Komunitas Multietnis Semarakkan Festival Cap Go Meh di Singkawang
SINGKAWANG, KOMPAS — Festival Cap Go Meh 2019 di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Selasa (19/2/2019), berlangsung semarak. Festival itu dimeriahkan 1.060 tatung dan partisipasi dari 17 paguyuban multietnis di Singkawang.
Acara dimulai pukul 07.30 dengan tarian pembukaan. Puluhan pemuda-pemudi dari berbagai etnis di Singkawang, dengan masing-masing pakaian adat, menyatu dalam tarian pembuka. Tarian itu menunjukkan keberagaman yang ada di Singkawang.
Pusat perayaan Festival Cap Go Meh dilaksanakan di sepanjang Jalan Diponegoro. Setelah tarian selesai, tibalah saatnya parade 1.060 tatung yang sangat ditunggu-tunggu pengunjung. Tatung merupakan sekelompok orang yang menunjukkan aksi kekebalan tubuh. Mereka diarak menggunakan tandu berkeliling di jalan-jalan utama Singkawang.
Para tatung tidak hanya berasal dari etnis Tionghoa, tetapi juga Dayak. Mereka menggunakan pakaian tradisional Tionghoa, misalnya pakaian prajurit pada masa kerajaan tempo dulu. Ada pula yang menggunakan pakaian adat Dayak. Selain itu, ada pula parade replika 12 naga, masing-masing sepanjang 20 meter.
Ribuan warga memadati sepanjang jalan-jalan utama Singkawang. Mereka terutama ingin menyaksikan parade tatung tersebut. Bahkan, sebagian ada yang sudah menunggu sejak pagi hari untuk mengambil posisi yang sesuai keinginan.
”Saya setiap tahun datang ke Singkawang untuk menyaksikan parade tatung. Parade tatung ini unik, hanya ada di Singkawang. Kalau di tempat lain, Festival Cap Go Meh tidak seramai di Singkawang,” ujar Aan (30), salah satu pengunjung.
Demikian juga dengan Jamal (40), pengunjung lain dari Kota Pontianak. Ia tiba di Singkawang pada Selasa pagi dan langsung menuju lokasi Festival Cap Go Meh. Sebab, acara itu hanya dihelat setahun sekali dan sangat khas dengan atraksi tatung.
Baca juga: Antisipasi Tamu Membeludak, Pemkot Singkawang Siapkan Rumah Inap dan Indekos
Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie mengatakan, Cap Go Meh ini semakin mengukuhkan Singkawang sebagai kota paling toleran se-Indonesia yang diraih Singkawang pada 2018 dari Setara Institute. Acara ini melibatkan lintas etnis.
”Saya mengucapkan terima kasih kepada paguyuban multietnis di Singkawang yang berpartisipasi dalam cara ini. Keharmonisan ini menjadi modal bagi pembangunan di Singkawang,” ujarnya.
Penjabat Sekretaris Daerah Kalbar, Syarif Kamaruzaman, mengatakan, akulturasi dalam acara tersebut menambah khazanah dalam kebinekaan. Dari keberagaman ini diharapkan persatuan dan kesatuan terus terjaga.
”Cap Go Meh yang khas di Singkawang ini membuat daerah menyimpan potensi budaya unik. Pupuklah rasa cinta Tanah Air di mana pun berada karena itu modal bagi kemajuan,” ujarnya.
Cap Go Meh yang khas di Singkawang ini membuat daerah menyimpan potensi budaya unik.
Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam sambutannya mengatakan, Cap Go Meh Singkawang masuk dalam salah satu dari 100 agenda nasional. Setiap agenda ada dua nilai, yakni kultural dan komersial. Dari sisi kultural, Cap Go Meh adalah identitas budaya pemersatu bangsa. Dari sisi komersial, kegiatan ini diharapkan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Untuk dapat menjadi agenda wisata kelas dunia, lanjut Arief, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, adanya atraksi. Selama tidak ada atraksi kelas dunia, maka akan sulit untuk menjadi agenda wisata kelas dunia. Penataan musik, tarian, dan busana ke depan diharapkan bisa melibatkan penata musik, tarian, dan busana nasional.
