JAKARTA, KOMPAS — Perbedaan suku sering kali menjadi ganjalan membangun hubungan antarwarga. Sebagian orang masih menaruh curiga pada etnis tertentu dengan berbagai alasan. Berangkat dari hal itu, Majelis Dzikir Hubbul Wathon membuka dialog antarwarga dengan berbagai latar belakang etnis.
Tujuannya mengikis sekat-sekat etnisitas yang menjadi satu identitas, yaitu warga Indonesia. ”Negara maju itu sudah selesai dengan masalah perbedaan etnis ini. Mereka jadi satu untuk memajukan negara, bukan malah saling serang,” kata Co-Founder Dialektik.id Adriansyah yang menjadi salah satu pembicara pada diskusi yang bertema ”Peran Warga Tionghoa untuk Kemajuan Bangsa”, Jumat (15/2/2019) malam.
Selain Adriansyah, hadir pula Wakil Ketua I Generasi Muda Perhimpunan Indonesia Tionghoa Pusat Alexander Gunawan sebagai pemateri diskusi yang berlangsung di kantor Pengurus Besar Majelis Dzikir Hubbul Wathon, Tebet, Jakarta Selatan. Alexander menegaskan bahwa perkubuan merupakan strategi penjajah masa lalu untuk memecah bela bangsa Indonesia.
Perpecahan ini ditunjukkan dengan adanya perkampungan khusus di Indonesia, misalnya saja di Jakarta yang terdapat Kampung Cina, Kampung Arab, Kampung Makassar, Kampung Ambon, dan lainnya. Perkampungan ini dibuat agar masyarakat tidak bersatu dan mudah untuk diadu domba karena mereka menganggap berbeda satu sama lain.
Dalam diskusi juga ditegaskan, tidak ada yang salah dengan perbedaan etnis. Namun, bagaimana masyarakat seharusnya hidup damai dengan perbedaan identitas yang mereka bawa masing-masing. Baik itu identitas yang dibawa dari lahir maupun yang ia pilih di negara yang telah merdeka ini.
Namun kenyataannya, hingga saat ini masih saja terdengar masyarakat Indonesia yang meributkan isu perbedaan yang belum dipastikan kebenarannya. Misalnya saja isu bahwa Tionghoa akan menguasai Indonesia, terutama di dunia kerja.
”Kita mudah sekali terpecah belah dengan isu-isu yang sifatnya lokal. Salah satu penyebabnya karena kurang baca buku sehingga persepsi berdasarkan kepentingan pribadi atau golongan bukan berdasarkan ilmu pengetahuan,” kata Alexander di depan para peserta diskusi.
Dalam diskusi, disepakati bahwa isu perbedaan ini sengaja dilemparkan dengan tujuan besar. Salah satunya untuk mengalihkan perhatian warga saat akan mengeluarkan aturan baru pemerintahan atau perdagangan negara. Kepentingan persatuan masyarakat seakan tidak menjadi utama sehingga mudah dijadikan bahan perdebatan.
Gus Dur
Di balik permasalahan pelik ini, dalam diskusi dinyatakan wujud menghargai perbedaan menuju negara maju dianggap telah dilakukan pada masa kepemimpinan presiden keempat Republik Indonesia, Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur berani menghargai keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia dengan melegalkan penggunaan nama khusus keturunan Tiongkok, menjadikan Imlek sebagai tanggal merah, hingga penggunaan simbol etnis Tiongkok, seperti barongsai dan liong dipertontonkan di Indonesia.
Walau kepemerintahan Gus Dur singkat, 1999-2001, warisannya sangat berharga bagi kemanusiaan, terutama dalam saling menghargai perbedaan untuk persatuan. Gus Dur dinilai lebih memilih mementingkan kemanusiaan dibandingkan kepentingan politik.
”Masa Gus Dur itulah revolusi mental sesungguhnya. Jika ada benturan antara kemanusiaan dan politik, yang dipilih pasti kemanusiaan,” tegas Adriansyah yang aktif menjadi pemateri di berbagai diskusi yang diadakan Majelis Dzikir Hubbul Wathon.
Selain persatuan, keputusan Gus Dur juga memberikan dampak positif bagi warga Indonesia sendiri. Salah satunya dengan semakin bertumbuhnya lapangan pekerjaan yang diciptakan para Tionghoa yang sebagian besar adalah pengusaha. Oleh karena itu, menghilangkan sentimen perbedaan etnis untuk fokus berkarya dan memajukan negara jauh lebih penting dibandingkan sibuk membuat perkubuan. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)