Menjala Sampah Sungai Brantas, Merawat Peradaban Jawa Timur
”Kaliku resik, uripku becik! Kaliku resik, uripku becik!” Itulah slogan berbahasa Jawa yang diutarakan berkali-kali dengan amat lantang oleh kalangan Relawan Jaga Kali dalam pertemuan dan deklarasi yang dihadiri Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan rombongan di tepi Kali Surabaya, Jambangan, Surabaya, Minggu (17/2/2019).
Semboyan itu berarti kaliku bersih, hidupku jernih (indah). Relawan sedang bersemangat dan berharap Khofifah yang belum sepekan menjabat gubernur mendukung penanganan dan pencegahan pencemaran Sungai Brantas. Sebelum pertemuan itu, Khofifah dan rombongan menjaring sampah dari tepi kantor Divisi Jasa ASA II Perusahaan Umum Jasa Tirta I di Surabaya.
Setelah pertemuan singkat untuk deklarasi, pembagian tong sampah, paket kebutuhan bahan pokok, anakan ikan, dan bibit pohon, Khofifah dan rombongan melanjutkan susur sungai sekaligus menjala sampah sampai menjelang Jembatan Sepanjang Baru di Sidoarjo.
Cukup letih menjaring sampah yang mengapung di kali merupakan pengalaman berharga bagi Khofifah, perempuan pertama yang menjabat Gubernur Jatim. Ada sampah plastik, popok, ban, busa, kertas, kayu, metal, dan limbah rumah tangga yang mengeruhkan batang air yang sudah coklat sehingga tidak tampak dasarnya. Berbagai jenis buangan itu juga ditemukan di dasar kali dan tersangkut di jembatan, tanaman, dan bangunan tepi sungai.
Di Jembatan Sepanjang Baru, anggota Brigade Evakuasi Popok (Kuapok) memakai garu mengambili sampah yang tersangkut di tiang sangga prasarana itu. Sampah, terutama popok, ditaruh di trotoar dan agak membuat kaget Khofifah yang datang dalam peninjauan itu. ”Pencemaran harus ditangani dan dicegah secara bersama-sama,” katanya.
Tempat sampah
Pemprov Jatim bersedia menyiapkan 99 tempat sampah (dropbox) untuk 99 jembatan di sepanjang Sungai Brantas yang berhulu di Desa Sumber Brantas, Bumiaji, Batu. Selain itu, di sejumlah jembatan dipasangi kamera pengawas. Benda serupa sedang dipertimbangkan untuk ditempatkan di saluran pembuangan limbah pabrik. Pemerintah kabupaten/kota di bengawan terpanjang kedua di Pulau Jawa ini akan diminta mengawasi dan mencegah pencemaran sekaligus menata daerah aliran sungai.
Melalui program Adopsi Sungai Brantas, Khofifah ingin batang air yang meliuk sepanjang 320 kilometer ini diselamatkan. Satwa dan keberagaman hayati Sungai Brantas berhak hidup dan berdampingan dengan manusia. Itu seperti filsafat Jawa. ”Urip iku urup. Hidup itu menghidupkan. Kalau ikannya, keragaman hayatinya urip, hidup, maka akan urup, menghidupkan kita, manusia. Jadi, menyelamatkan Sungai Brantas perlu menjadi ikhtiar dan keimanan kita,” kata Khofifah bersemangat.
Memulung sampah secara rutin untuk membersihkan kali patut menjadi gerakan massal di Jatim. Bukan sekadar Brantas, melainkan seluruh sungai yang ada. Khofifah berjanji akan memulung apakah setiap minggu atau setiap dua pekan. Akan lebih baik jika Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama ini menempatkan memulung sampah bukan sebagai kegiatan untuk publikasi atau pencitraan, melainkan sebagai ujian terhadap ikhtiar pelestarian lingkungan hidup.
Memulung sampah, terutama popok, di Sungai Brantas dirintis Brigade Kuapok bentukan Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) pada 2017. Mereka terinspirasi gerakan memulung sampah Komunitas Peduli Ciliwung Bogor yang bertahan bahkan mulai menjadi perilaku warga ”Kota Hujan”.
Di Jatim, Brigade Kuapok awalnya memulung popok lalu hasilnya diserahkan kepada pemerintah setempat sebagai protes sekaligus ”sindiran”. Cara itu dilakukan secara terus-menerus. ”Untuk menyentuh hati aparatur pemerintah agar menjalankan tugas memelihara Sungai Brantas,” kata Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi.
