Musik Aceh, Antara Lokalitas dan Tantangan Peradaban
Di tengah determinasi musik nasional, Barat, dan Bollywood, industri musik lokal di Aceh masih berkibar. Seiring kemajuan teknologi digital, grup musik dan produser dari kalangan anak muda bermunculan. Karya mereka kreatif, modern, tetapi tetap mempertahankan karakter keacehan.
Kehadiran grup musik Apache 13 dan Rialdoni disambut baik warga Aceh. Dua grup musik Aceh itu menjadi pelepas dahaga warga terhadap rasa haus menanti lagu Aceh yang punya karakter. Lagu-lagu yang dinyanyikan Apache 13 bernuansa reggae dan ska dengan lirik yang nakal dan jenaka.
Adapun Rialdoni membawa aliran pop Melayu. Lagu Rialdoni lebih banyak bicara tentang perasaan, seperti jatuh cinta atau kecewa. Meski menyasar pasar anak muda, keduanya mendapatkan tempat yang baik di hati orang Aceh.
Nazar Shah Alam, pendiri sekaligus vokalis Apache 13, menuturkan, awalnya dia tidak menyangka lagu-lagu Apache 13 akan disambut gegap gempita publik Aceh. Album pertama yang diluncurkan pada 17 Desember 2016 terjual sebanyak 34.000 keping compact disc (CD). Album perdana berjudul Bek Panik atau jangan panik itu berisi 10 lagu, semua dalam bahasa Aceh.
Tak lama setelah dirilis ke pasar, lagu ”Bek Panik” diputar di banyak kedai kopi di Aceh. Kemudian, bek panik menjadi kata-kata yang sering diucapkan saat ngobrol ringan atau menulis status di media sosial.
Baca juga: Keubitbit: Aceh Punya Musik
Lagu ”Bek Panik” ini bercerita tentang seorang anak muda yang berpisah dari kekasih. Namun, Apache 13 mengingatkan, lelaki itu tidak boleh putus asa sebab putus cinta sesuatu yang biasa. Hilang satu berganti sepuluh. Makanya, tidak perlu panik dan harus tetap melangkah.
Kata Nazar, lagu Apache 13 mudah diterima publik karena mengangkat tema yang akrab dengan kehidupan sehari-hari, seperti mahasiswa tingkat akhir, cinta remaja, nasihat agama, dan pertemanan. Publik pun merasa sangat dekat dengan cerita di dalam lagu. ”Namun, karakter kami yang jenaka dan melawan arus tetap menjadi kekuatan. Kami juga antiplagiat,” ucapnya.
Contoh lagu yang melawan arus, kata Nazar, berjudul ”Peugah Ju” atau katakan saja. Nah, lagu ini punya tokoh seorang laki-laki antagonis. Lelaki ini telah memiliki pasangan, tetapi dia merasa tidak lama lagi hubungan itu akan berakhir dan meminta perempuan lain untuk mempersiapkan diri menyampaikan cinta kepada dirinya. ”Biasanya tokohnya selalu disakiti, tetapi Apache membuat tokoh utama yang menyakiti. Kami ingin tampil beda,” katanya.
Sukses di album pertama, Apache 13 meluncurkan dua album selanjutnya pada 30 September 2017 dan 2018. Saat ini, Apache 13 sedang mempersiapkan album keempat yang direncanakan dirilis Maret 2019.
Lagu Apache 13 mudah diterima publik karena mengangkat tema yang akrab dengan kehidupan sehari-hari, seperti mahasiswa tingkat akhir, cinta remaja, nasihat agama, dan pertemanan.
Aspek bisnis
Dari sisi bisnis, album Apache 13 cukup laris. Album kedua terjual sebanyak 15.000 keping CD dan album ketiga terjual 25.000 keping CD. Keuntungan dari penjualan CD sebesar Rp 7.000 per keping. Artinya, dari tiga album, Apache 13 mendapatkan Rp 518 juta.
Pendapatan Apache 13 dari konser juga tidak kalah besar. Sepanjang 2017-2018, Apache 13 telah tampil di panggung sebanyak 92 kali dengan tarif Rp 15 juta sampai Rp 20 juta sekali konser. Artinya, dari kegiatan konser saja, Apache 13 mendapatkan pemasukan kotor Rp 1,3 miliar lebih.
