Banyak Perusahaan Gunakan ”Artificial Intelligence”
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan teknologi kecerdasan buatan semakin intensif di berbagai industri Indonesia. Bagi perusahaan, data yang dikumpulkan komputer berteknologi kecerdasan buatan dapat memberikan kemudahan bisnis. Bagi tenaga kerja, diperlukan upaya menguasai keahlian menggunakan perangkat-perangkat digital.
Direktur PT Computrade Technology International (CTI) Group Rachmat Gunawan, Kamis (21/2/2019), mengatakan, tren penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam dunia usaha akan terus meningkat hingga 10 tahun ke depan. Diperkirakan, AI akan menjadi teknologi paling disruptif di era Revolusi Industri 4.0.
AI adalah mesin berkemampuan seperti manusia, seperti analisis dan klasifikasi data, menjawab pertanyaan, dan menyusun teks. Untuk mendapatkan data yang diperlukan, mesin dilengkapi dengan sensor pengindraan manusia, seperti kamera, mikrofon untuk speech recognition (pendeteksi tutur), dan kemampuan gerak (robotik).
”Bisnis yang tidak memanfaatkan AI akan ketinggalan,” kata Gunawan.
Bisnis yang tidak memanfaatkan AI akan ketinggalan.
Berdasarkan hasil survei Asia/Pacific (Excluding Japan) Cognitive/Artificial Intelligence Adoption Survey oleh International Data Corporation (IDC) tahun 2017 yang mencakup enam industri di 10 negara, penggunaan AI oleh perusahaan meningkat.
Di Asia Tenggara, tingkat adopsi AI oleh bisnis adalah 14 persen, meningkat dari 8 persen pada 2016. Tingkat adopsi AI di Indonesia mencapai 24,6 persen, terbesar di Asia Tenggara, disusul Thailand dan Singapura.
Sebanyak 52 persen perusahaan yang disurvei menggunakan AI karena keinginan mengetahui perilaku konsumen. Sebanyak 51 persen responden menyatakan ingin meningkatkan otomatisasi dalam produksi, sementara 42 persen menyatakan ingin meningkatkan produktivitas.
Menurut Gunawan, penerapan AI telah dapat ditemui dalam produk-produk yang digunakan sehari-hari, misalnya Siri di gawai berbasis iOS atau Google Assistant di Android dengan memanfaatkan speech recognition.
Chatbot juga telah digunakan, misalnya di aplikasi Mamikos untuk mencari lokasi atau nomor telepon indekos. Aplikator ojek dalam jaringan (daring) pun juga menerapkan pengolahan data untuk mempertemukan pelanggan dengan ojek terdekat.
Sementara itu, Country Manager Aruba Indonesia Robert Suryakusuma mencontohkan, perusahaannya menyediakan kamera pemantau (CCTV) bagi toko ritel. Kamera tersebut dapat mendeteksi berapa kali sebuah barang dilihat, kemudian dibeli atau tidak dibeli.
”Data yang telah dikumpulkan dapat membantu pengelola toko untuk mengambil keputusan, misalnya memindahkan barang tersebut agar lebih mudah terlihat atau menurunkan harganya,” ujarnya.
Robert menambahkan, selain menambah efisiensi usaha, AI juga dapat memberikan nilai tambah bagi pelanggan dalam aspek pengalaman. Teknologi dibuat untuk mempermudah kehidupan manusia. Karena itu, layanan digital harus dibuat aman, sederhana, dan otomatis.
Saat ini, perusahaan rintisan memang paling cepat menerapkan teknologi AI. Namun, berbagai sektor juga sudah mulai mengadopsi AI dalam bisnisnya. Perbankan dinilai paling intensif bertransformasi secara digital. Namun, belum diketahui nilai investasi yang digelontorkan sebagian perusahaan yang telah mulai menggunakan AI.
Untuk meningkatkan adopsi AI di Indonesia, PT CTI akan mengadakan CTI IT Infrastructure Summit 2019 dengan tema ”AI for Business” pada 13 Maret 2019 di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta. Berbagai perusahaan, peneliti, dan akademisi akan memberikan pandangan mengenai penggunaan AI dalam dunia usaha.
Meski demikian, transformasi digital dinilai belum menjadi kebutuhan utama semua industri di Indonesia. Dihubungi pada Kamis (7/2/2019), Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, dunia usaha tidak perlu latah dengan istilah Revolusi Industri 4.0.
Industri padat karya, seperti perkebunan, tekstil, dan pertanian, dapat bertransformasi belakangan. ”Industri padat karya dapat menjadi solusi bagi kepentingan nasional yang lebih besar, yaitu menurunkan tingkat pengangguran,” kata Danang (Kompas.id, 7 Februari 2019).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2018, tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,34 persen. Sebanyak 124,01 juta orang memiliki pekerjaan dari total 131,01 juta angkatan kerja.
Dunia usaha tidak perlu latah dengan istilah Revolusi Industri 4.0. Industri padat karya, seperti perkebunan, tekstil, dan pertanian, dapat bertransformasi belakangan.
Tantangan
Gunawan mengakui, perkembangan AI menyebabkan tenaga kerja khawatir pekerjaannya akan digantikan mesin sehingga terjadi ledakan pengangguran. Saat AI semakin umum digunakan, akan muncul pekerjaan baru dengan keahlian yang lebih khusus.
”Saya sendiri tidak tahu jenis pekerjaan apa yang akan muncul. Soalnya, AI ini adalah gabungan dari ilmu komputer, matematika, statistika, dan bisnis. Tapi, memang akan ada pekerjaan yang tergusur,” kata Gunawan.
Ia mencontohkan, saat data raksasa (big data) semakin banyak digunakan sekitar tiga tahun lalu, kebutuhan ilmuwan data (data scientist) semakin dibutuhkan. Sementara itu, jenis pekerjaan lain, seperti teller dan pelayan pelanggan bank, akan mulai berkurang.
”Menjadi tugas pemerintah untuk mengatasi masalah ini,” kata Gunawan.
Pemerintah telah merespons Revolusi Industri 4.0. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti) Mohamad Nasir, Maret 2018, mengatakan, empat kebijakan terobosan dibuat untuk memperkuat peran perguruan tinggi.
Kemristek dan Dikti membebaskan nomenklatur program studi yang mendukung pengembangan kompetensi industri 4.0. Kuliah pendidikan jarak jauh juga diintensifkan.
Selain itu, perguruan tinggi luar negeri juga diundang untuk membuka program studi yang mendukung industri 4.0. Kebijakan keempat adalah membangun industri belajar-mengajar. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)