Tetap Kritis di Tengah Buaian "Sofis"
Mendekati momen pemilihan umum presiden, wakil presiden, dan legislatif, ruang-ruang publik semakin ramai dengan permainan retorika para politisi. Satu hal yang perlu diwaspadai adalah munculnya praktik sofisme atau kelihaian bersilat lidah untuk menjustifikasi kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Kelihaian beretorika memang dibutuhkan dalam sebuah kontestasi politik. Namun, lincah bersilat lidah saja tidak cukup tanpa didukung data dan fakta yang tak terbantahkan.
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara A Setyo Wibowo mengatakan, kita bebas membentuk opini apapun karena kebebasan berpendapat dijamin oleh undang-undang. Namun, semestinya kata-kata mesti dilandasi dengan data karena hanya kata-kata yang berlandaskan datalah yang perdebatannya akan menaikkan kecerdasan publik.
Namun, semestinya kata-kata mesti dilandasi dengan data karena hanya kata-kata yang berlandaskan datalah yang perdebatannya akan menaikkan kecerdasan publik.
Di era keterbelahan publik akibat kontestasi politik saat ini, opini yang berseliweran di media sosial dan media arus utama terlampau bersemangat tanpa mempedulikan lagi pada data. Sebaliknya, sebagian di antaranya justru menciptakan data-data rekaan.
“Pasca kebenaran dan fakta alternatif menjadi mantra untuk menghinotis publik sehingga masyarakat tidak tahu lagi mana data dan mana hoaks. Filsafat pun tidak lepas dari tuntutan itu. Filsafat tidak boleh melalaikan fakta keras bernama data supaya tidak menjadi obrolan yang menggelapkan, supaya tidak jatuh pada filsafat ‘KW’,” kata Setyo.
Sofisme atau kelihaian bersilat lidah disebut Setyo sebagai “filsafat KW Super Premium”. Di situ seperti terlihat ada orang yang berfilsafat meskipun filsafat yang dipaparkan tetaplah “filsafat KW” atau bukan asli.
Pada masa Yunani kuno, permainan silat lidah biasanya dilakukan oleh sofis, yaitu guru atau penulis yang berbicara mengenai berbagai tema dengan bermodalkan kemampuan bersilat lidah dan berargumentasi secara manipulatif. Adapun, tujuan seorang sofis adalah memperoleh bayaran dari pihak yang menggunakannya, bukan agar pendengarnya memperoleh pengetahuan yang benar.
Sekarang, praktik-praktik sofisme terus-menerus berlanjut. Ketrampilan beretorika (yang kadang tanpa data) masih menjadi senjata andalan publik-publik figur saat tampil di hadapan umum.
Tolak “pembusukan” filsafat
Pekan lalu, ratusan filsuf, akademisi, mahasiswa, dan peminat filsafat berduyun-duyun menghadiri Diskusi Publik filsafat di bilangan Cikini, Jakarta. Filsafat yang sepi peminat di kampus-kampus, tiba-tiba berhasil menarik ratusan orang. Mereka antusias mengikuti diskusi dengan tema “Menolak Pemiskinan dan Pembusukan Filsafat di Ruang Publik” tersebut.
Diskusi tersebut membahas fenomena belakangan ini yang mereka sebut sebagai pembusukan filsafat. Pembusukan tersebut tampak dalam dua bentuk, Pertama, filsafat digunakan untuk menjustifikasi kepentingan politik tertentu tanpa konfrontasi apakah hal tersebut menyumbang pada bonum communae (kebaikan bersama) atau tidak dan kedua, filsafat dilacurkan sebagai alat untuk tujuan subsistens semata, dan bukan lagi sebuah seni berpikir, sebagaimana dulu dipraktikkan oleh para filsuf Yunani kuno.
Ruang-ruang diskusi publik baik di dunia nyata dan virtual sekarang dibanjiri begitu banyak narasi yang semuanya saling mengklaim diri berdasarkan fakta. Bahkan, fakta pun kadang tidak dilawankan dengan kebohongan, tetapi dengan alternatif fakta. Akibatnya, masyarakat tidak tahu lagi mana yang benar dan salah.
Ruang-ruang diskusi publik baik di dunia nyata dan virtual sekarang dibanjiri begitu banyak narasi yang semuanya saling mengklaim diri berdasarkan fakta.
“Ada keresahan di level global tentang matinya kebenaran. Begitu tidak bisa dibedakannya antara kebenaran dan kebetulan, masing-masing merasa sebagai fakta,” kata alumnus STF Driyarkara Akhmad Sahal.
Masyarakat makin kritis
Menyikapi hal ini, masyarakat kini semakin kritis untuk berani mengonfirmasi dan mengklarifikasi aneka macam opini, informasi, dan pernyataan yang mereka terima. Salah satu upaya positif dilakukan cekfakta.com yang merupakan kolaborasi antara Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) bekerjasama dengan beberapa media online yang tergabung di Aliansi Jurnalis Independen dan Asosiasi Media Siber Indonesia serta didukung oleh Google Initiative, Internews, serta FirstDraft dalam rangka melawan berita bohong atau hoaks yang beredar melalui kerja-kerja jurnalistik.
Situs kolaborasi tersebut melakukan uji fakta atas pernyataan masing-masing calon presiden saat keduanya mengikuti debat kedua Pilpres, Minggu (17/2). Dengan bersenjatakan pisau analisa jurnalistik, media-media tersebut mencoba menguji pernyataan kedua calon presiden menggunakan berbagai macam referensi.
Salah satu pernyataan calon presiden nomor 2 Prabowo Subianto yang menyebut Unicorn membuat uang Indonesia lari ke luar negeri dibantah oleh cekfakta.com. Pernyataan Prabowo dinilai salah karena faktanya kehadiran unicorn atau perusahaan start up yang memiliki nilai valuasi di atas 1 miliar dollar AS justru menjadi juru selamat perekonomian Indonesia karena besarnya nilai konsumsi dan investasi dalam negeri.
Demikian pula, pernyataan calon presiden nomor 1 Joko Widodo bahwa impor beras Indonesia sejak 2014 turun diklarifikasi. Sesuai data Badan Pusat Statistik, volume impor beras tahun 2014 tercatat 844.163,7 ton, di tahun 2015 tercatat jumlahnya mencapai 861.601 ton. Bahkan di tahun berikutnya yaitu 2016, angkanya mencapai 1.283.178,5 ton.
Sayang sekali, situs kolaborasi yang mencoba menjernihkan fakta tersebut sempat diretas oleh pihak tak bertanggungjawab, Selasa (17/2/2019). Peretas mengubah tampilan wajah situs, kemudian mengalihkan pengunjung situs ke sebuah alamat video.
Sayang sekali, situs kolaborasi yang mencoba menjernihkan fakta tersebut sempat diretas oleh pihak tak bertanggungjawab, Selasa (17/2/2019).
“Tindakan peretasan yang berakibat terganggunya kerja-kerja melawan hoaks yang dilakukan oleh koalisi cekfakta.com sama saja dengan upaya mendukung penyebaran berita bohong,”kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin.
Terlepas dari kasus di atas, seiring dengan perkembangan ilmu teknologi, masyarakat kini bisa menggunakan aneka macam perangkat untuk mengecek kebenaran informasi dan opini yang bergulir. Tentu saja, itu semua bisa terlaksana jika masing-masing individu memiliki kesadaran untuk tetap kritis dan terus-menerus mau merawat nalar yang sehat.