CIREBON, KOMPAS — Serangan demam berdarah dengue masih mengancam Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, hingga April. Selain meminta masyarakat menjaga kebersihan lingkungan, dinas kesehatan setempat juga melakukan pengasapan dan pemberantasan sarang nyamuk.
Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon mencatat, hingga pertengahan Februari 2019 terdapat 106 kasus DBD. Jumlah itu melonjak dibandingkan dengan pertengahan Januari sejumlah 10 kasus. Hingga saat ini belum ada laporan korban jiwa karena DBD.
“Berdasarkan evaluasi kami lima tahun terakhir, puncak serangan DBD terjadi pada Desember-April saat musim hujan hingga pancaroba. Jumlah kasus mulai menurun pada Mei,” ujar Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Bidang P2P Dinkes Kabupaten Cirebon Sartono kepada Kompas, Rabu (20/2/2019), di Cirebon.
Tahun lalu, pihaknya mendata 215 kasus DBD dengan delapan korban jiwa. Pada 2017 tercatat 274 kasus dengan korban meninggal tujuh orang. Kasus terparah terjadi pada 2006 dengan jumlah kematian mencapai 62 orang dari 1.524 kasus.
Berdasarkan evaluasi kami lima tahun terakhir, puncak serangan DBD terjadi pada Desember-April saat musim hujan hingga pancaroba. Jumlah kasus mulai menurun pada Mei.
Untuk mencegah kasus DBD meluas dan kembali menelan korban jiwa, Penjabat Bupati Cirebon Dicky Saromi telah menerbitkan surat kewaspadaan dini kejadian luar biasa DBD pada 31 Januari. Surat itu ditujukan kepada kepala satuan kerja perangkat daerah, camat, dan direktur rumah sakit se-Kabupaten Cirebon.
Surat itu antara lain berisi peningkatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dari keluarga, masyarakat, hingga sekolah. Caranya dengan melaksanakan 3M; menguras dan menutup rapat semua penampungan air serta mengubur atau mendaur ulang barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air.
”Kami juga sudah memberikan data kasus DBD dalam lima tahun terakhir kepada kuwu (kepala desa). Kami sempat mengusulkan agar dana desa dimanfaatkan untuk PSN, tetapi sejumlah kuwu malah marah-marah,” ujar Sartono. Padahal, lanjutnya, DBD bisa dicegah jika lingkungan bersih.
Pihaknya telah melakukan 16 kali pengasapan fokus (fogging) agar kasus DBD tidak meluas. Pengasapan dilakukan jika terdapat dua orang menderita demam tinggi dalam satu lokasi. Indikasi kedua ialah rumah yang bebas jentik nyamuk kurang dari 95 persen. Bahan untuk pengasapan, ujarnya, berasal dari Dinas Kesehatan Jabar.
Namun, Sartono mengakui pengasapan tidak efektif karena hanya membunuh nyamuk dewasa, bukan jentik nyamuk. ”Sayangnya, masyarakat menganggap fogging menyelesaikan masalah. Malah perilaku warga berubah, tidak lagi melakukan gerakan 3M,” ucapnya.
Untuk itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon menurunkan juru pemantau jentik yang berada di 60 puskesmas. Para jumantik mengingatkan warga untuk melaksanakan 3M. Mereka tidak hanya mengecek tempat penampungan air di rumah warga, tetapi juga membagikan bubuk pemberantas jentik nyamuk. Tercatat 976 kader jumantik tersebar di 424 desa/kelurahan.
Akan tetapi, PSN belum berjalan rutin dan menyeluruh. Ubaidillah (39), warga RT 001 RW 012 Kelurahan Perbutulan, Kecamatan Sumber, mengatakan belum pernah didatangi jumantik. Padahal, petugas telah melakukan dua kali fogging di kelurahan itu.
”Selama ini, kami sudah menguras ember kamar mandi tiga hari sekali untuk mencegah DBD,” ujarnya. Meski telah berupaya, guru di sekolah menengah atas di Cirebon itu menjadi korban DBD dan dirawat selama 10 hari. Saat itu, ia menderita demam tinggi hingga 40 derajat celsius.
”Untung anak saya sedang berada di pondok pesantren. Kalau di rumah, mungkin dia terkena juga. Di sekitar sini, selain saya, ada dua anak terkena DBD,” ujarnya.
Sartono menuturkan, upaya PSN belum menyeluruh. Salah satu kendalanya adalah anggaran untuk jumantik di setiap puskesmas yang berasal dari biaya operasional kesehatan baru turun sekitar Maret. ”Padahal, puncak DBD, kan, mulai Desember. Seharusnya pencegahan bisa dilakukan sebelum itu,” ujarnya.
Kepala Puskesmas Waruroyom Fardan Salahuddin mengatakan, pihaknya bersama jumantik telah berupaya mencegah penyebaran DBD melalui PSN dengan berkeliling dari rumah ke rumah. Namun, jumlah petugas terbatas. Puskesmas Waruroyom, misalnya, yang membawahkan 12 desa hanya memiliki belasan jumantik. Padahal, terdapat 13.866 rumah yang harus mereka datangi.
”Seharusnya setiap rumah ada satu jumantik. Apalagi, ini untuk kebaikan warga sendiri. Saat ini, kami akan mencoba strategi tersebut di tingkat blok, bukan desa,” ujarnya.