. Namun, mereka lebih dulu diminta ke Palu. Untuk sementara, saya mengisi pos di Makassar bersama wartawan Saiful Rijal Yunus yang kebetulan tengah cuti saat itu.
Sebenarnya senang rasanya bisa meliput ke kampung halaman. Bisa mendengar lagi logat dan bahasa setempat serta mencicipi kuliner khas daerah. Namun, pulang kampung kali ini sayangnya berselimut duka. Dalam perjalanan dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin ke rumah, tampak ambulans hilir mudik lengkap dengan sirenenya. Mobil itu membawa korban gempa dan tsunami di Palu. Percakapan tak pernah jauh dari bencana itu.
Ibu kota Sulsel tersebut menjadi tempat transit bagi korban dan pengungsi. Selain memiliki fasilitas kesehatan yang memadai, Makassar juga bisa dijangkau lewat darat dan udara oleh keluarga korban yang kebanyakan dari Sulsel.
Saya dan Saiful Rijal berbagi tugas untuk memantau rumah sakit, tempat pengungsian, dan Pangkalan Udara TNI AU Sultan Hasanuddin, Maros, tempat pesawat Hercules yang mengangkut korban mendarat. Seperti diketahui, gempa telah merusak landas pacu Bandara Mutiara Sis Al-Jufri, Palu, sehingga penerbangan komersial dihentikan.
Baca juga:
Liputan Gunung Meletus, Dikira Pengungsi
Belajar Langsung dari Marc Marquez
Sepekan lebih saya bolak-balik Lanud Sultan Hasanuddin, sekitar 15 kilometer dari rumah. Pagi hingga petang. Selama itu pula, tampak ratapan dan tangisan korban saat bertemu keluarga. Ada yang turun dari pesawat sambil berjalan, duduk di atas kursi roda, atau terbaring di brankar. Petugas medis dan ambulans bersiaga di sekitar landasan.
Pada saat yang sama, solidaritas untuk membantu korban seperti tanpa batas. Warga dari berbagai kalangan turun tangan. Aula di Asrama Haji Sudiang sampai tak cukup menampung bantuan dari masyarakat berbagai wilayah.
Setelah lebih dari sepekan di Makassar, saya diminta bersiap berangkat ke Palu, menggantikan Reny. Apalagi, Videlis Jemali yang juga terdampak gempa harus segera kembali ke Nusa Tenggara Timur. Keluarga sangat merindukannya. Sebelum pulang, kami sempat bertemu. Tidak banyak yang bisa diceritakan. Kami hanya berpelukan dan makan jalangkote, kuliner khas Makassar.
Nyaris Tumbang
Namun, keadaan membuat saya tak mampu pergi jauh. Saat meliput Festival Delapan yang digelar Pemkot Makassar di anjungan Pantai Losari, pada 10 Oktober, saya nyaris tumbang. Keringat dingin mengucur. Rasa sakit menusuk di ulu hati. Saya sampai memukul dada karena tak tahan. Memang, saat itu saya telat makan. Kadang "mencari makan" justru membuat kita abai untuk mengisi perut.
Padahal, saya tidak membawa biskuit dan air minum. Sebuah tindakan yang salah bagi saya yang punya riwayat asam lambung dan dua kali dirawat akibat penyakit tersebut. Perut ini baru terisi saat petang. Selama meliput acara itu hingga pukul 22.00, rasa sakit tak kunjung pergi. Obat asam lambung yang dibawa dari Cirebon juga tak berefek.
Setelah menulis dan mengirim foto, saya meninggalkan lokasi meski acara belum kelar. Lalu, berkendara menggunakan sepeda motor lebih dari 13 kilometer menuju rumah. Di rumah, saya meminta dipijit orangtua sebelum beristirahat.
Ketika bangun pagi, rasa sakit di dada hingga ke punggung masih terasa. Saya akhirnya memutuskan ke Instalasi Gawat Darurat Unhas. Di rumah sakit, terbaring sejumlah korban gempa Palu. Setelah dokter memberikan obat pereda nyeri, keadaan mulai membaik. Dokter juga meminta saya untuk menjalani pemindaian USG (Ultrasonography).
Hasilnya, mengejutkan. Hati saya membengkak. Dokter menduga, terjadi fatty liver, yakni ukuran hati membesar karena diselimuti lemak. Fungsi hati yang mengeluarkan enzim pencernaan pun terganggu. Meskipun diizinkan pulang, dokter menyarankan saya berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam.
