JAKARTA, KOMPAS — Risiko peningkatan rasio utang terhadap pendapatan perlu diredam seiring tren kenaikan utang luar negeri. Pendalaman pasar surat utang di dalam negeri menjadi salah satu alternatif untuk memangkas pinjaman luar negeri.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan IV-2018 mencapai 376,8 miliar dollar AS atau Rp 5.312,8 triliun. Posisi ini meningkat 17,7 miliar dollar Amerika Serikat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Secara tahunan, utang luar negeri Indonesia yang bersumber dari pemerintah dan swasta tumbuh 6,9 persen. Adapun rasio utang terhadap pendapatan atau debt to services ratio (DSR) tier-1 pada akhir 2019 sebesar 24,08 persen.
DSR merupakan jumlah beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang yang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Rasio ini mencerminkan kemampuan sebuah negara untuk menyelesaikan kewajibannya membayar utang.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David E Sumual, mengatakan, tingkat kesehatan utang berdasarkan DSR masih menunjukkan batas aman. Namun, kendala ekspor dalam negeri yang salah satunya diakibatkan perang dagang, DSR berpotensi membengkak.
”Jika rasio DSR semakin besar, berarti beban utang yang ditanggung semakin besar,” ujarnya saat dihubungi Senin (18/2/2019).
Jika rasio DSR semakin besar, berarti beban utang yang ditanggung semakin besar.
David menilai, pendalaman pasar surat utang di dalam negeri dengan cara beralih memanfaatkan utang domestik harus tetap berjalan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta.
”Penerbitan surat berharga ritel dengan minimum pembelian Rp 1 juta seharusnya perlu didorong untuk memperdalam,” kata David.
Meski begitu, posisi DSR tier-1 Indonesia pada akhir 2018 lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir 2017 dan 2016 yang masing-masing sebesar 25,54 persen dan 35,35 persen.
”Selama pertumbuhan ekonomi masih cukup baik dan ekspor masih tumbuh, risiko pembayaran utang masih bisa diredam,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai, tren kenaikan utang luar negeri masih akan terus berlanjut. Pasalnya, pasar negara berkembang punya daya tarik kuat bagi kreditor global di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi negara maju.
Penerbitan surat utang swasta dan pemerintah sampai akhir tahun lalu masih penuh peminat asing. Momentum ini yang dimanfaatkan untuk terbitkan utang jorjoran pemerintah.
”Terbukti, penerbitan surat utang swasta dan pemerintah sampai akhir tahun lalu masih penuh peminat asing. Momentum ini yang dimanfaatkan untuk terbitkan utang jorjoran pemerintah,” kata Bhima.
Daya tarik penyaluran utang luar negeri kepada Indonesia semakin kuat seiring dengan imbal hasil yang relatif tinggi. Dalam denominasi rupiah, lanjut Bhima, imbal hasil utang luar negeri berkisar 9-10 persen.