Agama dan kebudayaan hendaknya tidak saling bertentangan, melainkan saling merayakan dan menguatkan. Kebudayaan adalah wadah penerapan nilai-nilai agama yang universal.
DEPOK, KOMPAS — Keragaman penafsiran agama akibat perbedaan budaya memberi kekayaan perspektif dan ruang dialog. Di Indonesia, agama dan kebudayaan lokal berakulturasi sehingga memunculkan tradisi baru.
"Selama tradisi tidak bertentangan dengan nilai prinsipil agama, tidak apa-apa"kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat memberi kualiah umum yang berjudul "Islam dan Kebudayaan Indonesia" di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, Rabu (20/2/2019). Acara merupakan bagian dari perayaan ulang tahun ke-60 program studi Arab.
Lukman mengatakan, masyarakat harus memiliki kearifan untuk menghargai perbedaan dan melihat bahwa ritual suatu agama boleh saja beragam, selama nilai utama yang dianut tetap sama. Jangan sampai terjadi konflik hanya karena perbedaan tata tertib ritual, padahal tidak mempengaruhi inti keagamaan itu sendiri.
Penerapan tafsir nilai Islam di setiap wilayah, kata Lukman, berbeda-beda. Contohnya, agama Islam mewajibkan semua masyarakat menghormati harkat dan martabat perempuan. Di wilayah Timur Tengah prinsip ini dipraktikkan dengan cara tidak mengizinkan perempuan melakukan tugas-tugas yang dinilai masyarakat tidak feminin. Perempuan cukup tinggal di rumah dan dilindungi dari dunia luar hingga akhir hayat.
Sebaliknya, umat muslim di Indonesia mempraktikkan prinsip ini dengan cara memerdekakan perempuan mengenyam pendidikan setinggi yang mereka mau. Perempuan juga bisa menduduki berbagai posisi strategis seperti menjadi hakim di pengadilan agama dan ulama.
Keragaman jadi keniscayaan
Demikian pula dengan ajaran agama lain, kata Lukman, semua ajaran agama memiliki tujuan yang sama, antara lain keadilan, pemenuhan hak asasi manusia, dan larangan berbohong, mencuri, serta membunuh. Keragaman ajaran agama, aliran pemikiran di dalam satu agama, dan ritual agama merupakan sebuah keniscayaan karena pemberian Yang Maha Kuasa.
Keragaman ajaran agama, aliran pemikiran di dalam satu agama, dan ritual agama merupakan sebuah keniscayaan.
"Kuncinya adalah moderasi dalam beragama, bukan moderasi agama. Artinya, dalam mempraktikkan agama kita harus memerhatikan konteks lingkungan sekitar, tidak harfiah teks saja," katanya.
Selepas memberi kuliah di UI, Lukman membuka Festival Meyakini Menghargai yang diadakan oleh Convey Indonesia, proyek kerja sama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).
Peneliti PPIM Dani mengatakan, makna tagar Menyakini Menghargai adalah agar setiap orang yakin atas keimanan berdasarkan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing. Di saat yang sama juga menghargai keragaman insani yang ada di masyarakat.
"Sepuluh tahun terakhir ini tampak semangat keagamaan masyarakat meningkat. Akan tetapi, di dalamnya kadang terdapat paham ekstrem yang berisiko mengotak-kotakkan bangsa. Melalui proyek ini kami ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa cinta Tanah Air dan menghargai keragaman itu adalah bagian dari perwujudan nilai agama," tuturnya.
Sepuluh tahun terakhir ini tampak semangat keagamaan masyarakat meningkat. Akan tetapi, di dalamnya kadang terdapat paham ekstrem yang berisiko mengotak-kotakkan bangsa.
Sementara itu, Inayah Wahid, pendiri gerakan Positive Movement menceritakan pengalamannya bertemu dengan anak-anak muda yang mengikuti pemahaman beragama ekstrem. Mereka mengalami perubahan pikiran menjadi toleran dan menghargai kemajemukan setelah semakin banyak membaca teks serta tafsir keagamaan dan kebangsaan. Mereka juga semakin mengerti makna Bhinneka Tunggal Ika setelah bertemu saudara sebangsa yang berbeda latar belakang.