JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kasus kejahatan geng motor yang terjadi dalam dua bulan terakhir di Jakarta Barat diketahui sebagai pengaruh dari konsumsi narkoba. Hal itu menjadi fokus pihak kepolisian dan suku dinas terkait karena hampir semua pelaku berasal dari kalangan pelajar muda.
Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat Komisaris Besar Hengki Haryadi, Selasa (19/2/2019), mengatakan, dua kasus kejahatan dalam dua bulan ini dipastikan akibat pengaruh obat-obatan yang mengandung zat psikotropika.
Dari delapan geng motor yang tertangkap pada kasus pembacokan serta perampasan kendaraan, pada 20 Januari dan 5 Februari 2019, polisi mendapatkan pengakuan bahwa pelaku selalu mengonsumsi narkotika sebelum melakukan aksinya.
”Aksi yang mereka lakukan merupakan efek dari konsumsi narkotika sehingga mereka merasa hilang empati dan rasa takut ketika melakukan hal berisiko,” kata Hengki dalam konferensi pers.
Sejumlah obat-obatan yang mereka konsumsi meliputi Tramadol, Alprazolam, Eximer, dan Riklona. Obat-obatan itu produk farmasi yang telah dibatalkan izin edarnya.
Menurut Hengki, saat mengonsumsi obat-obatan itu, tersangka biasanya membuka media sosial dan menunjukkan perilaku impulsif. Perilaku ini ia contohkan seperti mengajak anak muda lainnya untuk tawuran di media sosial. Pada saat itulah kejadian semacam pembacokan dan perampasan motor terjadi.
”Mereka cenderung impulsif mengajak tawuran di media sosial. Kalau kegiatan itu tidak tersalurkan, menghajar orang dan merampas motor pun dilakukan,” kata Hengki.
Selain itu, dua kasus turut melibatkan kalangan anak muda. Sebagai contoh, ada 4 pelajar SMP dan 2 pelajar SMA pada kasus di Tanjung Duren, sementara kasus di Tambora turut melibatkan 12 pemuda dari kalangan bukan pelajar.
Keterlibatan anak muda ini disebabkan oleh adanya sejumlah siswa alumni atau pemuda lain yang lebih tua turut mengajak mereka untuk ”nongkrong” bareng. Untuk mengantisipasi hal itu, diperlukan keterlibatan sekolah, orangtua, serta masyarakat yang berada di lingkungan mereka.
”Dari dua kasus itu ditemukan kesamaan bahwa pemuda ini melakukan aksinya pada malam hari. Berarti malam hari menjadi waktu yang rawan karena mereka lepas dari pengawasan orangtua,” ujar Hengki.
Untuk mengantisipasi tawuran, diperlukan keterlibatan sekolah, orangtua, serta masyarakat yang berada di lingkungan mereka.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi menyatakan pentingnya keterlibatan berbagai pihak untuk turut memperhatikan pemuda, baik di sekolah maupun di rumah. Emosi anak muda yang masih meluap-luap perlu difasilitasi, baik secara akademis maupun non-akademis.
Sebagai contoh, pihak sekolah dapat menyalurkan potensi pemuda dari kegiatan ekstrakurikuler. Sementara itu, di lingkungan rumah, pemuda juga dapat menyalurkan semangat pada organisasi tingkat warga.
”Intinya harus ada perlakuan yang secara psikologis tidak menyakiti hati anak,” kata Seto.
Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Barat Tadjuddin Nur mengatakan, pendampingan pemuda di sekolah saat ini dilakukan melalui pendekatan alumni. Apabila sebelumnya mereka didekati siswa alumni yang bandel, siswa alumni yang berprestasi juga didorong untuk dapat menarik pelajar pada kegiatan yang positif.