Puluhan lelaki datang dan pergi, "mendekati" para pekerja seks komersial yang setiap malam meramaikan tepi Kali Angke, Jakarta. Di antara keramaian, Agus (35) dan pedagang kaki lima lain, mencoba mengais rezeki.
Oleh
·3 menit baca
Hari baru saja berganti. Namun, suasana di tepi Kali Angke, persisnya di Jalan Raya Pangeran Tubagus Angke, Jakarta, Jumat (15/2/2019) dini hari, ramai seperti siang hari. Puluhan lelaki datang dan pergi, ”mendekati” para pekerja seks komersial yang setiap malam meramaikan tempat itu. Di antara keramaian, Agus (35) dan pedagang kaki lima lain mencoba mengais rezeki.
Agus lumayan sibuk malam itu. Pesanan kopi silih berganti datang. Para pembeli biasanya melihat berbagai merek kopi kemasan yang dibawa pria berusia 35 tahun itu dengan sepeda motornya sebelum memesan.
Sudah dua tahun Agus berjualan di tepi Kali Angke atau yang oleh masyarakat sekitar disebut dengan ”Kali Genit” itu. Sebutan ini bisa jadi keluar karena banyaknya ”perempuan genit” di lokasi tersebut, ditambah lagi para lelaki yang datang dan pergi ”mendekati” mereka.
Namun, Agus tak menghiraukannya. Tak tergoda pula untuk turut serta ”mendekati”. Yang terpenting bagi Agus, dagangannya laku.
”Itu urusan mereka. Saya hanya berharap jualan saya cepat habis. Di rumah, istri dan anak sudah menunggu,” kata pria asal Banten itu.
Keramaian malam itu lumayan menguntungkan untuk Agus. Ketika jam menunjukkan pukul 04.00, dia sudah bisa mengantongi uang Rp 150.000.
Dia pun memilahnya, antara uang yang dialokasikan untuk kebutuhan sehari-hari dan uang yang dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan anaknya, yang kini duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Ini menjadi tahun ketiga Agus berjualan kopi keliling. Dia mulai berjualan tahun 2016 setelah diberhentikan dari pabrik sepatu, di Jakarta. Pekerjaan lain sulit diperoleh karena Agus hanya lulusan sekolah dasar. Karena itu, pilihan baginya untuk tetap bisa mendapat uang adalah dengan berjualan kopi keliling.
Dari simpanan uang yang ada saat itu sebesar Rp 500.000, Agus mulai berjualan kopi. Awalnya, dia berjualan di kawasan wisata Kota Tua, Jakarta Barat. Namun, saking banyaknya penjual kopi keliling di tempat itu, ia sering pulang dengan tangan hampa. Tak satu pun dagangannya terjual.
Dia lalu mencari tempat lain hingga akhirnya ”nyaman” di Kali Angke. Di tempat itu, dia masih bisa memperoleh uang sekalipun risikonya lebih besar daripada berjualan di Kota Tua ataupun tempat lain di Jakarta.
”Kalau tengah malam, di sini banyak tukang palak. Kalau enggak berani tantang balik, uang kita bisa diambil semua,” katanya.
Tak hanya Agus, Dedi (49), pedagang kopi dan rokok keliling lainnya, juga merasa ”nyaman” berjualan di tepi Kali Angke. Pasalnya, keuntungan yang diperoleh bisa dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan berjualan di tempat lain. Ditambah lagi, berjualan di tempat itu gratis. Tidak ada biaya sewa tempat.
”Setiap malam bisa dapat sampai Rp 200.000. Kalau lagi apes, ya enggak tembus Rp 100.000, tapi jarang,” ujar pria asal Cianjur, Jawa Barat, itu.
Lebih besarnya pendapatan yang bisa diraih membuatnya tak hirau dengan tekanan yang terkadang datang dari para tukang palak.
Besarnya pendapatan juga yang membuatnya berulang kali harus meyakinkan istrinya agar dirinya tetap bisa berjualan di sana.
”Istri dan anak-anak sering saya ajak ke sini. Biar mereka tahu kerjaan saya tiap malam. Kalau enggak dipercaya, hubungan rumah tangga bisa rusak,” katanya.
Sesaat menjelang matahari terbit, pengunjung tempat itu perlahan-lahan pergi. Agus dan Dedi, beserta belasan pedagang lain, pun mengemas dagangannya, dan kembali ke kediaman masing-masing. (STEFANUS ATO)