BENGKULU, KOMPAS Penguatan Islam sebagai sistem tata nilai yang meresap dalam praktik keberagamaan sehari-hari menjadi tantangan terbesar masyarakat. Tanpa penguatan nilai-nilai Islam yang substantif, termasuk yang terkait dengan hubungan sesama manusia, kehidupan yang toleran, damai, mau bekerja sama, jujur, dan menghargai perbedaan, bakal sulit tercapai.
Belum kuatnya implementasi nilai substantif Islam ini, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, antara lain tergambar dari penelitian S Rehman dan H Askari, akademisi Muslim dari Georgetown University, Amerika Serikat, yang berjudul ”How Islamic are Islamic Countries?” (2010). Di kajian itu, Indonesia berada di peringkat ke-140 dari 208 negara yang dikaji. Penelitian tersebut menilai sejauh mana nilai-nilai Islami diterapkan dan menjadi panduan warganya.
”Hasil penelitian menunjukkan, yang menempati posisi tertinggi justru negara seperti Selandia Baru, Swedia, Norwegia, diikuti Jepang. Indonesia ada jauh di belakang. Negara berpenduduk Islam yang terdekat (peringkat atas) ialah Malaysia, yang menempati posisi ke-33, sedangkan Arab Saudi nomor 44, sekalipun dia (Arab Saudi) memberlakukan syariat Islam yang keras,” kata Kalla dalam sambutannya di penutupan Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu, Minggu (17/2/2019).
Kalla mengatakan, upaya pencerahan beragama harus pula mendorong penguatan nilai-nilai Islam dalam implementasi kehidupan sehari-hari. Berkaca dari kajian dua akademisi itu, gairah keagamaan di Indonesia, kata Kalla, baru pada tahapan praktik ibadah dan akidah. Namun, belum sampai pada penguatan serta implementasi nilai-nilai substantif Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Disertai muamalah
Tumbuhnya semangat beribadah, menurut Kalla, sesuatu yang baik. Namun, menguatnya kesadaran dalam ibadah dan akidah harus pula diikuti dengan muamalah atau praktik keberagamaan yang membawa manfaat dan kebaikan bagi sesama. Bukan hanya habblumminallah (hubungan dengan Tuhan), tetapi juga habblumminannas (hubungan dengan sesama manusia).
”Masjid-masjid kita selalu penuh. Biasanya dua saf (baris), sekarang jadi enam saf. Itu tidak terjadi 10 tahun lalu. Namun, yang melemah hubungan antarmanusia kita atau muamalah. Oleh karena itu, usaha kita mencerahkan bukan hanya dalam konteks akidah dan ibadah, melainkan juga hubungan antarmanusia,” kata Kalla.
Risalah pencerahan
Dalam penutupan tanwir juga dibacakan delapan butir risalah yang berisi rekomendasi dalam kehidupan keumatan dengan pesan inti ”Beragama yang Mencerahkan”. Tanwir yang digelar 15-17 Februari 2019 itu juga menghasilkan sembilan butir pemikiran strategis Muhammadiyah untuk bangsa.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menuturkan, risalah pencerahan tanwir kali ini ingin membudayakan perilaku beragama. ”Kalau masih korupsi, masih ada permusuhan, diskriminasi satu sama lain, berarti kita masih harus meningkatkan cara beragama yang lebih lapang hati,” katanya.
Muhammadiyah, antara lain, merekomendasikan pemerintah, ke depan, makin menjadikan agama dan Pancasila serta kebudayaan luhur bangsa sebagai nilai aktual dalam kehidupan bangsa, termasuk dalam kehidupan pejabat publik.
Muhammadiyah juga mengajak pemerintah serius menjaga kedaulatan negara, baik dari penetrasi asing maupun kekuatan domestik yang membuat pemerintah tak optimal mengurus negara. Selain itu, Muhammadiyah menyerukan pemerintah agar memutus rantai kesenjangan sosial dengan mengambil kebijakan progresif dan berani.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, selain persoalan keumatan dan kebangsaan, tanwir memutuskan adanya perubahan anggaran rumah tangga Muhammadiyah. Tanwir juga menetapkan panitia pemilihan pimpinan pusat yang akan bekerja pada Muktamar Muhammadiyah, 1-5 Juli 2020, di Solo, Jawa Tengah. (REK)