Akulturasi dan pergaulan masyarakat Nusantara dengan berbagai bangsa termasuk Tionghoa berjalan ribuan tahun dalam interaksi sesama bangsa Asia yang juga melibatkan bangsa Arab, India, dan berbagai wilayah di Asia Tenggara. Pergaulan antar kaum yang erat dalam sejarah kerajaan di Pulau Jawa, membuka kesempatan bagi pengangkatan pejabat berdarah Tionghoa dalam sejarah kerajaan di Jawa.
Penulis Dorodjadi Gondodiprodjo yang menulis buku Geger Pacinan 1740–1743 Persekutuan Tionghoa–Jawa Melawan VOC, menceritakan salah satu tokoh dalam perang terbesar yang pernah dihadapi VOC adalah Bupati Lasem Raden Ngabehi Widyaningrat alias Oei Ing Kiat. Dia bersama Kiai Ali Badawi, Panji Margono, dan Tan Kee Wie, memimpin Laskar Lasem melawan Pasukan VOC dalam perang yang berlangsung empat tahun itu.
Selanjutnya Daradjadi menjelaskan pada zaman Kerajaan Mataram dipimpin Sunan Amangkurat IV, mengangkat sejumlah tokoh Tionghoa menjadi bupati, diantaranya adalah Jayaningrat di Pekalongan dan Tumenggung Puspanegara di Batang. Bahkan kelak Jayaningrat diangkat menjadi Bupati Pesisir Barat. Ketika itu, Mataram masih menguasai daerah pesisir pantai utara Jawa.
Salah satu anak Jayaningrat menikah dengan anak perempuan Patih Danurejo. Tercatat Bupati Semarang Astrawijaya juga berdarah Tionghoa. Juga seorang Tionghoa bernama Cik Go Ing sudah menjadi Bupati Lasem di zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo dan diberi nama Jawa: Martoguno.
Selanjutnya di abad ke-19 ada Bupati Probolinggo, Jawa Timur, seorang peranakan Tionghoa yakni Han Kik Koo alias Han Tik Koo (lahir 1767) yang namanya masih diabadikan di Pendopo Kantor Bupati Probolinggo. Sejarawan Ong Hok Ham menyinggung keberadaan dinasti Han di Pasuruan dan Probolinggo dalam buku Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Mereka ini perintis industri gula di Pasuruan dan Probolinggo.
Han Kik Koo tercatat memiliki wilayah 12 desa dan 2.538 cacah di Pasuruan ketika menjadi Kapitan China di Pasuruan. Dia adalah cucu Han Siong Kong (1673–1743) seorang imigran dari China yang mendirikan dinasti marga Han di Lasem.
Bupati Han (1810 – 1813) memiliki kakak yang juga tuan tanah yakni Mayoor China Han Chan Piet dan pamannya Ngabehi Soero Pernolo, serta sepupunya seorang bangsawan Jawa yakni Adipati Soero Adinegoro dan Raden Soero Adiwikromo.
Pada masa itu juga ada seorang peranakan Tionghoa yang kadang oleh beberapa sumber disebut juga seorang Jawa yang diangkat anak keluarga Tionghoa yakni Raden Tumenggung Setjadiningrat alias Tan Ji Sing, Kapitan China di Yogyakarta yang dikenal Thomas S Raffles dan dekat dengan Pangeran Notokusumo (Pakualam I) putra dari Sultan Hamengkubuwono I. Setjadiningrat disebut sebagai orang yang merintis jalan ke reruntuhan Candi Borobudur di masa pendudukan Inggris di Jawa (1811 – 1816). Dia dikenal sebagai polyglot yang mampu berbicara dalam Bahasa Jawa Halus, Mandarin, Inggris, dan beragam dialek lain.
Warisan dari sisi arsitektur yang bertahan hingga kini adalah konsep rumah toko (Ruko).
Dalam buku Perkembangan Kota di Jawa Abad XVIII Sampai Pertengahan Abad XX karya Handinoto disebutkan, keberadaan pemukim Tionghoa yang bercampur dengan masyarakat lokal sehingga membentuk masyarakat peranakan Tionghoa juga membawa pengaruh kultural seperti bentuk tata kota dan hunian di Jawa yang mirip dengan kota-kota di pesisir selatan Tiongkok di Provinsi Fujian dan Guangdong, tempat sebagian besar para cikal bakal leluhur masyarakat Tionghoa tersebut. Warisan dari sisi arsitektur yang bertahan hingga kini adalah konsep rumah toko (Ruko).
Sejarawan Universitas Negeri Semarang (Unnes) Wasino yang dijumpai di Semarang mengatakan, sejatinya relasi sosial masyarakat Jawa dan Tionghoa sangat cair. Dalam catatan sejarah hubungan sesama bangsa Asia termasuk interaksi Jawa dengan Tionghoa, Arab, India, dan lain-lain, bangsa Asia nyaris tidak ditemui soal kekerasan dan diskriminasi.
Dalam perkembangan setelah kekuasan Eropa hadir dan kolonial Belanda mengukuhkan diri, barulah mulai terjadi kesenjangan. Pada pertengahan 1800-an dan awal 1900-an, menurut Wasino, masyarakat Jawa mulai mengacu pada filosofi "Nata Rasa" dan masyarakat Tionghoa yang ditempatkan sebagai perantara antara Eropa dan Jawa berpegang pada filsafat "Nata Banda" atau mengejar kekayaan untuk memberi keamanan diri.
Kesenjangan itu berlanjut dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia ketika posisi Belanda sebagai yang dipertuan tidak ada, praktis secara alamiah jaringan dan pengetahuan bisnis berada di tangan masyarakat Tionghoa. Kondisi tersebut semakin diperuncing oleh kebijakan politik semasa Orde Baru.
Era Reformasi memberikan kesempatan sama bagi semua kelompok masyarakat. Akan tetapi kesadaran bersama diperlukan, ujar Wasino, dan pengalaman adanya bupati–bupati berdarah Tionghoa yang melayani masyarakat adalah modal sosial bagi membangun persaudaraan dan saling pengertian.