Menjadi Penengah
Belakangan, Pemuda Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi otonom Muhammadiyah banyak disorot terlalu membela salah satu kubu politik. Padahal, Pemuda Muhammadiyah perlu menegakkan netralitas sebagai penjaga moral.
Tak sedikit yang menilai urusan dukung-mendukung dalam dinamika politik itu hal yang wajar. Namun, banyak juga yang berpendapat Pemuda Muhammadiyah sudah terlewat jauh masuk ke dalam pusaran politik praktis.
Itu salah satu kegelisahan kader Pemuda Muhammadiyah, Sunanto, sejak beberapa bulan lalu. Maka, ketika dia terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah pada November 2018, menggantikan Dahnil Anzar Simanjuntak, dia bertekad mengembalikan pemuda Muhammadiyah pada jalur semestinya.
Sosok yang aktif juga di Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) ini menilai bahwa kader Muhammadiyah memang harus tersebar di mana saja. Akan tetapi, untuk urusan dukung-mendukung, tidak perlu membawa bendera organisasi.
Ditemui di Kantor Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah di Menteng, Jakarta, pria kelahiran Sumenep, Madura, Jawa Timur, ini menceritakan visi sekaligus kegelisahannya tentang anak bangsa.
Gagasan ini penting dia sampaikan terkait sidang Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu pekan ini. Berikut petikan wawancaranya.
Saat terpilih sebagai Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, gagasan apa yang Anda bawa untuk menggerakkan organisasi ini?
Pada periode sebelumnya, gerakan pemuda sangat luar biasa. Kader pemuda sudah banyak tersebar. Tinggal ruang dan jalan yang harus dipersiapkan. Harus didesain lima tahunan ke depan sesuai dengan skenario keahlian.
Selama ini keahlian atau kompetensi berjalan personal, tidak ada strategi organisasi yang membangun itu. Selain itu, juga tentang tarikan politik yang mengeras. Pemuda Muhammadiyah perlu menarik gagasan awal dalam berpolitik.
Bisa dijelaskan lebih detail?
Yang harus dilakukan kembali adalah menarik gagasan awal bahwa berpolitik itu sah- sah saja. Tetapi, saat ini tarikannya mengeras karena patron- patronnya menarik lembaga ini ke arah sana (politik praktis). Yang tidak kita miliki adalah desain, lembaga tidak perlu ditarik, tetapi sebaran kadernya luar biasa, ke mana-mana.
Ini politik garam atau high politics, menempatkan orang sesuai dengan kemampuannya untuk membawa misi dan visi Muhammadiyah sesuai dengan nilai-nilai Muhammadiyah.
Yang terjadi saat ini banyak orang Muhammadiyah terorbitkan, tetapi membawa nilai lain ke rumah Muhammadiyah. Padahal, pengalaman saya, ideologi Muhammadiyah sangat bisa masuk ke orang lain. Jangan sebaliknya.
Maksud saya, jangan memakai nama Muhammadiyah untuk dukung-mendukung politik ini. Tetapi jadikan nilai Muhammadiyah (mewujud) dalam aktivitas dan perilaku.
Soal politik praktis tadi, bisa digambarkan dinamika dan upaya orang-orang yang mencoba menarik Pemuda Muhammadiyah ke politik praktis ini?
Itu luar biasa keras. Saat ini ada banyak kader Muhammadiyah, termasuk mantan ketua umum, masih menggunakan baju Pemuda Muhammadiyah.
Image-nya tidak akan lepas. Kadang juga terjadi kader Muhammadiyah memberi ruang kepada kelompok tertentu karena memiliki kesamaan politik, tetapi yang lain tidak dikasih karena berbeda.
Nah, ini ada yang terputus di kami. Tugas menyampaikan dan mempersiapkan kader di politik tidak berjalan secara semestinya sebagaimana mempersiapkan kader pada gerakan sosial dan pendidikan. Ada ketimpangan.
Kami pernah mencoba membirokrasikan sistem politik. Ini terjadi pada 2004. Membentuk partai politik seperti membentuk amal usaha.
Jadi, membuat parpol sebagai amal usaha Muhammadiyah. Bagaimana kader yang punya potensi politik dikumpulkan dan diberi saluran.
Ketika kader-kader Muhammadiyah tersebar di berbagai partai politik, masih terbangun komunikasi. Seperti menitipkan kadernya, tetapi masih melaporkan perkembangannya, sehingga nilai Muhammadiyah yang diperjuangkan dalam kebijakan partai atau pemerintah dapat berjalan.
Tak perlu lobi-lobi. Sekali ketua Muhammadiyah ngomong, bisa diterjemahkan dalam kebijakan karena mereka kader Muhammadiyah.
Pemuda Muhammadiyah berperan penjaga moralnya. Kami menganggap teman-teman boleh di situ atau di sini, silakan perankan dan perjuangan nilai-nilai Muhammadiyah. Silakan kumpulkan kader-kader itu di Muhammadiyah.
Dengarkan suara masyarakat Muhammadiyah yang cenderung ke pasangan 01 dan sampaikan kepada pasangan 01, suara yang cenderung ke 02 sampaikanlah kepada pasangan 02. Kader Muhammadiyah di mana pun posisinya menjadi penyambung lidah.
Yang membuat saya miris itu, ada kader Muhammadiyah yang membawa politik sebagai perjuangan agama. Maksud saya, jangan ada politisasi agama.
Trennya cenderung ke salah satu calon presiden dan diamini sebagian warga Muhammadiyah karena dianggap memperjuangkan Islam. Urusan ideologi keagamaan. Nah, ini kan politisasi agama.
Kami sadar bahwa itu politisasi agama. Akan tetapi, kader di bawah menganggap ini agama yang harus diperjuangkan, lalu terjadi ketegangan, sementara para politisi tahu ini permainan.
Menurut saya, dibuat santai saja dan bergembira berpolitik begini sebab di Muhammadiyah itu, menurut saya pribadi, yang di situ tidak boleh kalian maki-maki, yang di sana enggak boleh maki-maki. Satu sama lain saling sapa. Ketegangan terjadi karena jarang ketemu untuk berdialog.
Jika demikian, apa yang perlu dilakukan?
Yang kami lakukan adalah menguatkan narasi kebangsaan sebab yang kami pikirkan adalah pasca-pilpres. Kalau sampai mengental pertarungan ini, kemungkinan akan dibawa pascapilpres dan merusak persaudaraan.
Saling mengerdilkan. Sebaiknya sama-sama cooling down. Ini pesan saya ke kader Pemuda Muhammadiyah.
Saya tak mungkin memerintahkan kader untuk memilih salah satu calon. Namun, memang sekarang posisinya serba susah. Netral saja dianggap berpihak.
Bagi saya, yang penting teman-teman bisa saling menghargai dan menjadi penengah di antara keterbelahan ini, bukan menjadi salah satu penyebab persoalan baru.
Tokoh agama dan tokoh adat sudah susah dijadikan penengah sebab banyak juga kiai yang menjadi caleg. Tidak nyaleg pun menjadi tim sukses. Makanya, Pemuda Muhammadiyah menjaga tetap di tengah untuk mengantisipasi benturan politik.