Baca juga: Perayaan Imlek di Singkawang Berlangsung Dua Pekan
Kedua, soal akses. Turis biasanya tidak mau berkunjung jika waktu tempuh lebih dari 3 jam. Waktu tempuh dari Pontianak, ibu kota Kalbar, menuju Singkawang saat ini masih lebih dari 3 jam dengan jarak sekitar 150 kilometer.
Maka, perlu solusi untuk mempercepat jarak tempuh. Jika dibangun jalan tol Pontianak-Singkawang, biayanya sekitar Rp 15 triliun. Maka, yang paling memungkinkan adalah pembangunan bandara dengan biaya pembangunan sekitar Rp 1,3 triliun yang kini sedang dalam proses.
Ketiga, Singkawang disarankan membentuk kawasan ekonomi khusus pariwisata meskipun itu tidak mudah. Setidaknya, menyediakan lahan sekitar 300 hektar. Pemerintah pusat akan mendukung hal itu.
Waktu tempuh dari Pontianak, ibu kota Kalbar, menuju Singkawang saat ini masih lebih dari 3 jam dengan jarak sekitar 150 kilometer.
Sejarah panjang
Tatung dalam setiap Festival Cap Go Meh di Singkawang itu berawal dari kisah panjang. Hal itu berawal pada tahun 1200-an saat Raja Kubhilai Khan, pendiri Dinasti Yuan di daratan Tiongkok, mengirim utusan ke Kerajaan Singasari untuk meminta upeti. Namun, utusan itu ditolak Kertanegara, Raja Kerajaan Singasari dan kembali ke China.
Kubhilai Khan marah dan kembali mengirimkan pasukan untuk menghukum Kertanegara. Dalam pelayaran itu, pasukan melintasi Selat Karimata dan mendarat di Kalbar untuk membuat perahu kecil sebagai pengaman saat berlayar. Untuk membuat sekoci itu, mereka mengambil kayu dari daerah Kalbar.
Kedatangan pasukan itu dimanfaatkan Raden Wijaya, pendiri Majapahit, untuk menghadapi Jayakatwang (pemberontak yang meruntuhkan Kerajaan Singasari). Pasukan utusan Kubhilai Khan menang. Namun, Raden Wijaya justru menyerang balik pasukan itu.
Pasukan Tiongkok akhirnya berpencar menyelamatkan diri. Menurut mantan Wali Kota Singkawang dan peminat sejarah Kalbar, Hasan Karman, dalam pelarian itu, pasukan terbagi menjadi tiga kelompok. Pasukan pertama kembali ke Tiongkok, pasukan kedua lari ke Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, dan pasukan ketiga lari ke Kalbar. Mereka inilah yang kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Tionghoa di Kalbar.
Sekitar tahun 1700-an, Kerajaan Sambas mengundang orang Tionghoa yang di Kalbar tersebut untuk mengerjakan pertambangan emas di Mandor, Kabupaten Landak, dan Monterado, Kabupaten Bengkayang. Saat itu terjadi kongsi pertambangan besar.
Pada suatu ketika, masyarakat yang menambang emas itu menderita penyakit aneh. Mereka kesurupan. Tabib di daerah itu memberi tahu, pada hari ke-15 setelah Imlek harus ada upacara pengusiran roh-roh jahat dengan arak-arakan. Upacara itulah yang dikenal sekarang sebagai Cap Go Meh, dan pertama kali dilakukan di daerah Monterado, bukan di Singkawang.
Setelah itu, di Kalbar, terjadi kerusuhan, masyarakat Tionghoa tersebar ke sejumlah wilayah di Kalbar, termasuk ke Singkawang. Itulah sebabnya tatung saat Cap Go Meh di Singkawang, hingga saat ini, masih dilaksanakan sebagai upacara pengusiran roh-roh jahat.