JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat berpenghasilan rendah yang bekerja di sektor informal dinilai memiliki kemampuan keuangan yang baik untuk bisa membeli rumah. Penyediaan rumah berbasis komunitas dinilai menjadi salah satu cara agar mereka bisa mengakses kredit pemilikan rumah bersubsidi.
Menurut Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata, Kamis (14/2/2019), di Jakarta, kebutuhan rumah yang besar justru datang dari masyarakat berpenghasilan rendah yang bekerja di sektor informal. Selama ini mereka kurang tersentuh pembiayaan perumahan karena dipandang tidak bisa memenuhi persyaratan dari bank (unbankable).
"Dari pengalaman Indonesia selama ini, sektor informal adalah ekonomi rakyat yang paling tangguh. Dengan keterampilan yang diwariskan turun-temurun, mereka tetap bertahan. Dengan kemampuan itu, mereka sebenarnya bisa membeli rumah," kata Soelaeman.
Dari perkiraan angka kekurangan rumah yang diklaim pemerintah sekitar 11,4 juta unit, sebagian besar merupakan hunian yang diperlukan masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah bekerja di sektor informal, seperti pedagang bakso sampai tukang cukur.
Kebanyakan dari mereka tidak bisa mengakses subsidi perumahan yang disediakan pemerintah, seperti skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Hal ini terbukti dari data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP). Dari total penerima FLPP sejak 2010 sampai 2018 sebesar 577.767 unit, penerima FLPP yang berprofesi sebagai wiraswasta hanya 46.452 orang atau 8,04 persen. Lainnya adalah pekerja swasta formal, pegawai negeri sipil (PNS), dan TNI Polri.
Penyediaan rumah dengan berbasis komunitas berdampak positif bagi perkotaan seperti Jakarta.
Menurut Soelaeman, kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah bersama perbankan dan pengembang untuk menyediakan rumah bagi pekerja di sektor informal melalui pendekatan berbasis komunitas adalah langkah yang positif. Pembangunan rumah bisa dilakukan dalam skala cukup besar serta kredit pemilikan rumah bisa disatukan dengan program pemerintah, seperti pembangunan bagi Persaudaraan Pemangkas Rambut Garut yang peresmian pembangunannya dilakukan Presiden di Garut Januari lalu.
Di sisi lain, lanjut Soelaeman, penyediaan rumah dengan berbasis komunitas berdampak positif bagi perkotaan seperti Jakarta. Sebab, dengan membangun rumah di daerah asal, pekerja informal akan kembali ke daerah asalnya.
"Tantangannya adalah bagaimana mengelola risiko yang mungkin timbul di kemudian hari bagi perbankan. Lalu mengkoordinasi komunitas pekerja informal juga tidak mudah," ujar Soelaeman.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah dari sektor informal melalui FLPP dan subsidi bantuan uang muka (SBUM).
"Konsep ini penekanannya pada inisiasi pengadaan rumahnya, bisa dari komunitasnya sendiri atau dari swasta baik bank atau pengembang. Itu diajukan ke pemerintah untuk mendapatkan subsidi dan stimulan lainnya," kata Khalawi.
Menurut Khalawi, peran perbankan dalam hal ini sangat penting karena perbankan yang mendampingi mereka agar bisa bankable, seperti dengan menabung terlebih dahulu. Hal positif lainnya dari pendekatan ini adalah akan memicu masyarakat untuk memiliki rumah karena dilakukan secara berkelompok atau komunitas. Selain itu, rumah beserta kawasan yang dibangun pun akan lebih tertata atau tidak kumuh.
Ke depan, lanjut Khalawi, program serupa akan lebih mudah dilakukan jika Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) berjalan. Sebab, masyarakat akan bisa mengakses kredit dari perbankan karena sudah terlebih dahulu menabung. Khalawi pun memastikan penyediaan rumah berbasis komunitas akan dilakukan di tempat-tempat lain. "Sedang dalam proses," ujar Khalawi.