Dulu Melarang, Sekarang Taliban Aktif Gunakan Internet dan Media Sosial
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
Kelompok Taliban saat memerintah Afghanistan pada 1996-2001 menerapkan aturan yang sangat ketat kepada media. Mereka melarang penggunaan fotografi, televisi, dan internet, karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mereka pegang.
Kini, secara ironis, Taliban telah mengubah perlakuannya terhadap media. Selain aktif berinteraksi dengan para wartawan, mereka menunjukkan kemampuannya dalam beradaptasi dengan tren digital dan sering menggunakan media sosial untuk mengumumkan informasi atau propagandanya.
Juru bicara resmi Taliban kini sering mengunggah berita terbaru tentang operasi perang melalui Twitter dan secara real time. Kantor berita Agence France Presse (AFP) juga melaporkan, juru bicara itu sering berinteraksi langsung dengan para wartawan melalui aplikasi pengiriman pesan, seperti Whatsapp.
"Media dianggap sebagai salah satu sisi dari perjuangan kami," kata Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujahid kepada AFP, melalui Whatsapp.
"Kami tidak menentang (penggunaan) teknologi modern. (Teknologi) Itu adalah kebutuhan zaman sekarang. Penggunaannya tidak bertentangan dengan syariah Islam," ucap sumber senior lain dari Taliban yang memiliki hubungan dengan tim media kelompok pemberontak itu. Ia mengakui, tim itu berjuang keras dan sering kesulitan dalam mempertahankan narasi yang konsisten.
Operasi yang memusingkan
Namun, penggunaan teknologi digital juga menimbulkan persoalan baru. Wawancara media dengan sumber yang mengklaim sebagai anggota Taliban misalnya, sering terjadi tanpa sepengetahuan Taliban itu sendiri. Akibatnya, secara terburu-buru, tim media resmi Taliban harus membantah ucapan dari sumber tidak resmi itu.
Selain itu, mereka juga bingung karena tidak mengetahui identitas sumber tidak resmi itu, dan apabila sumber itu betul-betul berwenang berbicara atas nama Taliban. Media juga sering kali tidak memverifikasi kepada Taliban mengenai kebenaran informasi.
Kerumitan itu ditambah dengan banyaknya akun media sosial Taliban yang palsu atau tidak resmi yang beredar di dunia maya. Sementara itu, akun media sosial Taliban yang resmi sering kali kali ditutup oleh penyedia layanan media sosial, sehingga mereka harus membuka ulang akunnya dengan menggunakan nama lain.
Mujahid, si juru bicara pun cukup dikenal bukan hanya satu orang, tetapi terdiri dari sebuah tim yang bertugas menyampaikan pernyataan. "Operasinya bisa memusingkan," kata sumber dari Taliban.
Alat propaganda
Kendati demikian, teknologi digital juga dianggap sangat menguntungkan. "Kini, Taliban banyak menggunakan media. Namun, itu tidak berarti mereka mendukung kebebasan berekspresi. Itu artinya mereka tahu bagaimana menggunakan media, sebagai alat propaganda, dan bukan sebagai alat untuk membela hak asasi manusia," kata A Mujeeb Khalvatgar, Direktor dari sebuah grup pendukung media di Afghanistan.
Kini, Taliban banyak menggunakan media. Namun, itu tidak berarti mereka mendukung kebebasan berekspresi.
Sejak pemerintahan Taliban di Afghanistan berakhir 17 tahun lalu, media di Afghanistan berkembang. Namun, mereka masih menjadi target Taliban. Pada 2016, tujuh karyawan dari perusahaan televisi terkenal, Tolo, dibunuh oleh Taliban. Serangan kepada media itu merupakan yang pertama kalinya sejak 2001.
Pada 2018, organisasi Reporters Without Borders melaporkan, jumlah korban jiwa wartawan paling tinggi di Afghanistan, yang mencapai 11 orang.
Dibesar-besarkan
Konten yang disampaikan oleh Taliban tentunya diperhatikan oleh para pihak yang berpentingan. "Konten itu memberikan kita gambaran tentang apa yang dipikirkan kelompok Taliban pada hari itu," kata Kolonel Knut Peters, Juru Bicara tim pendukung misi dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Kabul.
Informasi yang disebar namun sering kali tidak sesuai dengan faktanya. Angka jumlah korban misalnya seringkali dibesar-besarkan. Kecenderungan itu juga dilakukan oleh kelompok militer lain, seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Pada serangan ledakan di sebuah gereja di Pulau Jolo, Filipina Selatan, pada akhir Januari 2019, NIIS mengklaim serangan itu telah menelan ratusan korban jiwa. Sementara itu, data dari Otoritas FIlipina menyampaikan, jumlah korban jiwa sebanyak 20 orang dan korban luka 111 orang.
Namun, akhir-akhir ini, ada yang menganggap bahwa informasi yang disampaikan Taliban lebih akurat dibanding sebelumnya. "Taliban kini sadar bahwa informasi yang benar memiliki dampak yang lebih besar dibanding informasi yang fiktif," kata Graeme Smith, konsultan dari Internaitonal Crisis Group.
Taliban lebih responsif
Sejumlah wartawan menilai, Taliban sering kali lebih responsif dalam menjawab pertanyaan media dibanding otoritas lain. "Saat bertanya kepada juru bicara Taliban, saya memperoleh jawaban setelah beberapa menit," ucap Khalvatgar.
Sumber dari Taliban menjelaskan, tim media Taliban menyampaikan informasi melalui lima bahasa, yakni dua bahasa resmi Afghanistan (Pashtun dan Dari), satu bahasa yang digunakan di Pakistan dan India (Urdu), Inggris, dan Arab.
Sukarelawan
Tim media Taliban menyampaikan kontennya melalui berbagai media. Majalah cetak untuk penduduk di pedesaan yang tidak menggunakan telpon genggam, dan video serta lagu untuk penduduk yang buta huruf.
Sebagian dari produksi itu dilakukan oleh puluhan relawan dan pemagang, yang terdiri dari mahasiswa jurnalisme, serta ahli teknologi informasi. "Para sukarelawan adalah hamba Tuhan," kata sumber dari Taliban. (AFP)