JAKARTA, KOMPAS — Jaminan pemerintah dan pemerintah daerah soal keamanan terhadap lingkungan—serta dampaknya terhadap manusia—dari pengoperasian pembangkit listrik tenaga sampah dipertanyakan. Sebab, ketentuan pengujian pencemaran dinilai belum memadai.
Pemerintah mendorong pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di satu provinsi, yakni DKI Jakarta, dan 11 kota melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Ini merupakan strategi untuk mengurangi timbulan sampah secara cepat.
Sejauh ini, teknologi yang tersedia untuk menjalankan PLTSa adalah teknologi termal, salah satunya menggunakan insinerator. Untuk mengendalikan dampak pencemaran dari pengolahan sampah secara termal, pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.70/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016.
Menurut anggota Steering Committee Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), Yuyun Ismawati, angka-angka parameter baku mutu emisi pengolahan sampah secara termal di peraturan itu sudah sesuai standar internasional. Yang menjadi masalah, keterangan terkait baku mutu itu menyebutkan bahwa pengukuran dioksin dan furan dilakukan setiap lima tahun sekali. ”Idealnya, dua kali setahun,” ucapnya, Selasa (19/2/2019).
Menurut Yuyun, ahli-ahli teknik lingkungan luar negeri menertawakan frekuensi pengukuran yang ditetapkan di Indonesia. Sebab, dioksin dan furan merupakan racun yang amat berbahaya. Dioksin dan furan terbentuk terutama jika ada PVC (polyvinyl chloride), misalnya di sampah plastik terbakar.
Bahan-bahan itu bisa dilepas lewat udara, air, dan abu. Berdasarkan studi di sejumlah lokasi di Inggris dan Islandia dekade 1990-an, air tanah dan susu sapi peternakan yang berjarak 15 kilometer dari bangunan insinerator mengandung dioksin tinggi. Dioksin bersifat karsinogenik atau memicu kanker.
Pada sisi lain, lanjut Yuyun, di Indonesia belum ada laboratorium yang mampu mengukur kadar dioksin. Negara dengan laboratorium semacam itu, yang dekat Indonesia, antara lain Singapura dan Selandia Baru. Biaya pengujian 1.500 dollar AS (sekitar Rp 21 juta) per sampel. Jumlah sampel dalam satu rangkaian pengujian setidaknya 24 sampel mengingat pengambilan mesti satu jam sekali.
Jika mampu menjalankan uji emisi secara ideal, hasil yang didapat pun belum tentu optimal merujuk adanya sejumlah operator insinerator di sejumlah negara yang berlaku curang. Caranya, sekitar sebulan sebelum jadwal pengujian, mereka rajin memilah sampah yang diolah agar tidak ada pemicu timbulnya dioksin dan furan, misalnya sampah plastik. ”Setelah lewat masa pemeriksaan, segala macam sampah dibakar,” kata Yuyun.
Masalah lainnya, Yuyun belum melihat adanya regulasi yang mewajibkan pengujian baku mutu fly ash (abu halus sisa pembakaran) dan bottom ash (kerak sisa pembakaran) pengolah sampah secara termal. Padahal, fly ash dan bottom ash termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), dan kadar dioksin paling besar menempel di fly ash dan bottom ash.
Selama ini, pembangunan insinerator didasari alasan volume sampah sudah mencapai tahap darurat. Di DKI Jakarta, 7.000-7.500 ton sampah per hari diangkut ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi. Namun, Yuyun berpendapat, telah terjadi pemilihan solusi yang tidak tepat.
Akar masalah sampah di Indonesia selama ini adalah sebagian besar (67 persen) sampah berjenis organik dan bersifat lembab. Teknologi paling efektif dan lebih murah dibandingkan dengan cara termal adalah sanitary landfill guna menangani sampah yang sebagian besarnya organik. Kadar dioksin pun rendah jika menggunakan cara ini.
”Sanitary landfill tetap dibutuhkan di kota-kota Indoneisa. Pemerintah sebaiknya jangan menghambur-hamburkan dana publik untuk menyubsidi solusi yang kurang tepat,” ujar Yuyun.
Semua upaya pengolahan sampah di Jakarta tetap harus menimbang untung-rugi, baik dalam hal pengurangan sampah maupun dampak lingkungan secara lebih luas lagi.