Hampir lima tahun berlalu, Tempat Pemrosesan Akhir Rawa Kucing di Kota Tangerang berbenah. Kini, ia jadi taman wisata edukasi, hijau, tak berbau.
Memasuki taman kawasan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Rawa Kucing, Kedaung Wetan, Neglasari, Kota Tangerang, Senin (18/2/2019) siang, sejumlah pepohonan tinggi berdiri kokoh. Hamparan hijau dari dedaunan pohon, termasuk bonsai dari berbagai jenis pohon, bentuk, dan ukuran menghias taman tersebut. Begitu masuk ke bagian yang lebih dalam, setapak paving blok membentang dengan pohon berbaris di sisi-sisinya.
“Sekarang, TPA ini semakin sejuk dan hijau. Enggak menyangka,” kata Pudji (35), warga Pinang, Kota Tangerang, yang Senin siang itu bertandang bersama dua temannya.
Sesekali, secara bergantian, Pudji dan dua temannya berhenti untuk berswafoto atau sekedar mengabadikan pemandangan asri TPA Rawa Kucing. Kupu-kupu berwarna warni dan capung yang terbang di antara dedaunan dan ranting pepohonan turut menjadi incaran jepretan mereka.
“Adanya kupu-kupu dan capung menandakan kalau udara di sini sejuk dan segar,” kata Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Rawa Kucing, Diding Sudirman, Senin. Ia dimpingi Kepala Tata Usaha UPT TPA Rawa Kucing, Marsan.
TPA Rawa Kucing adalah satu-satunya tempat menampung seluruh sampah yang tidak terkelola oleh komunitas dan bank sampah di 104 kelurahan se-Kota Tangerang.
Dalam sehari ada 1.300 ton sampah yang masuk ke tempat ini untuk diolah oleh pemulung dan pengelola TPA. Kehadiran pemulung untuk memilah sampah plastik dan kaleng, serta sepatu dan mainan anak membantu mengurangi sampah sampai ke tempat pengolahan.
“Saya sejak kecil, sekitar 15 tahun sudah ikut ayah mulung di TPA ini,” kata Sandi (52), warga Pandeglang, salah seorang pemulung di ujung zona landfill A.
“Sehari bisa mulung sekitar 10 karung plastik kresek (kantong plastik), bisa dapat 20 kg plastik gelas dan botol minuman kemasan, belum lagi sepatu bekas, kaleng, dan sampah lainnya,” tambah Sandi.
Harga sampah plastik kresek dan kaleng bekas Rp 600 per kg. Barang berbahan karet Rp 1.000 per kg, dan gelas atau botol minuman kemasan Rp 2.000 per kg- 6.000 per kg.
Sepasang suami istri, Sarmi (35) dan Endi (38) pun memilih memulung di Rawa Kucing selama 10 tahun terakhir karena dapat meraih rupiah lumayan besar. Menurut Sarmi, rata-rata pemulung di lokasi ini sudah memulung sewaktu zona G dan B di Rawa Kucing masih aktif. Setelah dua zona itu tidak aktif dan ditimbun sebagai bagian realisasi sistem sanitary landfill, mereka pindah ke zona A.
“Landfill G sudah ditutupi dengan membran untuk proses sanitary landfill. Kami mencoba tidak menggunakan tanah sebagai penutup sampah. Kami menggunakan membran sebagai perlakuan untuk mengolah sampah yang ada agar menjadi semakin menipis,” kata Diding.
Sementara di bagian belakang landfill G tampak bukit rata yang ditumbuhi pepohonan. Itu adalah landfill B yang juga tidak aktif dan sudah menjalani proses penimbunan tanah.
Di sisi kanan landfill B dan G, tampak bukit lain. “Itu Bukit Ambekan. Bukit itu berasal dari tumpukan sampah yang sudah lama ada di TPA ini,” kata Diding. Tumpukan sampah dipadatkan, sehingga tidak gampang roboh.
Etalase hidup proses pengelolaan sampah
Dari Bukit Ambekan hingga landfill A, B, G dan fasilitas lain di TPA Rawa Kucing menggambarkan proses panjang pengolahan sampah di Kota Tangerang. Dari sekedar menumpuk tanpa proses apa pun hingga menjadi Bukit Ambekan. Lalu, mulai ada sentuhan strategi yang lebih ramah lingkungan yaitu dengan sanitary landfill. Selanjutnya, babak baru pengolahan sampah, yaitu pengolahan gas metan, penataan TPA menjadi taman publik sekaligus wisata edukasi.
Dalam kawasan ini terdapat lokasi pembuatan kompos dari sampah yang berasal dari pasar. Selain itu, ada kolam yang didalamnya hidup ikan lele dan nila. Kolam ini bagian dari proses resapan air, termasuk air lindi dari tumpukan sampah di TPA. Air hasil dari sampah sudah diolah di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Sebuah tempat peristirahatan di TPA ini dilengkapi kompor gas metan yang dihasilkan dari pengolahan sampah di sana. Gas tersebut tidak pernah habis dan berhenti. Sebelumnya, kata Diding, gas tersebut sempat dialiri ke masyarakat sekitar TPA. Sayangnya, belakangan ini gas tersebut tidak dialirkan ke masyarakat karena banyak pipa yang bocor.
Perkembangan pesat fasilitas di Rawa Kucing tidak terlepas dari perluasan lahan dari awalnya 20 hektar menjadi 32 hektar. Sejak tahun 2015, kawasan ini sekaligus menjadi tempat wisata edukasi dan rekreasi.
“Tahun lalu, 2018, sampai 4.000 pengunjung per minggu. Yang akan berkunjung harus secara berkelompok dan mendaftar terlebih dulu,” kata Marsan.
Sampah yang kotor itu memang menjadi amat berharga asalkan dikelola dengan baik, sepenuh hati.