Pendiri Museum Peranakan Tionghoa Kebanjiran Order
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Hari raya Imlek ataupun perayaan Cap Go Meh belum memicu lonjakan pengunjung di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang berada di BSD Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Kendati demikian, pendiri museum Azmi Abubakar kebanjiran undangan untuk menghadiri seminar tentang peranakan Tionghoa.
Berdasarkan pantauan, Rabu (20/2/2019), museum yang didirikan delapan tahun lalu itu baru buka pukul 11.45. Dalam buku catatan pengunjung, tertulis jumlah kunjungan pada bulan Februari berkisar enam sampai sepuluh orang per hari.
”Kunjungan ke museum selama Imlek masih sama dengan hari-hari lain. Hanya saja aktivitas museum di luar ruangan sangat meningkat,” kata Azmi Abubakar saat dihubungi dari Tangerang Selatan.
Azmi menuturkan, dirinya kebanjiran order untuk mengisi pameran, seminar, dan diskusi tentang peranan Tionghoa dalam berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. ”Hingga Maret, jadwal saya sudah terisi penuh,” kata alumnus Institut Teknologi Indonesia, Serpong, ini.
Dalam aktivitasnya itu, Azmi bercerita tentang sejarah tokoh Tionghoa. Cerita ini didapat dari koleksi museum yang mencapai 30.000 dokumen. Hal itu terdiri dari majalah, komik, surat, koran, buku, dan lain-lain.
Salah satu dokumen yang unik berisi surat-menyurat yang dilakukan pahlawan nasional John Lie Tjeng Tjoan atau yang lebih dikenal dengan nama Laksamana John Lie. Lie yang beretnis Tionghoa dan menjadi perwira TNI Angkatan Laut dikenal karena menyelundupkan senjata dan kebutuhan perang lainnya dari luar negeri ke Tanah Air saat perang kemerdekaan. Azmi menemukan dokumen itu ketika ada kabar rumah Lie hendak dijual.
”Peran penting museum ini adalah menyampaikan kontribusi luar biasa orang-orang Tionghoa di Indonesia, di segala sektor, termasuk militer,” kata pria asal Aceh ini.
Penjaga museum Li Fong Koo (27) menyatakan, pengunjung museum ini berasal dari berbagai kalangan. Sebagian warga Tionghoa mengunjungi museum ini untuk mengetahui sejarah leluhur mereka. Ada juga peneliti luar negeri yang datang untuk keperluan riset.
”Di samping itu, mereka datang untuk mendengar langsung cerita dari Pak Azmi. Biasanya, mereka membuat janji terlebih dahulu,” ujar Li.
Berawal sebagai pengunjung
Li baru bulan Desember lalu menjadi penjaga museum. Sebelumnya, ia berstatus pengunjung rutin museum ini. ”Dulu aku penelitian tentang wayang potehi, makanya sering mampir ke museum ini,” ucap alumnus Universitas Bunda Mulia, Jakarta, ini.
Sekarang, Li bertugas menjadi penjaga museum. Setiap bulan, ia menerima Rp 3 juta. Menjadi penjaga museum membuatnya semakin bangga menjadi orang Tionghoa.
Ia bercerita tentang sulitnya menggunakan nama Tionghoa pada masa Orde Baru. Ia menunjukkan sebuah papan nama bertuliskan Tan Lian Tjhoen. Di balik papan nama itu, tertera tulisan Djoenaedy K. ”Djoenaedy K itu nama Indonesia-nya,” kata Li. (INSAN ALFAJRI)