Tuntut Implementasi Kesepakatan, Peneliti LIPI Kembali Unjuk Rasa
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Profesor riset, peneliti, dan pegawai Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia kembali berunjuk rasa menuntut agar kesepakatan terkait kebijakan reorganisasi yang telah ditandatangani dapat segera dilaksanakan, Jumat (15/2/2019) di kantor LIPI Jakarta. Pada Jumat (8/2/2019) lalu, mereka telah menyepakati untuk melakukan penghentian sementara kebijakan reorganisasi.
Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris mengatakan, aksi ini berlanjut akibat kesepakatan yang telah dicapai pada minggu lalu tidak dilaksanakan oleh Kepala LIPI Laksana Tri Handoko. “Minggu lalu telah disepakati untuk melakukan moratorium atau penghentian sementara kebijakan reorganisasi,” kata Syamsuddin.
Ia menambahkan, minggu lalu juga disepakati, bahwa akan dibentuk tim evaluasi untuk mengkaji ulang kebijakan reorganisasi tersebut. Selain itu, juga disepakati kembali ke status quo yang artinya keadaan LIPI tidak diotak-atik sampai tim kaji ulang menghasilkan rekomendasi.
Syamsuddin menuturkan, kesepakatan tersebut telah ditandatangani, sehingga seharusnya diimplementasikan. Namun, pada kenyataannya pimpinan LIPI tetap melanjutkan reorganisasi dan redistribusi pegawai.
Adapun salah satu bentuk reorganisasi tersebut, yaitu menghilangkan sejumlah satuan kerja. Dalam upaya reorganisasi, kepala LIPI melakukan resentralisasi. Menurut Syamsuddin, bentuk desentralisasi yang selama ini digunakan sudah baik karena kewenangan ada di pusat-pusat penelitian dan satuan kerja. “Dengan resentralisasi oleh Kepala LIPI dalam kebijakan reorganisasi, maka otonomi satuan kerja pusat penelitian menjadi hilang,” tuturnya.
Profesor Riset Bidang Perkembangan Politik dan Kekerasan Politik Hermawan Sulistyo mengungkapkan, rotasi dilakukan secara semena-mena. Beberapa karyawan ada yang diturunkan jabatannya, bahkan ada yang diberhentikan.
“Sebagian besar karyawan yang diberhentikan berstatus honorer, seperti tukang ketik dan OB (office boy),” ujar Hermawan. Akibatnya, peniliti harus mengejarkan pekerjaannya sendiri. Pemecatan tersebut dilakukan dengan alasan untuk kepentingan efisiensi.
Hermawan mengatakan, akibat kebijakan reorganisasi, beberapa tempat penelitian dirubah peruntukannya. Sebagai contoh, Kebun Raya Bogor hanya digunakan untuk tempat rekreasi. Padahal, sebelumnya tempat tersebut digunakan untuk konservasi dan penelitian.
Menurut Hermawan, sebuah negara yang mengabaikan ilmu pengetahuan dan teknologi akan sulit maju. Ia menegaskan, LIPI dibentuk sebagai ujung tombak pengembangan ilmu pengetahuan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Hermawan berharap, LIPI kembali menjadi sebuah institusi yang berpengaruh dalam pengambilan kebijakan.
Sesuai regulasi
Saat dikonfirmasi, Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengatakan, pada minggu lalu mereka menuntut moratorium reorganisasi dan dikembalikan ke posisi organisasi sebelumnya. “Kami tidak dapat menerima semua tuntutan tersebut dan hanya menerima klausul pembentukan Tim Evaluasi Reorganisasi. Yang saya tandatangani saat itu konteksnya demikian,” kata Handoko.
Ia menegaskan, LIPI adalah instansi pemerintah yang harus tunduk pada regulasi yang berlaku, termasuk organisasi baru yang dihasilkan dari proses panjang sejak Februari 2018. Regulasi tersebut telah dibahas bersama, diulas, dan disetujui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Syafruddin.
Regulasi ini telah diharmonisasikan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian, diundangkan dalam bentuk Peraturan LIPI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kelola LIPI.
“Tentu rasa memiliki yang kuat terhadap lembaga yang sudah membesarkan kami semua sangat bagus. Namun dilain sisi, sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara), kita harus memahami bahwa LIPI adalah lembaga pemerintah dan bukan milik kami,” tutur Handoko.
Ia menegaskan, semua sivitas LIPI adalah ASN yang ditugaskan untuk menjalankan amanah dan wewenang yang diberikan untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini sangat tidak etis bagi ASN untuk memaksakan kehendak sesuai keinginan sebagian orang, apapun motifnya.
Handoko mengatakan, ASN adalah pilihan profesi. Konsekuensi pilihan tersebut adalah setiap ASN harus tunduk pada regulasi yang berlaku.
Oleh karena itu, sebagai Pimpinan di LIPI, ia wajib menjaga dan melaksanakan regulasi yang ada sebagai payung hukum dari semua aktifitas serta pemakaian anggaran di LIPI. “Saya juga tidak memiliki kewenangan untuk melakukan moratorium yang akan berujung pada kekosongan payung hukum yang bisa berdampak serius, khususnya pemakaian anggaran LIPI,” kata Handoko.
Ia akan selalu terbuka untuk menerima keluhan dan dialog dengan semua pihak. Bahkan, meminta info secara rinci dari setiap masalah yang muncul, sehingga bisa langsung diselesaikan kasus per kasus dengan tuntas. Handoko menegaskan, tidak boleh ada pemaksaan kehendak dari sebagian orang atas pelaksanaan dari perundangan yang berlaku.
Handoko percaya, sebagian besar sivitas LIPI mampu berpikir rasional dan mendahulukan kepentingan bangsa. Ia meyakini, justru mereka inilah yang akan berlari semakin kencang pascatransformasi. Visi, misi dan tujuan reorganisasi ini sangat jelas dan terukur.
Ia mengatakan, transformasi ini merupakan keniscayaan di tengah tuntutan dan harapan publik yang semakin tinggi. “Perubahan ini merupakan pondasi utama untuk melangkah menuju lembaga ilmu pengetahuan yang seharusnya,” tutur Handoko.
Ia tidak menampik ada sebagian pihak yang secara langsung maupun tidak langsung terdampak dengan proses ini. Karena itu, ia selalu membuka diri menerima semua kasus yang terjadi agar bisa diminimalisir dampaknya, terutama bagi personal.