Cegah Napi Bisnis Narkoba, LP Harus Bebas dari Ponsel
Oleh
Hamzirwan Hamid
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berkali-kali kasus narapidana mengendalikan peredaran narkoba dari dalam lembaga pemasyarakatan terungkap. Pemerintah pun terus berupaya mencegah hal ini terulang dengan melarang dan merazia telepon seluler masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) menghentikan peredaran telepon seluler (ponsel). Awal bulan ini, Ditjen Pemasyarakatan telah menjalankan hal ini dengan kepala divisi pemasyarakatan kanwil hukum dan HAM serta kepala unit pelaksana teknis pemasyarakatan di seluruh Indonesia.
”Kami berkoordinasi dengan sejumlah pemasyarakatan untuk mendata berapa yang sudah bersih dari ponsel dan peredaran narkoba. Mungkin belum bisa semua, tetapi progresnya cukup baik,” kata Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami yang ditemui Kompas di Jakarta, Selasa (19/2/2019).
Belum lama ini, BNN Provinsi Jawa Tengah membongkar peredaran narkoba setelah menangkap dua warga Jepara pada 13 Februari 2019. Dari hasil penyidikan, keduanya dikendalikan Muzaidin, narapidana perkara narkoba di LP Kedungpane, Semarang.
”Oknum tersebut menyelundupkan ponsel dengan segala cara. Ponsel gelap digunakan oleh napi tersebut untuk melakukan penyimpangan dan ditengarai untuk memesan narkoba,” ucap Utami.
Menurut dia, penggunaan ponsel pribadi oleh napi di pemasyarakatan tidak dibenarkan. Tidak hanya penggunaan ponsel secara ilegal, jumlah warga binaan yang melebihi kapasitas LP juga disebut sebagai penyebab tidak optimalnya pengawasan oleh petugas.
Menurut data Ditjen Pemasyarakatan, LP Kedungpane, Semarang, menampung 1.750 warga binaan dengan 926 orang di antaranya merupakan napi kasus narkoba. LP Kedungpane sebenarnya memiliki daya tampung 663 orang.
Saat ini, lembaga pemasyarakatan menampung 97.000 napi perkara narkoba. Jumlah itu merupakan 40 persen dari total narapidana yang menghuni seluruh lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.
Keterbatasan jumlah petugas pun membuat upaya pengawasan napi tidak bisa berjalan optimal. Saat ini, pemerintah baru memiliki 44.000 petugas untuk mengawasi seluruh lembaga pemasyarakatan yang ada.
”Untuk mengatasi masalah ini, kami akan terus menambah kapasitas dengan cara membangun LP dan rutan baru. Kami juga akan merehabilitasi narapidana kasus narkoba atau memberikan hak-hak mereka melalui remisi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat,” tutur Utami.
Berkaitan dengan upaya ini, Kepala Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia Benny Mamoto mempertanyakan efektivitas koordinasi tersebut. Menurut dia, upaya-upaya tersebut tidak akan efektif jika belum ada upaya perbaikan dalam manajemen dan pengawasan pemasyarakatan yang maksimal.
”Narapidana narkoba adalah narapidana paling berduit. Mereka bisa bertransaksi selama di dalam LP dengan 1.001 macam modus transaksi. Kalau ponsel dirazia, mereka akan gunakan kurir yang datang membesuk,” ujar Benny yang dihubungi secara terpisah.
Mantan Deputi Pemberantasan Narkotika BNN ini mengatakan pernah menemukan petugas LP bekerja sama dengan napi untuk menutupi transaksi narkoba tersebut.
”Saat saya tangkap Kepala LP Narkotika Nusakambangan (Jawa Tengah), terungkap bahwa ia tahu dan menerima setoran rutin serta memberikan fasilitas kepada narapidana agar bebas keluar masuk penjara,” ujarnya.
Menurut Benny, pemerintah, khususnya Ditjen Pemasyarakatan, harus mengevaluasi manajemen pemasyarakatan untuk meningkatkan integritas petugas. Kurangnya integritas dan hubungan patron-klien antara petugas LP dan narapidana menjadi faktor sulitnya menghentikan peredaran narkoba.
”Kurangnya integritas petugas yang paling dominan. Pewarisan nilai-nilai yang tidak baik terjadi sejak lama. Apa yang terjadi hari ini, sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Lalu, adanya dua kepentingan yang bertemu antara narapidana dan sipir. Narapidana ingin fasilitas dan sipir ingin tambahan materi. Hubungan yang akrab setiap hari akan rawan kolusi dan korupsi,” paparnya.
Keterbatasan kewenangan
Selain dua hal tersebut, Benny juga mengidentifikasi beberapa masalah lain yang menurut dia masih ditemui hingga saat ini. Ia mengungkapkan, masalah itu terkait keterbatasan kewenangan Dirjen Pemasyarakatan mengatur anggaran dan sumber daya manusia, jumlah petugas pemasyarakatan, daya tampung LP dan rumah tahanan, serta peralatan keamanan yang tidak memadai.
Menurut dia, seorang kepala LP atau rutan harus punya tolok ukur dalam membina petugas dan pemasyarakatan agar bebas dari praktik peredaran narkoba. Hal itu bisa dengan cara melakukan tes urine rutin untuk bukti bebas dari narkoba, menangkap jaringan narkoba bekerja sama dengan BNN atau Polri, serta kooperatif dan terbuka mendukung proses penyelidikan dan penyidikan.
Selain itu, lanjutnya, kelapa LP dan rutan juga tidak boleh memberikan fasilitas dan menerima apa pun dari bandar narkoba.
”Bisa dibayangkan jika narapidana narkoba mendominasi dan upaya pencegahan tidak berhasil menekan peredaran narkoba, LP juga akan semakin penuh dan masalah semakin rumit,” katanya. (ERIKA KURNIA)