Ketika Tak Ada Lagi Bulan Bahagia (2)
Paceklik justru dialami oleh para pedagang yang menjual atribut kampanye di tengah-tengah musim kampanye. Migrasi kampanye peserta pemilu ke media sosial, ditambah aturan baru pemilu, diduga menjadi penyebabnya.
Suasana lengang terlihat di Pasar Tanah Abang, Blok B Lantai 3, beberapa waktu lalu. Di lokasi tempat pedagang konfeksi menawarkan dagangannya itu tak banyak pembeli terlihat. Tak terlihat pula pekerja konfeksi yang sibuk menyelesaikan pesanan bernuansa kampanye.
Setali tiga uang di Pasar Senen. Di Blok III yang didominasi pedagang konfeksi, situasi pun lengang. Tak sedikit pedagang konfeksi yang memilih bermain gawai, bercengkerama dengan pedagang lain atau memilih berdiam menjaga kiosnya. Begitu pula para pekerja konfeksi yang terlihat di setiap kios. Tak ada kerjaan yang harus mereka selesaikan.
”Dulu bulan pemilu itu sebutannya bulan bahagia, tetapi sekarang enggak ada bedanya sama hari biasa,” keluh Abdul Rahman (35), salah satu pedagang atribut kampanye di Senen.
Saat ini, seperti diketahui, merupakan masa kampanye Pemilu 2019. Masa kampanye sudah dimulai sejak akhir September 2018 dan akan berlangsung hingga April mendatang.
”Beberapa orang partai tetap ada yang pesan, tetapi jumlahnya tidak banyak,” tambah Abdul.
Pada Pemilu 2009 dan 2014, rata-rata satu caleg bisa mengeluarkan uang Rp 24 juta hingga Rp 200 juta untuk belanja atribut kampanye di toko Abdul. Dengan demikian, selama masa kampanye, Abdul dan pedagang lain dipastikan bisa meraup omzet hingga lebih dari Rp 500 juta dengan mudah.
Sementara saat ini, caleg biasanya hanya memesan 1.000 kaos atau setara sekitar Rp 12 juta. Dengan kondisi itu, untuk bisa meraup omzet besar selama masa kampanye sepertinya mustahil.
Di Pasar Tanah Abang, Medi (33), salah satu pedagang pakaian, merasakan hal yang sama. Hingga kini belum ada permintaan pakaian dengan skala besar untuk kebutuhan kampanye.
”Caleg rata-rata ambil cuma 100 buah. Pernah ada satu caleg yang ambil 700 buah, tetapi hanya sekali,” ungkap Medi.
Baca juga: Warna-Warni Kampanye Caleg (1)
Pemilik toko, Novianti (36), mengatakan, dengan jumlah permintaan itu jika dibandingkan dengan Pemilu 2014 jauh lebih rendah. Perbandingan pendapatan khusus untuk atribut kampanye pada 2014 dan 2019 adalah sekitar 3 : 1.
”Jadi, kalau dulu sebulan bisa dapat Rp 30 juta, sekarang mungkin tidak lebih dari Rp 10 juta per bulan,” ujar Medi.
Pemicu perubahan
Alex Mempuar, pedagang lainnya di Tanah Abang, menduga perubahan metode kampanye para caleg menjadi penyebab para caleg tak banyak lagi memesan atribut kampanye.
Baca juga : Seperti Memilih Wakil dalam Karung (3)
Para caleg lebih memilih kampanye di media sosial yang tidak perlu biaya atau blusukan bertemu langsung dengan masyarakat yang ongkosnya lebih efisien.
”Zamannya memang udah beda, yang beginian udah enggak musim,” keluh Alex.
Selain itu, penurunan pendapatan ditengarai ada pula kaitannya dengan perubahan sejumlah aturan kampanye.
Pada Pemilu 2019, dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pemasangan alat peraga harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota. Berangkat dari hal itu, alat peraga kampanye yang dipasang dibatasi jumlahnya. Begitu pula ukurannya.
Baca juga : Jebakan di Surat Suara (4)
Tak hanya itu, UU No 7/2017 menugaskan KPU memfasilitasi pemasangan alat peraga di titik-titik yang ditetapkan oleh KPU daerah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
Jika peserta pemilu ingin menambah jumlah alat peraga di luar yang difasilitasi KPU, penambahannya dibatasi.
Ini seperti tertuang di Surat Keputusan KPU Nomor 1096/PL.01.5-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Petunjuk Teknis Fasilitasi Metode Kampanye dalam Pemilu 2019. Sebagai contoh, penambahan baliho paling banyak 5 buah di desa/kelurahan dan spanduk sebanyak 10 buah di desa/kelurahan.
Hal tersebut berbeda dengan pemilu sebelumnya, di mana peserta pemilu dibebaskan memasang sebanyak mungkin alat peraga. Alat peraga yang dipasang pun bisa berbagai macam ukuran.
Penindakan
Selain itu, penindakan oleh Badan Pengawas Pemilu dan Satuan Polisi Pamong Praja di beberapa daerah terlihat lebih tegas.
Baca juga : "Mesin" Caleg untuk Caleg (5)
Pada pemilu sebelumnya, pemasangan alat peraga kampanye di luar area yang ditentukan oleh KPU cenderung dibiarkan sehingga membuat semrawut kota. Kali ini, petugas Bawaslu dan Satpol PP lebih giat menertibkan alat-alat peraga kampanye di luar area.
”Iya memang, sekarang lebih ketat. Tidak seperti pemilu sebelumnya. Saya pernah pasang baliho di area yang ternyata dilarang, langsung dicopot,” ujar Achmad Baidowi, calon anggota legislatif (caleg) petahana Partai Persatuan Pembangunan di daerah pemilihan Jawa Timur XI (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep).
Baca juga : Perang Melawan Politik Uang (6)
Implikasi dari penindakan ini jelas menimbulkan efek jera. ”Jadi, takut orang pasang (di luar area yang ditentukan),” kata Baidowi.
Namun, implikasi lainnya, turut berimbas pada pemesanan alat peraga kampanye kepada para pedagang.
Tujuan aturan baru
Catatan Kompas saat mengikuti proses penyusunan UU Pemilu antara DPR dan pemerintah pada 2017, lahirnya aturan-aturan baru itu bukan tanpa tujuan.
Pemasangan alat peraga kampanye dan bahan kampanye dibatasi karena pembentuk undang-undang belajar dari semrawutnya pemasangan alat peraga dan bahan kampanye setiap kali pemilu digelar. Pada 2019, mereka ingin etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota tetap terjaga selama masa kampanye.
Baca juga : Gerilya Pengawas Pemilu (7-habis)
Selain itu, tujuan dari pembatasan agar tercipta keadilan dalam pemilu. Dengan dibatasi, caleg berduit ataupun yang tidak memiliki ruang yang setara saat berkampanye.
Tujuan lainnya, pembatasan diharapkan bisa mendorong peserta pemilu untuk lebih intens bertemu masyarakat, mengenalkan visi, misi, dan programnya melalui kampanye tatap muka ataupun pertemuan terbatas.
Namun, apakah tujuan itu tercapai selama lima bulan kampanye berjalan? Jawaban dari pertanyaan ini akan diulas di tulisan berikutnya, Pilih Wakil dalam Karung (3) yang akan tayang besok (23/2/2019). (FAJAR RAMADHAN/PANDU WIYOGA)