Pergi Padat, Pulang Sesak
Sejumlah pekerja di Jakarta bermastautin di wilayah penyangga Ibu Kota, seperti Tangerang Selatan dan Tangerang. Bahkan, ada yang tinggal di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Sebagian besar dari mereka menggunakan kereta rel listrik (KRL). Cepat, sih! Tetapi setiap pagi dan petang “ular besi listrik” itu selalu sesak oleh penumpang. Di antara penumpang yang berdesakan itu, ada yang bertingkah unik sehingga mengganggu penumpang lain.
Kamis 21 Februari 2019, pukul 06.12. Wajah-wajah setengah mengantuk berjejer di peron dua Stasiun Serpong, Banten. Ada yang duduk di bangku peron, menyandarkan kepala ke tiang sambil “tidur-tidur ayam”. Bagi yang tak sabar menunggu kereta komuter, memilih berdiri di pinggir peron, menatap arah datangnya kereta.
Lima menit berselang, kereta komuter tujuan Tanah Abang, Jakarta, akhirnya datang juga. Tak ada penumpang yang turun di stasiun ini, semua sepakat menuju Jakarta: “sawah ladang” bagi sebagian penumpang kereta itu. Bagaimana tidak, penduduk Jakarta pada siang hari berjumlah 13 juta jiwa. Pada malam hari, jumlahnya tinggal 10 juta jiwa. Artinya, ada sekitar 3 juta pelaju yang berangkat dari kawasan suburban ke Jakarta dan sebaliknya setiap hari (Kompas, Minggu 4 Februari 2018).
Salah satu dari pelaju itu adalah Yohan Wahyudi (32). Saat ditemui di dalam gerbong, ia sedang jongkok di dekat pintu. Berhubung banyak penumpang yang naik, ia berdiri dan mengapit tas ke dada. “Sudah jadi kebiasaan, nyuri-nyuri waktu untuk tidur,” kata Yudi.
Suatu masa, ia pernah ketiduran dan bersandar di pintu kereta. Hampir saja ia terjengkang saat kereta berhenti di Stasiun Sudimara, Tangerang Selatan. “Untung ada penumpang lain yang membangunkan saya,” katanya.
Baca juga: Menakar Hunian Berbasis Transportasi
Pria yang rumahnya berjarak 10 menit dari Stasiun Tenjo, Kabupaten Bogor, ini sejak lima tahun terakhir menggunakan komuter ke tempat kerjanya, di Jakarta Barat. Ia bekerja di bidang percetakan. Dari rumah, ia berkendara menggunakan sepeda motor. Lalu, motor itu diparkir si Stasiun Tenjo. Pernah ia nekat menggunakan sepeda motor dari rumahnya ke tempat kerja. Ban motor itu kempes di jalan. Selain itu, macet mendera sepanjang jalan. Sejak itu, ia tak pernah berkendara menggunakan sepeda motor lagi ke tempat kerja.
Risikonya, ia harus berhadapan dengan kereta komuter yang selalu sesak. Mendapat tempat duduk saat naik komuter di hari kerja adalah sebuah keajaiban. “Kemewahan itu hanya ada di hari Sabtu, saat akhir pekan,” kata pria yang hanya libur di hari Minggu ini.
Tak ada keluhan. Semua ia terima sebagai konsekuensi untuk mendapat penghasilan yang lebih tinggi. Dia tidak menyebut total rupiah yang bisa dibawa pulang per bulan. Dia hanya memberi isyarat, “lebih mendingan daripada kerja di Tangerang maupun Bogor,” katanya.
Pernah Yohan nekat menggunakan sepeda motor dari rumahnya ke tempat kerja. Ban motor itu kempes di jalan. Selain itu, macet mendera sepanjang jalan. Sejak itu, ia tak pernah berkendara menggunakan sepeda motor lagi ke tempat kerja
Di kereta komuter yang sama, Yuni (50) tenggelam oleh penumpang lain saat berdiri di gerbong. Tingginya sekitar 155 sentimeter. Gantungan untuk penumpang yang berdiri sudah penuh. “Kalau naik KRL ya begini, diketekin sama penumpang yang lebih tinggi,” kata perempuan yang bekerja di salah satu kementerian di Jakarta ini.