Pola itu kemudian diikuti Santri Jogo Kali Jombang dan anggota Radio Antar Penduduk Indonesia Kota Kediri. Selain itu, kalangan dosen dan pegawai swasta di Malang. Jika gerakan memulung sampah berkembang, sedangkan kampanye antipencemaran dan tak buang sampah ke sungai berhasil, bisa diyakini kehidupan di Sungai Brantas akan becik atau indah dan hidup yang menyalakan kembali romantisisme peradaban masa silam.
Menurut penilikan Ecoton kurun 2015-2018, setiap hari Sungai Brantas diduga kemasukan 1 juta popok bekas yang setara 20 ton. Jumlah itu didapat dari survei bahwa terdapat 700.000 bayi pengguna popok di antara 1,13 juta anak bawah tiga tahun di Daerah Aliran Sungai Brantas. Satu bayi rata-rata memakai 3-4 popok sekali pakai. Sebanyak 40 persen atau 1 juta popok bekas di antaranya terbuang ke sungai, lahan kosong, saluran air atau tidak terangkut oleh truk sampah di 17 kabupaten/kota di sepanjang Sungai Brantas itu.
Peradaban
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 3-Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris menyatakan, Prasasti Kalagyan (1037) mencantumkan Airlangga, Raja Kahuripan, membuat bendungan setelah terjadi banjir meluapnya Sungai Brantas yang mengakibatkan gagal panen. Struktur ini diduga kuat dibangun di Waringin Pitu, sisi timur Sungai Brantas.
Di dekat kawasan yang tercantum dalam Prasasti Kalagyan bertebaran candi-candi; Dermo di Candinegoro-Wonoayu, Pari dan Sumur di Candipari-Porong, Wangkal di Candiwangkal-Krembung, dan Pamotan di Pamotan-Porong. Di hulu, ada Watugede, Sumberawan, dan Singosari yang menunjukkan kelekatan kawasan sistem keairan. Di Batu ada Songgoriti. Ada pula Candi Badut, Karangbesuki, Candi Jajaghu, Candi Kidal. Di Blitar, Kediri, Nganjuk, Mojokerto, dan Sidoarjo juga ditemukan pusat-pusat peradaban masa silam yang mengikuti alur Sungai Brantas.
Anwar Hudiono dalam Kompas (Senin, 3/6/2002) menulis Prasasti Harinjing (804) mencantumkan adanya pembangunan sistem irigasi dengan membuat dawuhan atau waduk di Srinjing, anak Sungai Brantas. Selain itu, Prasasti Sarangan (929) mencantumkan pembangunan sistem irigasi Pikatan, anak Sungai Brantas, di lereng Gunung Welirang.
Boleh jadi, pembangunan sistem irigasi mendorong Lembah Brantas menjadi kawasan berpotensi kemakmuran tinggi. Tidak mengherankan kemudian Pu Sindok, menurut Prasasti Cunggrang (929), memindahkan pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jateng ke Watugaluh, Lembah Brantas di Jatim dengan mendirikan Kerajaan Medang sekaligus Wangsa Isana. Setelah itu, di Lembah Brantas tumbuh banyak kerajaan; Kadhiri, Dhaha, Singhasari, Gelang-gelang, dan Majapahit.
Gugatan
Melihat betapa pentingnya Sungai Brantas dalam kehidupan warga Jatim, pembiaran terhadap pencemaran tidak bisa ditoleransi. Gerakan memulung sampah jika tidak massal dan simultan apalagi tanpa dukungan pemegang kekuasaan akan sia-sia. Untuk itu, sang pemilik kuasa patut diingatkan, bahkan jika perlu digugat.
Sampai saat ini, kalangan publik Jatim memasukkan gugatan warga negara (citizen law suit) ke Pengadilan Negeri Surabaya akibat kesalahan pengelolaan pencemaran sampah popok bekas di Sungai Brantas dengan tergugat Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Gubernur Jatim.
Selain itu, gugatan legal standing oleh Ecoton terhadap tergugat yang sama terkait dengan berulangnya peristiwa kematian massal ikan di Sungai Brantas. Yang terkini, kalangan publik mengajukan somasi kepada Gubernur Jatim dan Menteri LHK terkait dengan tata kelola limbah bahan beracun berbahaya (B3). Sejumlah tempat pembuangan atau penimbunan limbah B3 berada di DAS Brantas.
Bisa dimaklumi jika menjaring dan memulung sampah di Sungai Brantas biarpun terkesan sepele tetapi setidaknya menunjukkan ikhtiar atau niat menyelamatkan bengawan terlebih kehidupan yang ternyata warisan peradaban kemilau masa silam. Lestarikan Brantas atau kehidupan Jatim terberantas menuju kemunduran.