Koes Plus yang (Tetap) Plus
Bagaimana menceritakan rasanya jatuh cinta remaja tahun ’60-an? Ada rasa jantung berdebar setiap melihat sang pujaan melintas. Mungkin ini yang digambarkan oleh Koes Plus dalam lagu ”Dheg Dheg Plas” yang sekaligus menjadi album pertama Koes Plus di tahun 1969. Lihat sebagian liriknya: ”Pernah kucium remaja tujuh belas... suatu hari waktu di dalam kelas... seakan kulupa tiada bernafas... kumerasa terbang hatiku... dheg dheg plas... dheg dheg plas... dheg dheg plas... dheg dheg plas...”.
Terlahir dari keluarga yang senang musik, Koeswoyo memiliki anak-anak yang gemar bermusik: Djon, Tony, Nomo, Yon, dan Yok. Mereka awalnya membentuk band Koes Bross, dari kata Koes Brothers (1962), dengan personel Djon, Tony, Nomo, Yon, dan Yok. Karena dirasa nama bandnya kebarat-baratan, mereka sepakat menggantinya menjadi Koes Bersaudara.
Sedikit demi sedikit uang hasil pertunjukan dipakai untuk membeli alat-alat musik. Dalam perjalanannya, personel Koes Bersaudara menjadi empat orang, yaitu Tony, Nomo, Yon, dan Yok. Pada tahun 1969, grup band ini berganti nama menjadi Koes Plus dengan masuknya Kasmuri (Murry) menggantikan Nomo. Murry adalah pemain drum dari band Patas.
Saat masih bernama Koes Bersaudara, personelnya sempat ditahan pada Juni 1965 di Penjara Glodok, Jakarta, dan dibebaskan menjelang peristiwa G30S/PKI. Mereka dihukum karena sering membawakan lagu-lagu Barat, seperti lagu-lagu The Beatles yang saat itu kondang.
Pemerintah memang melarang grup band menyanyikan lagu ngak ngik ngok (lagu Barat). Terinspirasi saat di penjara, lahirlah beberapa lagu yang terangkum dalam album berjudul To the So Called the Guilties, Jadikan Aku Domba-Mu, dan sebuah album tanpa judul. Ketiganya direkam di atas piringan hitam oleh perusahaan rekaman Dimita Record pada tahun 1966.
Album demi album terus diproduksi grup ini dengan beragam aliran musik. Ratusan, bahkan ribuan, lagu dihasilkan dan masih dinyanyikan sampai sekarang oleh pencintanya. Kesederhanaan lirik dan irama yang sempat memunculkan istilah lagu ”kacang goreng”, ”musik tiga jurus”, justru membuat grup band ini melesat.
Dalam sebuah wawancara dengan pers, ketika ditanya soal tersebut, Tony menjawab, silakan buat lagu kacang goreng seperti kami. Nyatanya tidak ada yang bisa sesukses Koes Plus. Grup ini malah memunculkan genre musik yang dikenal dengan nama Koesplusan.
Panggung: superstar dan jalan hidup
Keseriusan menekuni bidang musik secara total telah membawa Koes Plus menjadi grup band fenomenal dalam sejarah musik di Tanah Air. Sikap Tony yang keras dan rasa mengemong adik-adiknya dalam pilihan bermusik membuat karya-karya mereka dikagumi hingga saat ini.
Dalam bukunya yang berjudul Panggung Kehidupan, Yon menceritakan saat Koes Bersaudara tampil perdana di Yogyakarta tahun 1961-an. Kala itu, Yon dan Yok diiringi band putri arahan A Riyanto bermain di Gedung GKBI. Pertunjukannya sukses dan nama mereka semakin terkenal.
Saat itu, mereka mulai masuk dapur rekaman di sebuah perusahaan rekaman Irama di bilangan Cikini, Jakarta. Hasilnya, satu piringan hitam berisi dua lagu dan sebuah lagi berisi 12 lagu dalam piringan long-play. Lagu-lagu mereka diputar di Radio Republik Indonesia (RRI), satu-satunya radio di Jakarta.
Dalam Jambore Band 1970 yang baru pertama kali diadakan di Jakarta, grup band ini banyak menarik perhatian muda-mudi penontonnya, terutama saat membawakan lagu ”Kembali ke Jakarta”. Acaranya berlangsung di Gelanggang Remaja dalam rangka Dies Natalis Ikatan Mahasiswa Kebayoran (Kompas, Selasa, 10 November 1970, halaman 3).
Tidak hanya menghibur, penampilan Koes Plus di Bandung (5/12/1970), Cirebon (6/12/1970), dan Tasikmalaya (7/12/1970) juga untuk pengumpulan dana bagi kontingen Indonesia yang akan berlaga di Asian Games VI (Bangkok) dan Pomda V Jawa Barat. Pekan Seni Kontemporer 1971, sebuah acara yang cukup bergengsi saat itu, menampilkan Koes Plus dan Titiek Puspa di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Acara yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Jakarta mengambil tema sejauh mana fenomena musik pop di kalangan kaum muda. Keduanya, Koes Plus dan Titiek Puspa, dianggap mewakili karena mereka mencipta dan memiliki kepribadian, kata Frans Harjadi, musikolog anggota Dewan Kesenian Jakarta.
