Butuh Aksi Nyata Dukungan Masyarakat kepada Pendidikan
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Masyarakat diajak terlibat dalam pendidikan, melalui tindakan nyata, tidak sekadar komentar di media sosial. Tindakan nyata itu mulai dari keteladanan hingga mengawasi penggunaan anggaran pendidikan.
JAKARTA, KOMPAS - Keterlibatan masyarakat untuk memajukan pendidikan harus kian digiatkan. Pemerataan akses dan peningkatan mutu tidak akan berjalan mulus apabila hanya mengandalkan kinerja pemerintah yang terbatas kapasitasnya.
"Selama ini, masyarakat sudah peduli kepada pendidikan. Akan tetapi, umumnya baru menunjukkan kepedulian itu melalui komentar-komentar di media sosial. Belum masuk kepada tindakan," kata pakar pendidikan sekaligus pendiri komunitas Semua Murid, Semua Guru, Najeela Shihab, dalam lokakarya mengenai orangtua dan pengajaran di era milenial di Jakarta, Senin (18/2/2019). Acara diadakan oleh perusahaan HDI, perusahaan yang mengolah produk lebah.
Najeela menjelaskan, akses dan mutu pendidikan merupakan masalah utama. Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2015 menyebutkan, ada 13 juta anak Indonesia yang tidak bersekolah maupun putus sekolah. Bagi mereka yang duduk di bangku sekolah, mutu pendidikan yang didapat juga belum memuaskan. Tes PISA 2015 yang mengukur kemampuan membaca, sains, dan matematika siswa SMP menunjukkan bahwa 37 persen siswa bisa membaca teks tetapi tidak memahami konteksnya. Bahkan, diperkirakan 70 persen orang dewasa di Indonesia juga demikian.
Akses dan mutu pendidikan merupakan masalah utama. Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2015 menyebutkan, ada 13 juta anak Indonesia yang tidak bersekolah maupun putus sekolah.
"Keterlibatan masyarakat dalam pendidikan dimulai dengan memastikan rumah dan lingkungan sekitar menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak untuk belajar," tuturnya.
Konteks belajar tidak sekadar membaca buku teks dan mengerjakan tugas sekolah, melainkan mengembangkan pemikiran dan sikap positif. Di saat yang sama, keteladanan orangtua, guru, dan warga negara dewasa menjadi aspek penting.
Najeela menuturkan, masyarakat juga memiliki kekuatan mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengalokasikan 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja untuk mendanai sektor pendidikan. Selain itu, masyarakat berhak melakukan pengawasan pemakaian anggaran.
"Selama ini, mayoritas anggaran habis untuk membayar gaji guru. Sedikit sekali yang digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan di kelas. Kita harus kritis dan terus mendorong alokasi anggaran serta pemantauan peningkatan mutu pembelajaran," ujarnya. Dalam hal ini, peran komite sekolah memastikan pembelajaran berlangsung benar dan inklusif tidak bisa dinafikan.
Karakter
Pelibatan masyarakat dalam pendidikan inklusif turut mencakup tidak menghakimi anak berdasar status ekonomi, sosial, dan politik mereka. Hal tersebut diterapkan oleh SMA Selamat Pagi Indonesia yang terletak di Batu, Jawa Timur. Kepala sekolahnya, Risna Amalia, dalam paparannya di lokakarya tersebut menjelaskan bahwa SMA itu khusus mendidik anak-anak yatim piatu dan dari keluarga berekonomi miskin secara gratis.
Pelibatan masyarakat dalam pendidikan inklusif turut mencakup tidak menghakimi anak berdasar status ekonomi, sosial, dan politik mereka.
"Kebanyakan dari mereka menghadapi stigma dari masyarakat sehingga tidak nyaman ketika bersekolah di sekolah umum. Mereka membutuhkan lingkungan yang tidak menghakimi, melainkan yang bisa memperlakukan mereka sesuai potensi masing-masing," ucapnya.
Daripada membiarkan anak berkeluh-kesah, Risna mengatakan, lebih baik mengajak mereka mengembangkan bakat dan minat dengan cara holistik. Aspek yang dikembangkan adalah kecerdasan akademis, kreativitas, komunikasi, keuletan, dan kepandaian mengelola keuangan. Alasannya karena setiap individu merupakan makhluk multidimensional. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan.
"Sistem pendidikan inklusif berarti mendengarkan aspirasi siswa. Ide-ide mereka mungkin terdengar sederhana, tetapi tidak pernah dianggap remeh oleh guru," katanya.
Menurut dia, ada siswa yang sejak masuk sekolah sudah menunjukkan minatnya pada bidang tertentu, bisa berupa akademis, kewirausahaan, seni, maupun olahraga. Ada pula siswa yang membutuhkan beberapa tahun untuk terus menggali potensi yang dimiliki.
Persepsi inklusivitas diterapkan tidak dengan memaksa mereka hanya unggul di akademik. Guru menyadari ada siswa yang capaian akademiknya tidak memenuhi standar maksimal, tetapi berprestasi di bidang lain.