JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional berkomitmen mendukung perluasan fortifikasi pangan. Kebijakan penambahan zat gizi mikro pada bahan pangan itu dinilai bisa menjadi salah satu alternatif mencegah kasus anak balita mengalami masalah gizi yang menyebabkan tumbuh pendek atau stunting.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro dalam Lokakarya Nasional Fortifikasi Pangan bertajuk ”Fortifikasi Pangan: Intervensi Cost Effective dalam Mengoptimalkan Penurunan Stunting”, di Jakarta, Selasa (19/2/2019), mengatakan, fortifikasi pangan merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi mikro masyarakat.
Kekurangan zat gizi mikro, seperti zat besi, asam folat, seng, yodium, dan vitamin A, merupakan salah satu pemicu stunting (tengkes).
”Dengan mendukung fortifikasi pangan, kita dapat menurunkan prevalensi stunting dan masalah gizi lainnya sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia,” kata Bambang.
Dia menjelaskan, sejauh ini banyak industri di Indonesia telah melakukan fortifikasi pangan terhadap beberapa komoditas, baik wajib maupun sukarela.
Komoditas itu seperti yodium pada garam yang sudah dilakukan sejak 1986. Kemudian zat besi, asam folat, seng, vitamin B1 dan B2 pada tepung terigu sejak 2003 dan vitamin A pada minyak goreng sawit.
Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun 2018, produk garam beryodium terfortifikasi yang beredar di masyarakat yang memenuhi syarat sekitar 76,54 persen (2.421 sampel). Sementara itu, tepung terigu terfortifikasi yang memenuhi syarat 90,08 persen (262 sampel) dan minyak goreng sawit yang memenuhi syarat 92 persen (299 sampel).
Untuk meningkatkan efektivitas fortifikasi pangan tersebut, Bambang melanjutkan, pihaknya akan mendorong adanya peraturan yang mendukung kebijakan dan pelaksanaan fortifikasi pangan. Peraturan ini penting agar industri makanan dan minuman melakukan fortifikasi sesuai dengan standar yang diharapkan.
”Targetnya tahun ini sudah jelas landasan hukumnya. Bentuknya nanti bisa peraturan menteri, terutama dari Kementerian Perindustrian, karena yang akan melakukan ini industri,” kata Bambang.
Selain regulasi, Bambang juga mendorong perancangan mekanisme pengawasan implementasi Standar Nasional Indonesia (SNI) fortifikasi yang jelas.
Tidak hanya meningkatkan kepatuhan pelaku industri, tetapi juga diikuti pembinaan agar pelaku industri memenuhi ketentuan yang berlaku.
Kalangan akademisi, peneliti, dan perguruan tinggi juga didorong melakukan riset dan standardisasi. Tujuannya, agar ketergantungan terhadap bahan fortifikan impor bisa ditekan, menghasilkan inovasi teknologi yang dapat diadaptasi oleh pelaku industri, serta riset untuk membuktikan efektivitas program fortifikasi yang berjalan saat ini.
Perubahan perilaku
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek yang juga hadir dalam acara lokakarya itu mendukung upaya perluasan fortifikasi pangan sebagai alternatif penanganan tengkes. Dia mencontohkan keberhasilan fortifikasi pangan pada produk garam beryodium yang bisa menekan kasus gondok di Indonesia.
Meski demikian, dia menekankan, fortifikasi saja tidak cukup tanpa ada perubahan perilaku masyarakat.
”Yang sangat penting, mengubah perilaku kita dalam pola makan. Agar sehat, awali dari diri kita sendiri,” ujarnya.
Dampak ekonomi
Berdasarkan Global Nutrition Report 2018, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami beban gizi ganda. Meskipun prevalensi tengkes turun dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,8 persen pada 2018, angka itu masih tinggi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, angka stunting di suatu negara semestinya tidak lebih dari 20 persen. Kekurangan gizi mikro, seperti anemia pada ibu hamil, di Indonesia juga tinggi, mencapai 48,9 persen. Anemia pada ibu hamil mengganggu pertumbuhan janin.
Bambang mengatakan, adanya kasus tengkes sangat merugikan Indonesia. Seseorang yang tengkes tidak hanya mengalami gagal tumbuh pada badan, tetapi juga mengganggu perkembangan kognitif dan motoriknya, serta menyebabkan gangguan metabolik saat dewasa yang berisiko terkena penyakit tidak menular.
Oleh karena perkembangan kognitif dan motoriknya terganggu, anak yang tengkes akan kesulitan mengikuti pendidikan normal. Ketika dewasa, dia akan kesulitan bersaing di pasar kerja. Dalam konteks sumber daya manusia, kondisi ini sangat mengkhawatirkan, apalagi Indonesia sedang menuju bonus demografi.
UNICEF dan Micronutrient Initiative pada 2004 mengemukakan, kerugian ekonomi karena kekurangan zat gizi mikro berkisar 0,7-2 persen dari produk domestik bruto (PDB) sebuah negara berkembang.
Jika itu dicontohkan di Indonesia yang PDB-nya Rp 15.000 triliun, Indonesia bisa mengalami kerugian ekonomi mencapai Rp 300 triliun. Itu jika dihitung dengan kalkulasi kerugian ekonomi terbesar, 2 persen.
”Kita bisa berbuat banyak hal dengan jumlah itu untuk anggaran kesehatan, pendidikan, ataupun pengembangan SDM lainnya. Artinya, itu dana yang kita sia-siakan akibat mengabaikan zat gizi mikro,” kata Bambang.
Nila menambahkan, seorang yang tengkes juga berpotensi membebani anggaran kesehatan negara karena berisiko tinggi terkena penyakit tidak menular. Penyakit tidak menular, khususnya kardiovaskular, merupakan salah satu penyakit yang banyak menyedot anggaran di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. (YOLA SASTRA)