Seorang teman bahkan menyebut saya sebagai pemeran zombie dalam film Walking Dead
Selain fatty liver, dokter juga menduga saya terkena hepatitis. Gejalanya, mata menguning, wajah pucat, lemas bukan main, dan muntah berkali-kali. Seorang teman bahkan menyebut saya sebagai pemeran zombie dalam film Walking Dead. Khusus untuk saya, tempat makan dipisahkan dan dicuci dengan air panas agar virus hepatitis tak menular. Istri dan anak saya yang datang dari Indramayu bahkan harus tidur di kamar lain.
Setelah menjalani tes laboratorium dua kali, dugaan hepatitis tak terbukti. Sementara, dokter mendiagnosis fatty liver. Ini mengagetkan. Sebab penyakit tersebut biasanya menyerang orang usia 40 – 60 tahun. Sementara saya baru berumur 27 tahun. Di sisi lain, saya tidak merokok dan tidak mengonsumsi minuman keras. Menurut dokter, penyakit tersebut bisa muncul karena pola makan tak sehat, seperti berlebihan lemak.
Kenyataannya, hasil laboratorium menunjukkan ada gangguan pada organ hati. SGOT dan SGPT, enzim yang ada dalam hati, berada jauh dari ambang batas. SGOT mencapai 192 dari batas normal di bawah 37. Sementara SGPT sampai 626, di bawah batas normal, kurang dari 42.
Sementara bilirubin, pigmen berwana kuning di dalam empedu, mencapai 25. Padahal, batas normalnya kurang dari 1. Pantas saja tubuh saya menguning. Dokter lalu menyarankan untuk istirahat dua bulan sembari mengonsumsi obat-obatan. Setidaknya, ada enam sampai delapan butir obat per hari yang harus diminum. Tugas peliputan luar negeri yang pertama di Jepang pun terpaksa dibatalkan.
Tiga pekan tanpa keluar rumah, apalagi liputan, kondisi saya malah memburuk. Nyaris tak ada nafsu makan. Paling hanya tiga atau lima sendok makan. Setelah itu, berhenti. Makanan yang masuk bahkan dimuntahkan kembali. Mual dan demam menjangkiti.
Saat kembali ke dokter, saya diminta untuk menjalani CT Scan. Hasilnya, mengejutkan. Di antara saluran empedu dan usus terdapat kerak lemak. Sumbatan yang disertai peradangan di saluran empedu ini disebut Cholangitis. Jika tidak diantisipasi, kanker hati akan menyerang. Cara untuk mencegahnya adalah tindakan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography).
ERCP merupakan tindakan medis untuk mendiagnosis atau mengobati gangguan pada pankreas, saluran, dan kantong empedu. Caranya, memasukkan alat melalui mulut hingga ke saluran yang dituju. Lalu, membersihkan sumbatan itu. Jika saluran kembali menyempit maka dipasangkan alat seperti selang plastik yang akan dibuka tiga bulan kemudian.
Sebelum menjalani ERCP, dokter harus melakukan observasi beberapa hari. Dokter residen, yang menjalani pendidikan untuk spesialis penyakit dalam, rutin mengecek kondisiku meskipun hanya sekitar 5 menit. Mereka sangat sibuk. Seorang dokter residen bercerita bahwa ia memiliki 25 pasien di tiga rumah sakit.
Kesadaran saya pun hilang seketika. Saya merasa berada di dimensi lain dan bertemu dengan kedua orangtua
Sementara seorang perawat yang sigap menjaga pasien, beberapa kali bercerita tentang kekhawatirannya terkait tunggakan BPJS Kesehatan terhadap rumah sakit tempatnya bekerja.
“Akhirnya, rumah sakit menggunakan dana cadangan yang seharusnya dipakai untuk membayar remunerasi kami dan tenaga kontrak,” ujar perawat tersebut, sembari mengomentari acara debat tim sukses calon presiden di televisi yang sama sekali tidak menyinggung persoalan kesehatan warganya.
Hilang kesadaran
Saat ERCP pun tiba. Saya diminta puasa delapan jam sebelum tindakan. Jumlah itu bertambah karena jadwal ERCP molor sekitar enam jam. Rasa lapar saat itu terkalahkan dengan perasaan deg-degan. Ini kali pertama saya memasuki ruang operasi yang dingin, lengkap dengan berbagai alat medis dan monitor.
