Aturan Pajak ”Homestay” dan Hotel Berbintang Disamakan
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan perpajakan dinilai belum mendukung program prioritas pemerintah di bidang pariwisata. Selama ini aturan pengenaan pajak untuk pengembangan rumah inap (homestay) disamakan dengan hotel berbintang, bahkan satu homestay bisa dikenai empat pajak di daerah. Hal itu berpotensi melemahkan daya saing pemain lokal.
Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia Haula Rosdiana mengatakan, pelaku usaha memang bisa dikenai pajak berganda karena basis pungutan berdasarkan konsumsi, pendapatan, dan kekayaan. Namun, postur pajak yang lebih ideal masih bisa dikaji ulang untuk mendukung program prioritas pemerintah, terutama di sektor pariwisata.
Selama ini, lanjut Haula, pemilik homestay di desa wisata setidaknya menanggung empat jenis pajak daerah, yaitu pajak hotel maksimal 10 persen, pajak bumi dan bangunan sektor perkotaan dan perdesaan (PBB-P2), pajak penerangan jalan, serta pajak air tanah. Mereka juga masih harus membayar pajak usaha mikro kecil menengah (UMKM) berupa PPh 0,5 persen final.
”Hampir di semua daerah, aturan pengenaan pajak untuk homestay dan hotel berbintang dipukul rata. Pengenaan pajak seharusnya bertingkat atau leveling tariff sehingga tercipta keadilan,” ujar Haula dalam fokus grup diskusi bertema kebijakan pajak homestay desa wisata, di Jakarta, Rabu (20/2/2018).
Homestay di desa wisata setidaknya menanggung empat jenis pajak daerah. Hampir di semua daerah, aturan pengenaan pajak untuk homestay dan hotel berbintang dipukul rata.
Menurut Haula, pengenaan pajak hotel sebesar 10 persen seharusnya tidak dipukul rata antara pengusaha besar dan kecil. Peraturan daerah sangat mungkin memuat skema tarif bertingkat mulai dari bisnis berskala kecil, menengah, hingga besar. Artinya, pajak hotel dikenakan secara progresif sampai maksimal 10 persen seiring dengan pertumbuhan keuangan usaha.
Insentif yang juga bisa diberikan berupa pengurangan pajak PBB-P2. Selama ini, pengusaha tidak mendapat kepastian membayar pajak PBB-P2 karena nilai jual obyek pajak (NJOP) bisa dinaikkan pemerintah daerah setiap tahun.
”Intinya, masih ada ruang untuk menunjukkan pajak sebagai economicandsocial engineering,” lanjut Haula.
Asisten Deputi Pengembangan Infrastruktur dan Ekosistem Pariwisata Kementerian Pariwisata Indra Ni Tua mengatakan, pengembangan pariwisata kini menjadi program prioritas pemerintah untuk meningkatkan devisa dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Ada tiga strategi utama yang diusung, yaitu digitalisasi pariwisata, pengembangan homestay, dan konektivitas udara.
”Yang membatasi gerak kita adalah peraturan kita sendiri. Beberapa kebijakan fiskal terutama insentif pajak harus dibenahi agar sejalan dengan program prioritas,” kata Indra.
Yang membatasi gerak kita adalah peraturan kita sendiri. Beberapa kebijakan fiskal terutama insentif pajak harus dibenahi agar sejalan dengan program prioritas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada 2018 sebanyak 15,81 juta kunjungan. Tahun ini, pemerintah menargetkan 20 juta kunjungan wisman dengan perolehan devisa 20 miliar dollar AS.
Devisa pariwisata juga ditargetkan tumbuh menjadi 40 miliar dollar AS pada 2024. Pada 2024, kontribusi industri pariwisata terhadap total produk domestik bruto (PDB) diharapkan 7 persen dan serapan tenaga kerja 15 juta orang.
Target ”homestay”
Ketua Tim Percepatan Pengembangan Homestay Desa Wisata Kementerian Pariwisata Anneke Prasyanti mengatakan, pemerintah menargetkan 10.000 homestay dalam kurun tahun 2017-2019. Syarat homestay harus berlokasi di desa wisata, dikelola oleh komunitas lokal, dan memiliki unsur keunikan lokal, baik budaya maupun arsitekturnya.
”Saat ini, homestay sudah berjumlah 2.968 unit di 174 desa wisata. Homestay itu ada hasil renovasi, konversi, dan bangun baru,” ujar Anneke.
Selain itu, tim percepatan pengembangan homestay juga mengidentifikasi kembali fungsi homestay. Selama ini banyak pemilik usaha yang mangkir dari kewajiban pajaknya dengan modus bisnis homestay. Mereka, misalnya, memiliki puluhan kamar, tidak dihuni bersama pemilik, dan disewakan tidak sesuai fungsinya.
Kepala Subdirektorat Peraturan PPh Direktorat Jenderal Pajak Wahyu Santosa menambahkan, jenis pajak yang ditarik pemerintah pusat adalah PPh 0,5 persen untuk usaha dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar. PPh UMKM itu sudah direlaksasi dari awalnya dikenai 1 persen. Adapun usaha dengan omzet di atas Rp 4,8 miliar dikenai PPh final.
”Kebanyakan pajak mengenai pengembangan hotel atau homestay masuk ke kas daerah,” kata Wahyu.