Banyak Anak Jadi Pelaku Begal di Depok, Polisi Bikin Pendekatan Khusus
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS - Selain proses hukum, pendekatan khusus dinilai perlu dilakukan untuk mencegah semakin maraknya begal yang dilakukan oleh anak-anak di Depok, Jawa Barat. Dari penelusuran polisi, anak-anak yang jadi pelaku begal rata-rata nilai akademik di sekolahnya rendah dan latar belakang keluarganya bermasalah.
Sejak awal tahun 2019, belasan kasus begal terjadi di Kota Depok, Jawa Barat. Terakhir peristiwa pembegalan di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok, Selasa (19/2/2019). Sekelompok pemuda yang diperkirakan masih di bawah 17 tahun tega melukai korbannya dengan celurit karena ingin mengambil ponsel milik korban.
Kejadian begal ponsel juga terjadi di Kecamatan Pancoran Mas, Depok pada Jumat (15/2/2019) dini hari. Tujuh orang pemuda yang tergabung dalam geng motor memaksa untuk mengambil ponsel warga yang sedang memasang umbul-umbul. Sedikitnya tiga orang warga menderita luka bacok di punggung dan kakinya saat mencoba menyelamatkan diri.
Sebelumnya Kamis (14/2/2019) pembegalan juga terjadi pada seorang anak SD berusia 9 tahun di Kecamatan Sukmajaya, Depok. Kala itu, pelaku melancarkan aksinya di siang hari. Pelaku memukuli, mengancam, dan mengambil sepeda milik anak SD tersebut.
Saat dihubungi, Kamis (21/2/2019) Kepala Kepolisian Resor Metro Kota Depok, Komisaris Besar Polisi, Didik Sugiarto menyesalkan terjadinya peristiwa-peristiwa pembegalan tersebut. Didik menyayangkan, sebagian dari pelaku begal yang tertangkap masih berusia di bawah 17 tahun atau anak-anak.
Motif anak-anak tersebut membegal beragam, salah satunya karena mereka ingin \'diakui\'. Menurut Didik, mayoritas pelaku begal yang masih anak-anak adalah mereka yang putus sekolah maupun yang secara akademik kurang berprestasi.
"Berdasarkan hasil indentifikasi yang kami lakukan, para pelaku memiliki kecenderungan untuk menyimpang karena mereka punya masalah di keluarga atau di rumahnya. Mereka dianggap anak bandel dan masalah bagi keluarga," ujar Didik saat dihubungi Kamis (21/2/2019).
Didik menambahkan, anak-anak yang mengalami hal-hal tersebut kemudian berkumpul dan membentuk kelompok. Di dalam kelompok tersebut biasanya hal-hal yang mereka cari bisa didapatkan seperti, didengar pendapatnya dan diterima pemikirannya. Keadaan tersebut membuat mereka nyaman dan mau untuk bertahan di \'jalanan\'.
Pada awalnya kelompok anak-anak ini hanya berkumpul biasa, namun kemudian mereka butuh biaya untuk makan dan minuman. Sebagian besar mereka belum bekerja dan memiliki penghasilan, sehingga mereka memilih jalan pintas dengan cara membegal.
Pelaku tetap kita proses secara hukum, tetapi tetap kami tangani dengan pendekatan-pendekatan khusus. Sehingga, setelah menjalani proses hukum anak tersebut tidak kembali lagi mengulangi perbuatannya
Didik menjelaskan, saat ini barang-barang yang dibegal sudah bukan lagi barang-barang bernilai jual tinggi seperti sepeda motor atau mobil, melainkan ponsel. Sebab, ponsel adalah barang yang paling mudah didapat dan paling mudah dijual.
Polresta Depok memiliki strategi khusus untuk menangani pembegalan yang melibatkan pelaku anak. Selain proses penegakan hukum, polisi menilai perlu adanya penanganan khusus yakni penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebangsaan.
"Pelaku tetap kita proses secara hukum, tetapi tetap kami tangani dengan pendekatan-pendekatan khusus. Sehingga, setelah menjalani proses hukum anak tersebut tidak kembali lagi mengulangi perbuatannya," ucap Didik.
Sementara itu, bagi anggota geng yang hanya ikut-ikutan biasanya akan diberikan pembinaan oleh Polresta Depok. Mereka diberikan pemahaman agar bisa menolak ketika diajak berbuat kriminal. Penanganan kasus seperti ini tidak bisa hanya dilakukan oleh pihak kepolisian saja, perlu adanya sinergi dari berbagai pihak.
"Kami perlu menyentuh keluarga, lingkungan hingga sekolah-sekolah. Lebih lanjut kami juga mencoba berkoordinasi dengan para pemuka agama. Sebab, di lapangan kami sering menemukan anak-anak pelaku begal ini jauh dari nilai-nilai keagamaan," tutur Didik.
Cakap mengasuh
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati setuju jika penganganan kasus begal yang pelakunya anak-anak perlu ditangani bersama. Orang tua sebagai orang terdekat si anak memegang peranan penting dalam hal ini.
"Peristiwa pembegalan ini umumnya terjadi pada malam hari. Seharusnya orang tua peka bahwa malam hari anaknya harusnya di rumah," ucap Rita.
Menurut Rita, saat ini belum semua orang tua memiliki kecakapan untuk mengasuh anak. Masih banyak orang tua yang belum mampu memahami bahwa setiap anak itu spesial.
"Yang banyak terjadi saat ini adalah anak-anak yang secara akademik tidak berprestasi di rumah dimarahi. Padahal, harusnya orang tua mengerti dan menghargai anaknya," kata dia.
Rita menilai, negara belum hadir untuk memastikan semua orang tua cakap dalam mengasuh anak. Perilaku anak yang menyimpang ini menurut Rita sedikit banyak terjadi akibat kesalahan orang tua. Sayangnya, isu kecakapan orang tua dalam mengasuh anak belum menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. (KRISTI DWI UTAMI)