Selamat Jalan, Purnomo
Purnomo, sprinter andalan Indonesia, telah berpulang. Mantan manusia tercepat Indonesia itu meninggalkan warisan berharga, yaitu jalan prestasi dan etos kerja bagi atlet nasional.
Dunia olahraga berduka karena kehilangan sprinter andalan Indonesia era 1980-an, Purnomo Muhammad Yudhi. Sosok yang dikenal disiplin, pekerja keras, ramah, dan pantang menyerah itu meninggal pada usia 56 tahun, Jumat (15/2/2019), karena kanker kelenjar getah bening yang diderita empat tahun terakhir.
Purnomo, yang lahir di Ajibarang, Jawa Tengah, 12 Juli 1962, berpulang di Rumah Sakit Pondok Indah, Jumat pukul 09.40. Ia meninggalkan seorang istri, RA Endang Irmastiwi, dan empat anak, yaitu Gian Asiara, Praditya Ramadhan, Juan Primabara, dan Hanggara Adiputra. Jenazah Purnomo dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Di bidang olahraga, Purnomo meninggalkan warisan yang sangat berharga, yaitu jalan prestasi atletik Indonesia di tingkat dunia. Prestasinya, antara lain, adalah medali perak nomor 100 meter pada Kejuaraan Asia Atletik 1985 di Jakarta. Dia mencetak waktu 10,33 detik yang jadi rekor nasional.
Purnomo meraih puncak penampilannya di Olimpiade Los Angeles 1984. Kala itu, ia berlomba di nomor 100 meter, 200 meter, serta estafet 4 x 100 meter bersama Christian Nenepath, Johannes Kardiono, dan Ernawan Witarsa.
Dia bersaing dengan sprinter-sprinter top dunia, seperti Carl Lewis (AS) dan Ben Johnson (Kanada). Namun, Purnomo tidak minder dan lolos ke semifinal nomor 100 meter. Pencapaian itu menjadi tonggak sejarah atletik Indonesia.
Hingga kini belum ada lagi sprinter Indonesia yang tampil di semifinal Olimpiade. Di semifinal, Purnomo yang jadi satu-satunya wakil Asia mencatat waktu 10,51 detik. Dia berada di peringkat ke-11 dari 16 pelari terbaik dunia.
”Betul, saya tidak berhasil menyumbang medali untuk Indonesia, tetapi setidaknya nama Indonesia dan juga nama Asia telah menghiasi sejarah panjang Olimpiade berkat seorang anak desa asal Ajibarang,” ujar Purnomo (Kompas, 29 Juli 2017).
Menjelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Kompas sempat berjumpa dengan Purnomo. Di samping menceritakan soal kondisi kesehatannya yang menurun karena kanker limfoma, atau kelenjar getah bening di perut, dalam pertemuan itu, Purnomo berbagi ide pembinaan prestasi di Indonesia.
Purnomo mengatakan, Indonesia seharusnya belajar dari sejarah persiapan Olimpiade yang pernah dia lalui. Untuk mempersiapkan atlet-atlet di Olimpiade 1984, misalnya, program latihan dibuat secara matang dan jangka panjang. Berkat program jangka panjang, Purnomo merasakan nikmatnya berlatih bersama atlet Amerika Serikat dan negara lain di Los Angeles, sebelum Olimpiade berlangsung. Dengan begitu, ketahanan fisik dan mental terbangun.
“Makanya, saat bersaing dengan spinter dunia di Olimpiade, saya tidak takut. Di latihan, saya kan sudah sering bertemu mereka. Kalau sekarang, banyak atlet takut bertemu lawan yang levelnya lebih tinggi,” kata Purnomo.
Dalam pernyataannya, Purnomo ingin menekankan bahwa prestasi tidak dibangun dalam semalam. Prestasi dibangun dengan adanya keseriusan atlet, serta didukung kemauan politik dan aksi nyata pemerintah dalam menyediakan fasilitas, serta kerja sama antarpengurus cabang olahraga.
Setelah pertemuan itu, Purnomo lama tak terdengar kabarnya. Rupanya, kanker limfoma kembali menyerang tubuhnya hingga tiga kali, sepanjang 2017-2019. Purnomo, sempat mengirimkan foto bersama sejumlah Olimpian yang menjenguknya, salah satunya petenis Yayuk Basuki. “Kalau lihat foto itu, baru sadar kalau sudah mulai tua, ha ha ha,” kata Purnomo, melalui pesan singkat.
Mantan perenang nasional, Lukman Niode merasa terpukul dengan kepergian Purnomo. “Saya sedih, sahabat saya pergi,” kata perenang yang bersama Purnomo menggagas berdirinya Asosiasi Olimpian Indonesia. Lukman Niode dan Purnomo menjalani pelatnas bersama menjelang SEA Games 1983, 1985, dan 1987, serta Asian Games 1982, 1986, dan Olimpiade 1984.