Bukan hanya itu, lagu-lagu itu kemudian diunggah ke kanal Youtube. Lagu Apache 13 di akun resmi mereka sudah ditonton sebanyak 2,6 juta kali. Dari iklan Youtube, mereka memperoleh pendapatan Rp 3 juta per bulan. Mereka juga memasarkan lagu menjadi nada sambung pribadi (NSP) untuk panggilan telepon. Dari NSP, pemasukan mereka Rp 2 juta per bulan.
Baca juga: Layanan Daring Jadi Masa Depan Industri Musik
Apache 13 beranggota lima orang dan semuanya masih berusia muda, bahkan ada yang kuliah. Uniknya, album diproduksi oleh anggota sendiri, mulai dari mencipta lagu, merekam gambar, dan mengedit video. Alat yang digunakan hanya kamera DSLR dan mirrorless tipe standar. Satu album menghabiskan biaya produksi Rp 40 juta. Nazar berpendapat, industri musik Aceh masih cukup cerah.
Nada optimistis juga disampaikan produser grup musik Rialdoni, Amri Amzoka. Album perdana Dara Gampong atau gadis desa pada Agustus 2018 telah terjual 17.000 keping CD. Rialdoni membawa musik pop Melayu. Karakter lagu Rialdoni syahdu dan mendayu-dayu. ”Kekuatan lagu kami pada lirik, kami yakin semua orang pernah jatuh cinta sehingga tema ini tetap laku,” ujar Amri.
Penetrasi digital berdampak positif dengan memunculkan banyak produser mandiri, anak-anak muda, yang merilis lagu langsung ke kanal Youtube.
Namun, sebagai pemain baru di belantika musik, awalnya Amri ragu-ragu apakah publik aman menerima kehadiran Rialdoni. Setelah mendapat sambutan hangat di album perdana, kini mereka sedang menggarap album kedua dan rencana diluncurkan pertengahan 2019.
Keberadaan Youtube juga mendongkrak pendapatan Rialdoni. Lagu-lagu itu diunggah ke Youtube dan ditonton jutaan orang. Lagu ”Rindu” dalam album perdana ditonton lebih dari 3,6 juta kali. Pemasukan dari iklan Youtube mencapai Rp 12 juta dalam sebulan.
Pasang surut
Industri musik Aceh mengalami pasang surut seturut perkembangan zaman. Pada era 1990 hingga 2000, industri musik tidak begitu berkembang. Namun, kala itu, lagu Aceh menjadi saluran bagi seniman untuk melawan konflik. Lewat lirik dan nada, mereka menyuarakan isi hati warga Aceh yang menuntut keadilan.
Bahkan, lagu-lagu seperti ”Nyawong” (nyawa) dan ”Referendum” pernah dicekal oleh militer. Lagu-lagu itu dianggap provokatif dan membakar semangat patriotisme warga Aceh. Produser dan penyanyi diburu oleh militer.
Mantan Ketua Asosiasi Industri Rekaman Aceh Syeh Ghazali menuturkan, beberapa tahun pascadamai tahun 2005, industri musik Aceh mencapai puncaknya. Pada 2012, kehadiran musisi Rafly Kande dengan musik etnik membuat industri musik lokal Aceh bergairah. Kala itu, jumlah produser mencapai 67 orang.
Namun, sejak 2015, saat penetrasi digital kian kuat, perlahan industri musik meredup. Bahkan, jumlah produser tersisa 10 orang. Akan tetapi ada positifnya, yakni banyak bermunculan produser mandiri, anak-anak muda, yang merilis lagu langsung ke kanal Youtube. ”Modalnya kecil, tetapi mereka lebih kreatif dan materi semakin bagus,” katanya.
Syeh berujar, industri musik lokal secara offline dengan cara cetak CD tidak lagi menjanjikan sebab semua kini serba digital. Namun, katanya, walau beralih platform, musik lokal tetap akan mendapatkan tempat di hati warganya. Dengan kedekatan emosional pada lirik dan nada, industri musik Aceh diyakini bakal melintasi zaman.