Masyarakat Rawan Terpapar Tekfin Ilegal
JAKARTA, KOMPAS – Perusahaan teknologi finansial penyedia platform peminjaman antarpihak bisa mengisi kebutuhan kredit di Indonesia yang masih tergolong besar. Namun, masyarakat terpapar pada risiko salah memilih platform yang bebas beroperasi tanpa pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Hal ini mengemuka dalam acara Fintech Talk: How Fintech P2P Lending Can Support Financial Inclusion in Indonesia through Productive and Consumptive Loans, Rabu (20/2/2019).
Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian, dan Pengembangan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar Kasan mengatakan, pada 2016, rata-rata kebutuhan kredit secara nasional setiap tahun adalah Rp 1.649 triliun. Namun, lembaga keuangan tradisional seperti bank, asuransi, dan pembiayaan multiguna hanya mampu memenuhi Rp 660 triliun.
“Masih ada gap sebesar Rp 988 triliun. Ini mencerminkan masalah UMKM di Indonesia, mereka kesulitan mencari dana. Bank menolak karena harus ada jaminan atau agunan,” kata Munawar.
Kehadiran teknologi finansial (tekfin) platform peminjaman antarpihak (peer-to-peer/P2P lending) dapat mengatasi kebutuhan tersebut. Saat ini, sudah terdaftar 99 perusahaan tekfin yang terdaftar sebagai anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI).
Menurut Munawar, total pendanaan yang disalurkan melalui tekfin peminjaman mencapai Rp 22,67 triliun per Desemeber 2018, meningkat 784,03 persen dari tahun sebelumnya. Dalam periode yang sama, jumlah rekening debitur pun meningkat 1.579 persen menjadi 4,3 juta.
Adapun jumlah rekening kreditur tumbuh 105 persen menjadi 207.506 rekening. “Industri ini tumbuhnya luar biasa. Tantangannya sangat besar juga untuk mengatur mereka. Pertumbuhannya juga harus sehat,” kata Munawar.
Baca juga: Mengisi Gap Pembiayaan
Industri ini tumbuhnya luar biasa. Tantangannya sangat besar juga untuk mengatur mereka. Pertumbuhannya juga harus sehat.
Untuk memberi lebih banyak manfaat, Munawar menyarankan platform peminjaman bekerja sama dengan bank untuk menjangkau segmen masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan, terutama pegiat UMKM. Semakin banyak UMKM akan membutuhkan pendanaan karena meningkatnya aktivitas e-dagang.
Kendati begitu, Munawar menilai, literasi keuangan masyarakat sangat rendah sehingga kebanyakan orang tidak mengetahui cara kerja layanan keuangan yang diaksesnya. Hasil survei tahun 2016 oleh OJK, 67,82 persen responden mengakses layanan keuangan seperti perbankan, kredit multiguna, hingga saham di pasar modal. Namun, hanya 29,66 persen yang menyatakan memiliki pengetahuan akan layanan jenis-jenis keuangan.
"Akibatnya, banyak masyarakat yang gagal membayar bunga pinjaman yang tinggi dari tekfin yang tak terdaftar di AFPI. Data-data pribadi debitur juga diambil dan disebarkan sebagai cara menagih pinjaman," kata dia.
Baca juga: Platform Teknologi Finansial Ilegal Terus Bermunculan
Banyak masyarakat yang gagal membayar bunga pinjaman yang tinggi dari tekfin yang tak terdaftar di AFPI. Data-data pribadi debitur juga diambil dan disebarkan sebagai cara menagih pinjaman.
Munawar mengatakan, Satuan Tugas Waspada Investasi telah dibentuk untuk memblokir aplikasi tekfin peminjaman yang tak terdaftar sebagai anggota AFPI. Namun, OJK tidak dapat mencegah aplikasi-aplikasi ilegal tersebut untuk terus beraktivitas dengan nama berbeda.
“Saat ini, fintech (peminjaman) belum diatur dalam undang-undang sehingga kami tidak bisa mengatur. Kami hanya bisa mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak mengambil pinjaman dari fintech selain 99 anggota AFPI,” kata Munawar.
Menurut Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, AFPI bertugas meregulasi layanan keuangan anggotanya.
Chief Operation Officer MEKAR Pandu Aditya Kristy menyatakan, perusahannya bersama AFPI berkomitmen mencegah aktivitas penyaluran pinjaman dari tekfin yang tak terdaftar sebagai anggota AFPI.
Asuransi pinjaman
Di lain pihak, berbagai perusahaan tekfin peminjaman telah menyalurkan kredit untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif. MEKAR, misalnya, memberikan pendanaan kepada 45.000 usaha mikro, terutama yang dimiliki wanita, mulai dari Aceh hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).
Baca juga: Sebanyak 635 Platform Teknologi Finansial Ilegal Ditutup
Pandu Aditya Kristy mengatakan, MEKAR hanya memberikan kredit produktif, kebanyakan bernilai di bawah Rp 10 juta. Bunga yang ditanggung peminjam sekitar 20-24 persen per tahun, atau 2 persen per bulan tanpa jaminan.
"Untuk melakukannya, kami membuat tim pendamping, seperti dari koperasi atau BPR (bank perkreditan rakyat) lokal. Mereka akan mendampingi para calon peminjam uang. Dengan cara ini, NPL (rasio kredit bermasalah) kami hanya 0,5 persen,” kata Pandu.
Co-Founder sekaligus Business Development Director Taralite, Victor Timothy mengatakan, Taralite berfokus pada peminjaman bagi para pedagang di berbagai laman e-dagang. Pada 2018, Taralite menguasai 82 persen dari semua pinjaman yang diberikan kepada pedagang daring di Tokopedia, meningkat dari 60 persen pada 2017.
Sementara itu, 50 persen pinjaman bagi pedagang di Lazada juga berasal dari Taralite, meningkat dari 33 persen pada 2017. “Pinjaman kami juga diasuransikan, salah satunya oleh Mega Insurance sehingga kalau peminjam gagal bayar, kami bisa klaim,” kata Viktor.
Pinjaman kami juga diasuransikan, salah satunya oleh Mega Insurance sehingga kalau peminjam gagal bayar, kami bisa klaim.
Saat ini, Taralite memiliki 4.500 debitur dengan NPL 1,5 persen. Menurut Viktor, sistem informasinya terintegrasi dengan laman e-dagang, sehingga semua data transaksi calon debitur dapat diaksesnya. Saat ini, mesin pembelajar Taralite telah mengumpulkan cukup data sehingga dapat mengambil keputusan pemberian kredit dalam tiga detik.
Sebaliknya, Asetku memberikan pinjaman kepada para konsumen e-dagang. Direktur Asetku Andrisyah Tauladan menyatakan, kredit konsumtif dan produktif masih sulit dibedakan. Misalnya membeli ponsel baru untuk menjadi pengojek daring. Hingga saat ini, NPL Asetku masih 0 persen. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)