Kereta kemudian berhenti di Stasiun Sudimara. Volume penumpang bertambah. Punggung penumpang satu bersinggungan dengan badan penumpang lain. Sesak, aroma parfum bercampur tiupan pendingin ruangan yang semakin menipis. Pukul 06.50, sepur modern ini tiba di Stasiun Tanah Abang, Jakarta. Sebelum turun, sebagian penumpang memesan ojek daring. Sebagian lagi berhamburan mengejar kereta selanjutnya.
Kepulangan
Setelah bekerja seharian, para pelaju ini kembali lagi ke rumah menjelang sore. Ini terpantau di Stasiun Tanah Abang, Jumat (22/2/2019). Kepadatan penumpang kereta mulai terpantau pukul 15.26. Tak sampai satu menit, tempat duduk kereta komuter tujuan Rangkasbitung, Lebak, Banten, terisi penuh.
Menurut peta daring, jarak tempuh dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Rangkasbitung berkisar 94 kilometer. Waktu tempuh menggunakan kereta komuter berkisar dua jam. Sejak setahun terakhir, Saeful Anwar Maulana (27) menjajal rute tersebut. Penuh. Berisik. Itulah kesan yang bisa ia tangkap.
Saeful bekerja sebagai staf perusahaan telekomunikasi di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sementara rumahnya berada di Rangkasbitung. Sebelum ada komuter ke Rangkasbitung atau sebelum 2017, Saeful indekos di Jakarta. Ia tak yakin menggunakan kendaraan pribadi. Jika menggunakan sepeda motor, jarak tempuh mencapai 3-4 jam.
Penumpang lain, Bai Suptajiri (36) menyatakan, ongkos bus dari Rangkasbitung ke Jakarta berkisar Rp 60.000. Sementara untuk komuter, biayanya hanya Rp 8.000.
Penumpang unik
Namun, ada harga lain yang harus dibayar. Saeful menyatakan, harga lain yang harus dibayar itu, antara lain, menekan emosi sampai titik paling ekstrem. Bagi dia, berdesakan di kereta tak lagi jadi soal. Dia sudah sangat terlatih untuk itu. Ia sengaja memilih berdiri di dekat pintu pembatas gerbong. “Masalahnya, penumpang KRL Rangkasbitung ini unik, beda dari yang lain. Kalau nurutin emosi, bisa heboh,” kata Saeful.
Ada harga lain yang harus dibayar. Saeful menyatakan, harga lain yang harus dibayar itu, antara lain, menekan emosi sampai titik paling ekstrem
Salah satu keunikan itu adalah situasi gerbong yang hiruk-pikuk. Pada Jumat petang itu, di gerbong lima, lima pemuda sedang main ludo daring. Sesekali tawa mereka pecah, mengalahkan bunyi pemberitahuan komuter. Ada pula yang saling bersahutan meski mereka berdiri di gerbong yang berbeda. “Mereka pikir KRL ini punya emaknya,” kata Saeful. Sisi kebersihan pun turut disoroti Saeful. “Istilahnya, kalau pagi gerbong ini bau (mulut) naga, sore bau ketek,” tambahnya.
Baca juga: Menembus Batas dengan Kereta Komuter
Hal ini dibenarkan oleh Hasim Subni (38), penumpang tujuan Stasiun Sudimara, Tangerang Selatan. Hasim tak mau menaiki kereta tujuan Rangkasbitung. Ia menunggu komuter yang hanya sampai Stasiun Serpong, Tangerang Selatan. Sudimara, Serpong, satu lintasan dengan Rangkasbitung. “Saya bukannya menghina, tetapi penumpang tujuan Rangkas itu memang beda. Kereta sudah kayak miliknya sendiri,” kata Hasim.
Dihubungi secara terpisah, Anggota Komunitas Anak Kereta, Fikri Muhammad Ghazi (25) menyatakan, penumpang komuter Rangkasbitung memang sering jadi “obrolan” di komunitas penumpang kereta. Menurut Fikri, implementasi etika di kereta tak sepenuhnya mereka miliki. “Ketika ditegur, mereka bilang, ‘Saya juga bayar’. Jadi karena bayar, mereka merasa bisa berbuat sesukanya,” kata salah satu admin @AnkerTwiter ini.
Fikri punya tips untuk menghadapi berbagai persoalan di dalam komuter, baik dalam menghadapi penumpang unik maupun sesak nafas oleh padatnya penumpang. Apa itu? “Jangan mengeluh! Kalau ngga mau gencet-genjetan lebih baik naik taksi. KRL padat merayap itu sudah bagian dari kehidupan urban,” kata Fikri.
(INSAN ALFAJRI)