Meski awalnya lagu-lagu Koes Bersaudara bercorak Everly Brothers, dalam perkembangannya, mereka mampu mencipta. Ada lagu yang mulai memakai dasar-dasar musik Jawa, misalnya lagu ”Derita”. Di sini terkandung teknik penyusunan vokal gerongan Jawa, yaitu vokalis pertama menyanyi duluan, disusul vokali kedua, dan finalnya bersamaan, kata Tony Koeswoyo (Kompas, Senin, 20 Desember 1971, halaman 3).
Pertunjukan yang selalu ramai menjadikan peluang bagi sebuah komplotan spesialis pemalsu karcis pertunjukan untuk melakukan niatnya. Sebanyak 90 karcis palsu malam Old & New 31 Desember 1971 untuk menonton band Koes Plus disita petugas keamanan di Taman Remaja, Surabaya. Karcis palsu yang sudah terjual 236 lembar dari rencana 500 lembar.
Minggu, 20 Agustus 1972, malam, Koes Plus kewalahan menghadapi permintaan lagu dari penggemar di Istora Senayan, Jakarta. Walaupun mereka telah menyanyikan lagu-lagu seperti ”Telaga Sunyi”, ”Nusantara”, dan ”Bergembiralah”, penonton tetap berteriak menuntut mereka tampil kembali. Malam itu, Koes Plus tampil untuk memperingati ulang tahun Tabanas bersama band The Disc yang mengiringi Titiek Puspa, Ivonne Suzan, dan Vivi Sumanti.
Di pengujung tahun 1972, remaja Ibu Kota kembali menyesaki Istora Senayan yang berkapasitas 15.000 penonton. Sabtu (30/12/1972) malam, empat band terkenal, yaitu Koes Plus, Panbers, The Mercy’s, dan Freedom of Rhapsodia (Bandung), tampil dalam Jambore Band Safari.
Hiruk-pikuk penonton membuat mereka memainkan alat musik sekeras mungkin, tanpa mengutamakan harmonisasi. Akibatnya, lagu ”Why Do You Love Me”-nya Yon terasa kurang lembut. Meski demikian, di tengah keriuhan itu, Koes Plus terasa masih menonjol dibandingkan band-band yang lain. Jumlah rekaman piringan hitam yang lebih banyak serta lirik lagu yang mudah diingat dan dinyanyikan menjadi keunggulan Koes Plus.
Tampil di panggung dalam sebuah acara tidak selalu berakhir menyenangkan. Festival Summer 28 di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta, contohnya. Terinspirasi Woodstock Festival Music di New York, 1967, acara Summer 28, akronim dari Suasana Menyambut Kemerdekaan Ke-28 RI, merupakan konser musik 12 jam di daerah Ragunan, Sabtu (18/8/1973).
Koes Plus bersama 15 band lain dari berbagai aliran menghibur ribuan penonton yang hadir saat itu. Sayangnya, Minggu dini hari, acara itu harus diakhiri karena terjadi keributan penonton yang tidak puas dengan penyelenggaraannya. Demikian pula saat tampil di Gedung Olahraga Merdeka, Bogor, pada Sabtu (8/6/1974) malam. Penonton melempar kursi dan benda-benda lain di dalam gedung pertunjukan akibat penampilan Koes Plus yang dirasa kurang memuaskan.
Jumlah penonton yang meluap mencapai 10.000-an orang membuat suasana gedung menjadi pengap kekurangan hawa. Penonton juga terpaksa menunggu berjam-jam karena pertunjukan baru dimulai pukul 21.10, tidak sesuai jadwal.
Untungnya, kericuhan itu bisa diatasi oleh petugas keamanan meski mengakibatkan 20 orang luka-luka dan kerugian atas kerusakan sekitar Rp 1 juta (Kompas, Senin, 10 Juni 1974, halaman 3).
Ada sebuah pengalaman menarik yang diungkapkan Yon dalam bukunya. Ketika Koes Plus masih di volume 1, saat pertunjukan di Yogyakarta dan Magelang, ada seorang gadis yang rajin ikut dalam rombongan. Saat rombongan pulang ke Jakarta, gadis itu minta ikut. Alasannya, ingin ke rumah saudaranya. Ternyata, saat di markas Koes Plus di Haji Nawi, Jakarta, ia tidak pernah pergi ke rumah saudaranya. Singkatnya, ”Gadis itu akhirnya menjadi ibu dari anak-anakku, Gerry dan David,” kata Yon.
Saat diwawancarai Kompas, awal Januari lalu, soal lagu Koes Plus yang masih digemari, Yok menjawab, sebuah lagu akan baik dan sukses jika diciptakan dengan jujur dari hati. Lagu itu akan berjiwa dan hidup. Di usianya yang menginjak 50 tahun, Koes Plus tetap fenomenal. Lagu-lagunya tetap hidup di hati pencintanya. Koes Plus tetap plus....
Sumber:
Kompas, Rabu, 30 Juni 1965, halaman 2; Kompas, Selasa, 10 November 1970, halaman 3; Kompas, Selasa, 29 Desember 1970, halaman 3; Kompas, Senin, 20 Desember 1971, halaman 3; Kompas, Rabu, 3 Januari 1973, halaman 6; Kompas, Senin, 10 Juni 1974, halaman 3; Kompas, Minggu, 13 Maret 1983, halaman 5; Buku Panggung Kehidupan Yon Koeswoyo, 2005