Menko Darmin : Indonesia Terdampak Perang Dagang AS-China
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2019 defisit 1,16 miliar dollar AS lebih dalam dari periode yang sama tahun lalu. Defisit perdagangan nonmigas jadi penyumbang utama.
Perdagangan non minyak dan gas (migas) defisit 704,7 juta dollar AS, sementara pada Januari 2018 surplus 179,6 juta dollar AS. Adapun perdagangan migas tercatat membaik dari defisit 935,6 juta dollar AS pada Januari 2018 menjadi 454,8 juta dollar AS pada Januari 2019.
Defisit nonmigas terjadi karena impor meningkat sebesar 2,21 persen dari 13,05 miliar dollar AS tahun 2018 menjadi 13,34 miliar dollar AS tahun 2019. Adapun ekspor menurun 4,5 persen dari 13,23 persen tahun 2018 menjadi 12,63 miliar dollar AS tahun 2019.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan volume perdagangan di China dan Amerika Serikat berdampak langsung ke Indonesia. Pertumbuhan ekspor nonmigas terus melambat sejak mencapai puncak pada bulan Juli 2018 sebesar 16,29 miliar dollar AS.
“Ini karena perkembangan dunia cepat sekali sehingga penyesuaian lebih lambat. Kita terpengaruh langsung perang dagang. Akibatnya, ekspor menurun tajam terutama ke China, negara tujuan nomor satu,” kata Darmin di Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, negara tujuan ekspor utama nonmigas pada Januari 2019 adalah China sebesar 1,7 miliar dollar AS, Amerika Serikat 1,5 miliar dollar AS, Jepang 1,2 miliar dollar AS, dan India 1 miliar dollar AS.
Di sektor nonmigas, surplus neraca perdagangan juga tercatat semakin kecil. Perdagangan nonmigas pada Januari 2019 defisit 704,7 juta dollar AS, sementara Januari 2018 surplus 182,6 juta dollar AS. Angka itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan surplus perdagangan nonmigas tahun 2017 yang mencapai 1.989,8 juta dollar AS.
Darmin mengatakan, pemerintah segera menyusun kebijakan jangka pendek untuk memperbaiki defisit perdagangan nonmigas. Ekspor yang diprioritaskan tidak lagi komoditas mentah, tetapi komoditas Industri. Sejauh ini ada dua komoditas industri prioritas yang akan didorong pemerintah, yaitu otomotif dan garmen.
“Pemerintah sedang merumuskan kembali komoditas apa lagi setelah itu, yang jelas akan bergerak ke komoditas industri bukan hasil tambang atau perkebunan,” kata Darmin.
Setidaknya ada lima sektor unggulan dalam peta jalan Revolusi Industri 4.0, yaitu industri kimia, tekstil dan produk tekstil, elektronik, otomotif, serta makanan dan minuman. Sektor lain bisa dari industri perikanan, permesinan, peralatan kesehatan, furnitur, serta produk kayu dan kertas.
Antisipasi global
Secara terpisah, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, defisit neraca perdagangan Januari tahun 2019 menunjukkan ada persoalan lebih fundamental dibandingkan ekspor-impor migas. Kondisi perekonomian global ke depan akan mengancam perdagangan nonmigas Indonesia.
“Perlambatan pertumbuhan ekonomi dan permintaan global akan lebih besar dampaknya terhadap ekspor-impor nonmigas. Bukan dalam beberapa bulan ke depan, tetapi sampai akhir tahun,” kata Faisal.
Di tengah ekonomi global yang rentan bergejolak, pemerintah diminta lebih berhati-hati dalam mengelola impor. Sebab, laju pertumbuhan impor bisa lebih cepat dibandingkan ekspor, seperti terjadi tahun 2018. Upaya mendorong ekspor masih berat apalagi ekonomi global mengalami perlambatan. Untuk itu, kebijakan pengendalian impor harus lebih optimal dan tepat sasaran.
“Defisit dikontrol supaya minimal jangan lantas mengurangi aktivitas produksi di dalam negeri karena dampaknya ke pertumbuhan ekonomi, manufaktur, dan konsumen,” kata Faisal.
Di sisi lain, langkah pemerintah memperbaiki defisit migas sudah dalam kerangka yang benar. Menurut Faisal, pemerintah saat ini mesti lebih fokus memperbaiki tata kelola migas supaya konsumsi masyarakat bisa turun dan produksi dalam negeri naik. Kebijakan tata kelola energi tetap diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.