Menurut Lukman Niode, Purnomo mempunyai karakter disiplin, pekerja keras, pantang menyerah, berani, dan percaya diri. “Setiap kali bertemu Purnomo, dia selalu bilang agar Indonesia bisa mengirim lebih dari 50 atlet ke Olimpiade, dan agar Indonesia bisa meraih tiga hingga empat medali emas,” kata Lukman Niode.
Memiliki tujuan
Menurut pelatih sprint Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) Eni Nuraini di Jakarta, Jumat, Purnomo adalah sosok atlet yang serius, disiplin, dan punya tujuan pasti. Semasa aktif, Purnomo sangat tekun berlatih dan ia punya target tinggi untuk dirinya sendiri.
Salah satu impian dia yang selalu diulang-ulang adalah ingin tampil di Olimpiade. "Dan dia bisa mencapai impiannya itu. Bahkan, dia bisa sampai semifinal, yang hingga sekarang belum bisa disamai prestasinya oleh atlet-atlet penerusnya," ujar Eni.
Eni mengatakan, Purnomo pun tidak sekadar berlatih. Ia berlatih dengan sepenuh hati dan punya target capaian di setiap latihannya. "Itu patut dicontoh oleh para atlet-atlet Indonesia saat ini. Bahwa jadi atlet, bukan hanya latihan-latihan saja. Mereka harus ada visi dan misi yang jelas dari setiap latihannya," ujarnya.
Direktur Pelatnas PB PASI sekaligus Komisi Peningkatan Prestasi PB PASI Mustara menuturkan, selepas pensiun jadi atlet, Purnomo pun masih berkontribusi untuk dunia atletik nasional. Ia aktif sebagai pengurus PB PASI. Selama jadi pengurus organisasi, ia pun aktif memberikan kritik membangun dan motivasi untuk para pengurus lain.
Untuk para atlet, ia juga selalu menyempatkan diri datang melihat perkembangan latihan hingga menyaksikan pertandingan. Bahkan, itu dilakukannya saat sudah sakit. "Purnomo benar-benar jadi contoh nyata dunia olahraga Indonesia. Dia mencurahkan dirinya sepenuh hati untuk perkembangan dunia olahraga nasional, terutama atletik. Sebagai atlet maupun pengurus organisasi, dia menjadi teladan nyata untuk kita semua," ujar Mustara.
Totalitas Purnomo juga diungkapkan putra sulungnya, Gian Asiara (30). ”Saat menahan sakit, papa tetap bicara tentang olahraga Indonesia,” kenangnya di rumah duka, Perumahan Discovery Lumina, Tangerang Selatan.
Penuh perhatian
Di tengah sakit, perhatiannya terhadap perkembangan olahraga Indonesia tak padam. Purnomo selalu bercerita tentang perlunya menyejahterakan olahraga Indonesia. Hal itu mencakup tentang perhatian pemerintah terhadap siapa pun yang telah mengharumkan nama bangsa.
“Jangan bicara soal memajukan olahraga Indonesia karena olahraga Indonesia tidak pernah mundur. Tapi sejahterakanlah olahraga Indonesia,” demikian petuah sang ayah, di pengujung masa hidupnya.
Di sisi lain, peraih emas nomor 100 meter kejuaraan ASEAN II di Kuala Lumpur, Malaysia 1982 ini, tak hentinya memberi motivasi kepada orang lain. “Papa selalu menceritakan kisah hidupnya kepada siapa pun. Ia pernah pergi ke sekolah dengan tidak pakai sepatu. Berkat kegigihan, sekarang bisa menyekolahkan anak-anaknya,” kata Gian.
Emma Tahapary, mantan atlet atletik yang juga hadir ke rumah duka, tak bisa menahan air matanya ketika bercerita tentang rekannya yang pernah sesama di pelatnas itu. Betapa tidak, Purnomo adalah penyemangat baginya.
Di kejuaraan atletik ASEAN 1984 di Manila, Filipina, Purnomo tak hentinya memberi semangat kepada Emma. Hal itu manjur. Emma berhasil mencatatkan waktu 54,2 detik di nomor lari 400 meter. “Om Pur menunggu saya di finis, dia memeluk dan merangkul saya. Kenangan manis itu tak bisa saya lupakan sampai sekarang,” kata Emma.
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengatakan, kegigihan Purnomo harus menjadi contoh bagi sprinter muda Indonesia. Kepada Imam, istri Purnomo bercerita bahwa suaminya, manusia tercepat di era 1980-an, tidak pernah menyerah terhadap penyakitnya. Semangatnya untuk sembuh tetap tinggi.
“Purnomo adalah legenda dan sekarang beliau sudah meninggalkan kita, dan kita akan melanjutkan perjuangannya, yaitu menjadi pemuncak di Olimpiade,” kata Imam. (Insan Alfajri)