JAKARTA, KOMPAS — Peralihan penggunaan energi berbahan bakar fosil ke energi terbarukan atau energi hijau menjadi ancaman bagi negara-negara yang menggantungkan ekonominya pada fosil. Hal itu terjadi karena tren pergeseran penggunaan energi baru lebih cepat dari perkiraan.
Bagi Indonesia yang telah menerapkan energi terbarukan, hal itu justru menjadi peluang besar. Indonesia perlu terus mengembangkan dan memanfaatkan pasar energi terbarukan itu, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Berdasarkan keterangan pers Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang dikutip Kompas pada Jumat (22/2/2019), dikatakan ada tren pergeseran penggunaan energi di dunia. Saat ini, negara-negara mulai beralih dari menggunakan energi berbahan bakar fosil ke energi terbarukan.
Bagi negara penghasil bahan bakar fosil yang tidak mampu mendiversifikasi ekonominya, tren itu mengancam mereka menjadi ”negara-negara yang ditinggalkan”. Hal ini merupakan temuan dari buku putih Forum Ekonomi Dunia, ”Berpikir Strategis: Menggunakan Pendapatan Sumber Daya untuk Berinvestasi dalam Masa Depan Berkelanjutan”.
Laporan menunjukkan, pergeseran ke energi terbarukan cenderung lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sepuluh tahun lalu, diperkirakan penggunaan energi terbarukan pada 2025 sebesar 15 persen, tetapi perkiraan saat ini mencapai 75 persen.
Pergeseran ke energi terbarukan cenderung lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sepuluh tahun lalu, diperkirakan penggunaan energi terbarukan pada 2025 sebesar 15 persen, tetapi perkiraan saat ini mencapai 75 persen.
Maha Eltobgy, Head of Shaping the Future of Long-Term Investing, Infrastructure and Development at the World Economic Forum, menyampaikan, negara-negara yang ekonominya bergantung pada bahan bakar fosil perlu bersiap dari sekarang dalam menghadapi tren ini untuk melindungi masa depan ekonomi negara.
”Negara-negara yang bergantung pada sumber daya bahan bakar fosil yang telah membangun kekayaannya untuk mengelola tantangan ekonomi harus mulai mempertimbangkan bagaimana menggunakan kekayaan tersebut untuk mempersiapkan zaman energi hijau,” kata Maha.
Lain halnya dengan Indonesia yang sudah memulai program B20 atau pencampuran 20 persen biodiesel ke dalam setiap liter solar sejak September 2018. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, keadaan ini merupakan peluang besar bagi Indonesia.
”Saat ini, pasar dari energi terbarukan semakin menguat. Sebagai negara penghasil kelapa sawit yang merupakan bahan dasar dari energi terbarukan, tentu Indonesia berpeluang dalam menjadi pemain di dalamnya,” ujar Hariyadi.
Saat ini, pasar dari energi terbarukan semakin menguat. Sebagai negara penghasil kelapa sawit yang merupakan bahan dasar dari energi terbarukan, tentu Indonesia berpeluang dalam menjadi pemain di dalamnya.
Kalau memang ingin berfokus mengembangkan program B20 bahkan hingga ke B100, Hariyadi menegaskan, ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Pertama, pemerintah serta lembaga yang terlibat harus memastikan minyak yang berasal dari kelapa sawit ini berkualitas dan aman untuk mesin.
”Selain itu, dari sisi harga juga tidak kalah penting. Jangan sampai harga energi terbarukan ini lebih mahal dari harga bahan bakar fosil. Jika demikian, tentu program ini akan ditinggalkan masyarakat,” lanjut Hariyadi.
Secara terpisah, Ketua Apindo Bidang Properti dan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar menyampaikan hal senada. Menurut dia, pemenuhan dalam negeri menjadi poin utama dalam mengembangkan program B20 guna menambah devisa negara. Setelah itu, ekspor dapat menjadi fokus selanjutnya.
Sanny menyebutkan, peluang ini menjadi kesempatan yang baik selama ada konsistensi dan komitmen dari pemerintah serta lembaga terkait lainnya dalam merumuskan program ini.
”Jangan sampai ada ketidaksepakatan antara satu kementerian dan yang lain sehingga program ini menjadi terhambat,” ujarnya. (SHARON PATRICIA)