Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun, ketika dihubungi dari Medan, Sumatera Utara, Sabtu (16/2/2019), mengatakan, harga referensi minyak sawit mentah (CPO) yang ditentukan Kementerian Perdagangan pada bulan Februari mencapai 565,40 dollar Amerika Serikat per ton.
“Saat harga referensi itu ditetapkan di akhir Januari, harga CPO di pasar sebenarnya masih sekitar 520 dollar AS per ton atau lebih rendah sekitar 45 dollar dari harga referensi,” kata Derom.
Derom mengatakan, harga CPO di pasar pada Februari ini sudah naik menjadi sekitar 540 dollar AS per ton. Ia pun memperkirakan harga referensi pada Maret bisa tembus di atas 570 dollar AS per ton. Jika demikian, pungutan ekspor akan kembali berlaku dengan besaran 25 dollar AS per ton. “Padahal, pungutan ini akan sangat mempengaruhi harga yang diterima petani,” kata Derom.
Pungutan ekspor sebesar 50 dollar per ton CPO sebelumnya sudah dihapus pada 4 Desember 2018 karena harga CPO anjlok sampai 410 dollar AS per ton. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.05/ 2018 Tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Badan Perkebunan Kelapa Sawit, skema pungutan ekspor diatur ulang.
Pungutan ekspor tidak dilakukan jika harga referensi CPO berada di bawah 570 dollar AS per ton. Jika harga 570 dollar AS – 619 dollar AS, pungutan ekspor CPO sebesar 25 dollar AS per ton. Pungutan ekspor pun kembali menjadi 50 dollar AS per ton jika harga di atas 619 dollar AS. Pada skema yang lama, pungutan ekspor untuk CPO ditetapkan 50 dollar AS per ton tanpa mempertimbangkan harga.
Derom mengatakan, skema pungutan ekspor yang baru tersebut sebenarnya sudah cukup baik. Pungutan ekspor tersebut juga sangat dibutuhkan untuk membiayai program B-20 yakni pencampuran 20 persen biodiesel pada biosolar. Hal itu untuk meningkatkan serapan produk sawit di dalam negeri di tengah kelebihan pasokan CPO di pasar dunia.
Pungutan ekspor itu juga untuk membiayai peremajaan sawit rakyat, peningkatan kapasitas sumber daya manusia petani, dan penelitian.
“Skema pungutan ekspor tersebut sudah baik karena berdasarkan harga. Namun perlu dicari rumus penentuan harga referensi agar sama dengan atau mendekati harga pasar yang sebenarnya,” kata Derom.
Derom mengatakan, rumus penentuan harga referensi CPO yaitu 60 persen dari harga bursa Jakarta, 20 persen bursa Malaysia, dan 20 persen bursa Rotterdam. “Namun, hasil penghitungannya tidak mendekati harga yang sebenarnya di pasar. Harus ada rumusan baru agar harga referensi mendekati harga sebenarnya,” katanya.
Menurut Derom, jika pungutan ekspor 25 dollar AS diberlakukan pada Maret, harga di tingkat petani akan turun sebesar Rp 65 – Rp 75 per kilogram tandan buah segar (TBS) sawit. Saat ini, harga TBS di tingkat petani sudah merangkak naik hingga Rp 1.050 per kilogram, naik dari akhir 2018 yang pernah menyentuh Rp 700 per kilogram.
Peremajaan
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto mengatakan, pungutan ekspor pada akhirnya dibebankan kepada petani. “Padahal dana pungutan ekspor itu sangat sedikit dinikmati petani secara langsung. Lebih dari 90 persen dana pungutan ekspor digunakan untuk subsidi program B-20,” katanya.
Mansuetus mengatakan, program peremajaan sawit jauh di bawah target. Tahun 2018, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) hanya bisa melakukan peremajaan terhadap 16.000 hektar milik 7.100 petani rakyat. “Itu masih sangat jauh di bawah target 185.000 hektar,” katanya.
Pada tahun 2018, kata Mansuetus, BPDP-KS berhasil menghimpun Rp 14 triliun dana pungutan ekspor sawit. Namun, hanya sekitar Rp 395 miliar atau tiga persen yang digunakan untuk membiayai peremajaan sawit rakyat. Lebih dari 90 persen digunakan untuk membiayai program B-20.
Oleh karena itu, kata Mansuetus, mereka telah mengusulkan agar dana ekspor maksimal 10 dollar AS per ton. Penggunaan dana pungutan ekspor juga harus diperbesar untuk peremajaan sawit rakyat, peningkatan SDM petani, dan penelitian.
Peremajaan sawit rakyat cukup mendesak karena produktivitas kebun rakyat saat ini hanya 2-3 ton CPO per hektar per tahun, jauh di bawah potensi yang mencapai 8 ton per hektar per tahun. Peremajaan sawit rakyat mendesak untuk mengganti tanaman yang sudah tua, mengganti tanaman dengan bibit unggul, mengatur jarak tanam yang ideal, dan bertani dengan manajemen budidaya yang lebih baik.