Saya diminta tengkurap dengan tangan kiri ke atas, selayaknya Superman terbang. Tangan kanan diletakkan di atas bantal sementara kedua kaki diikat. Setelah pengukuran jantung dan tekanan darah, dokter menyuntikkan obat bius sebanyak dua kali. Kesadaran saya pun hilang seketika. Saya merasa berada di dimensi lain dan bertemu dengan kedua orang tua.
Saya kira kamu sudah meninggal. Bola matamu ke atas
Sejam berlalu dan ERCP selesai. Entah mengapa, air mata menetes saat membuka mata. Dokter melanjutkan observasinya untuk melihat efek samping dari ERCP, seperti peradangan pada pankreas, demam, mual, dan muntah. Lalu, hal mengejutkan kembali terjadi dua hari pasca tindakan.
Saya pingsan saat buang air di kamar mandi. “Saya kira kamu sudah meninggal. Bola matamu ke atas dan mengorok,” ujar mama yang berteriak memanggil perawat saat saya tidak sadarkan diri.
Saya seperti anak kecil, dipapah dan diajar berjalan. Bersyukur, saya sakit di kampung halaman, dekat dengan keluarga. Bayangkan, jika saya tumbang saat meliput di Palu. Bukannya meliput, bisa-bisa saya yang diliput. Tuhan memang mengasihi hamba-Nya.
Menurut dokter, hemoglobin (Hb) saya anjlok hingga 3,8. Padahal, normalnya berada di atas 10. Kasus ini sangat jarang terjadi. Belakangan, dokter mengatakan, saat ERCP, ada bagian yang dipotong karena kerak lemak menghalangi masuknya alat. Pembuluh darah diduga robek saat itu.
Beruntung, saat itu banyak masyarakat yang mendonorkan darahnya untuk korban gempa dan tsunami Palu. Saya mendapatkan enam labu darah untuk meningkatkan Hb. Bilirubin, SGOT, dan SGPT perlahan menurun. Setelah 15 hari di rumah sakit, saya pun diizinkan pulang dan menjalani rawat jalan. Kata dokter, saya seperti kendaraan baru, tidak bisa mencapai kecepatan tinggi. Masih perlu pelan-pelan, istirahat.
Sekitar 2,5 bulan saya istirahat dari peliputan. Saya hanya membaca sejumlah buku dan mencoba menulis dua artikel yang tayang di Kompas.id dengan judul “Di Balik Jual Beli Jabatan di Cirebon” dan “Di antara Pilihan Jadi Sebongkah Batu atau Setangkai Bunga”.
Di Balik Jual Beli Jabatan di Cirebon
Di antara Pilihan Jadi Sebongkah Batu atau Setangkai Bunga
Meskipun tidak meliput, dukungan kantor untuk kesembuhan karyawannya sangat besar. Kantor bahkan membantu dalam pembiayaan perawatan dan pengobatan. Bahkan, Kepala Biro Kompas Jabar Banten Cornelius Helmy dan Kabiro Kompas Sulawesi dan Indonesia Timur Final Daeng sempat menjenguk saya.
Pada 30 Desember 2018, kami kembali ke Cirebon dan perlahan beraktivitas normal. Pertengahan Januari 2019, saya sempat masuk IGD di Cirebon karena penyakit kambuh lagi. Mungkin, dipicu peliputan ke luar kota. Saya pun kembali berkonsultasi dengan dokter.
Sebulan kemudian, dokter menyatakan, bahwa saya sudah semakin membaik. Saya diminta menghindari makanan berlemak, seperti daging sapi dan kambing, santan, makanan cepat saji, serta harus banyak minum air putih. Saya juga disarankan istirahat delapan jam per hari dan rutin berolahraga.
Kerap kali, kita menunda mengisi perut yang keroncongan demi mengejar narasumber yang tak pasti datangnya
Kini, setiap liputan, saya membawa bekal makanan, biskuit, dan air minum. Profesi wartawan yang tidak terikat waktu kerja – bisa kapan saja – memerlukan persiapan. Kerap kali, kita menunda mengisi perut yang keroncongan demi mengejar narasumber yang tak pasti datangnya.
Benar kata wartawan senior Bre Redana dalam bukunya Memo tentang Politik Tubuh: “Hanya tubuh yang mampu menangkap jejak, saksi, sekaligus bukti dari adanya waktu…Kita berangsur tua, kusut, renta, surut…”
Liputan ke kampung halaman kali ini menjadi pelajaran berharga. Bahwa, tubuh tidak bisa diabaikan. Jangan sampai, kita baru merindukan tubuh yang prima ketika sakit menghampiri. Saat kita tengah tak berdaya.