JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum memutuskan penghitungan suara untuk Pemilihan Umum 2019 akan diawali dari surat suara pemilihan presiden dan wakil presiden, lantas diikuti surat suara DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Keputusan ini juga perlu diikuti dengan sosialisasi memadai di tengah kompleksitas teknis pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2019.
Kebijakan KPU ini tertuang dalam Pasal 52 Ayat 6 draf Peraturan KPU (PKPU) tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara. Draf PKPU ini sudah dikirimkan beberapa waktu sebelumnya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diundangkan, tetapi ada revisi yang disusulkan, Kamis (14/2/2019). PKPU ini diperkirakan bisa diundangkan beberapa hari mendatang.
Sebelumnya, KPU menerima usulan agar penghitungan surat suara pemilihan anggota badan legislatif yang didahulukan. Akan tetapi, KPU memutuskan tetap memulai penghitungan dari surat suara pemilihan presiden.
”Belajar dari pengalaman dalam pemilu sebelumnya, penghitungan berdasarkan jenis pemilu level tertinggi. Sebelumnya juga pada Pemilu 2014 dimulai dari surat suara DPR, DPD, DPRD provinsi, baru DPRD kabupaten/kota,” ujar anggota KPU, Wahyu Setiawan, Kamis, di Gedung KPU, Jakarta.
Ketua KPU Arief Budiman menambahkan, PKPU Pemungutan dan Penghitungan Suara sudah dikirim ke Kemenhuk dan HAM beberapa waktu lalu serta sudah ditandatangani. ”Akan kami upload (PKPU itu). Seharusnya mulai kemarin, (tapi saya) belum cek, apa sudah atau belum,” kata Arief.
Kompleksitas teknis
Hari pemungutan suara Pemilu 2019, secara teknis, dinilai pemerhati pemilu sangat kompleks bagi pemilih, saksi, dan petugas di tempat pemungutan suara (TPS).
Upaya optimal perlu dilakukan untuk memastikan pemahaman teknis pemungutan dan penghitungan suara bisa dipahami para pemangku kepentingan.
Setidaknya ada tiga hal yang menimbulkan kompleksitas teknis itu. Pertama, pada Pemilu 2019, pemilih akan mendapat lima surat suara dalam satu hari.
Pada Pemilu 2014, pemilih mendapat empat surat suara, yakni DPR, DPRD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Baru beberapa bulan setelahnya pemilihan presiden digelar dan pemilih mendapat satu surat suara lagi.
Kedua, jumlah partai politik peserta Pemilu 2019 bertambah, yakni menjadi 16 parpol nasional dan 4 parpol lokal Aceh. Pada Pemilu 2014, ada 12 parpol nasional dan 3 parpol lokal Aceh.
Ketiga, pada Pemilu 2019, muncul pengaturan perpindahan memilih lintas daerah pemilihan yang menyebabkan pemilih kehilangan hak mendapat surat suara di daerah pemilihan itu.
Pemilih yang pindah memilih di provinsi berbeda, misalnya, hanya akan mendapat surat suara presiden-wakil presiden. Pada Pemilu 2014, kendati pindah memilih lintas daerah pemilihan, pemilih tetap mendapat semua surat suara.
”Dari Indeks Kerawanan Pemilu 2019, kami juga menemukan potensi kerawanan di TPS, apalagi sekarang persoalan teknis berubah cukup drastis,” kata anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), M Afifuddin.
Dia mencontohkan, dengan ada pengaturan di Undang-Undang Pemilu terkait dampak pindah memilih terhadap hilangnya sebagian hak suara pemilih, hal ini bisa menimbulkan protes jika tidak dipahami oleh petugas di TPS, pemilih, atau saksi peserta pemilu.
Sebab, jika di satu TPS ada pemilih pindahan lintas daerah pemilihan, bisa saja ada selisih jumlah surat suara presiden-wapres, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
”Kalau tidak paham itu bisa saja ada yang mempermasalahkan,” kata Afifuddin.
Peneliti senior Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang juga mantan anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, menuturkan, dengan kompleksitas teknis pada Pemilu 2019, waktu yang dibutuhkan untuk penghitungan suara pada Pemilu 2019 bisa tiga hingga lima jam lebih lama daripada Pemilu 2014.
Dari catatan Hadar, pada simulasi Pemilu 2019 yang digelar KPU tahun lalu, dengan jumlah pemilih di TPS 300 orang, surat suara baru selesai dihitung menjelang tengah malam. Ini pun dengan catatan, petugas TPS yang dilibatkan sudah dipilih dan berada dalam supervisi petugas KPU.
”Pada Pemilu 2014, satu TPS 500 pemilih. Sekarang lebih sedikit, tapi ada tambahan satu kotak suara yang dihitung. Juga bisa ada selisih jumlah surat suara karena daftar pemilih tambahan (pemilih pindahan),” katanya.
Dia menilai, perlu langkah berani untuk mengembalikan pengaturan pindah memilih seperti Pemilu 2014 guna mengurangi kompleksitas teknis di TPS. Hal ini bisa dilakukan melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Pilihan lain, ada pihak yang mengajukan uji materi pengaturan di UU Pemilu itu ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dia juga menilai KPU perlu segera menyosialisasikan PKPU Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS. KPPS yang direkrut juga harus punya kapasitas memadai.
Hadar khawatir kombinasi beban kerja yang berat dan waktu yang lama untuk menghitung surat suara bisa menurunkan konsentrasi petugas di TPS yang harus menghitung perolehan suara dan menuliskannya dalam formulir yang jumlahnya banyak.
Kesalahan administrasi bisa dipermasalahkan peserta pemilu, bahkan tidak tertutup kemungkinan bisa berujung pada pemungutan suara ulang.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengkhawatirkan kompleksnya pemungutan suara pada Pemilu 2019 bisa menyebabkan surat suara tidak sah akan bertambah jika dibandingkan dengan Pemilu 2014. (INK/GAL)