Malam sudah menyapa Yogyakarta. Jarum jam menunjukan pukul 20.30. Namun, Kirana Yunika (21) dan Vici Evanti (21) masih bersemangat. Wajah mereka semringah, tangannya menenteng karung sampah. Di simpang empat Koramil 05 Pakualaman, Jalan Sultan Agung, Kota Yogyakarta, Rabu (13/2/2019), teriakan mereka masih bertenaga mempromosikan pentingnya membersihkan sampah. Semua demi Yogyakarta.
”Ayo teman-teman, mari ikut bersihkan sampah. Jangan buang sampah sembarangan lagi,” teriak keduanya, bersahutan.
Keduanya tak sedang membentuk pencitraan politik. Tak ada calon legeslatif dan presiden yang diusung. Dua mahasiswa universitas negeri tingkat akhir itu melakukannya untuk Yogyakarta. Program ”Jogja Garuk Sampah” menjadi jembatannya.
Obyek yang disasar beragam, mulai dari sampah plastik di jalanan hingga sampah visual, seperti poster iklan yang dipasang tak beraturan dan tanpa izin. Sebagian iklan bahkan dipasang di alat pemberi isyarat lalu lintas. Merusak pemandangan dan membahayakan keselamatan.
Kirana bercerita, baru dua kali dia mengikuti kegiatan itu. Kirana mengaku, awalnya dia tidak mempunyai motivasi khusus, hanya mengisi waktu luang. Namun, setelah terlibat lebih dalam, Kirana mendapatkan penyegaran hati dan pikirannya.
“Ternyata yang memerhatikan sampah masih sedikit,” tutur Kirana.
Koordinator Jogja Garuk Sampah Bekti Maulana (22) mengungkapkan, kegiatan ini dimulai pada akhir 2014. Willian ”Bike”, inisiator Jogja Garuk Sampah, memulainya dengan membersihkan sampah di sekitaran Malioboro. Tujuannya, menggugah wisatawan agar tidak membuang sampah sembarangan di kawasan legendaris itu. Namun, pada 2015, Willian harus pergi meninggalkan Yogyakarta. Lalu, Bekti melanjutkan karya mulia itu.
”Saya juga awalnya hanya ikut-ikutan. Ternyata berlanjut sampai sekarang,” kata Bekti.
Waktu berjalan, Yogyakarta bukan hanya Malioboro. Ceceran sampah masih terlihat di banyak ruang publik. Sampah bekas bungkus makanan, minuman, atau sampah plastik lainnya kehilangan pemiliknya. Entah siapa yang tega membuangnya.
”Kami kemudian menyasar persimpangan-persimpangan dan trotoar di luar Malioboro. Harapannya, membangkitkan kepedulian semua orang yang ada di Yogyakarta,” kata Bekti.
Perlahan, kerja ini membuahkan hasil. Ada beberapa kelompok masyarakat yang tersentil. Mereka ikut terlibat melakukan hal serupa. Tak banyak bicara, semuanya ingin memberikan yang terbaik untuk Yogyakarta. Semangat merawat lingkungan tersurat dari pilihan hari pelaksanaan kegiatan.
”Kami sengaja melakukannya setiap Rabu malam. Rabu singkatan dari Rawat Bumi. Semangat ini akan kami tularkan kepada siapa pun. Dari orang yang lewat, pasti ada satu atau dua orang yang tergerak hatinya paling tidak enggak membuang sampah sembarangan,” ujar Bekti.
Dikhi Setiawan (24), peserta Jogja Garuk Sampah, menjadi salah seorang yang tersengat gerakan ini. Dia mengatakan, sebelumnya tak pernah membayangkan bakal aktif dalam kegiatan ini. Menurut Dikhi, ia kini jauh lebih peduli dan ingin bersahabat dengan kebersihan di sekitarnya.
”Ada perubahan besar yang saya rasakan. Sekarang, setiap membuka bungkus makanan atau minuman, seperti ada yang bicara di kepala saya. Jangan buang sampahnya sembarangan,” ujar Dikhi.
Akan tetapi, Bekti mengatakan, kegiatan ini tak sekadar hendak mengurangi paparan sampah. Ada makna sosial lebih tinggi yang coba diungkapkan. Salah satunya menjalin persahabatan antarmanusia lewat semangat guyub rukun bersama membersihkan sampah. Saat jiwa indivualistis mulai menyeruak, sampah menjadi perekat kearifan masyarakat yang bisa kapan saja menghilang.
"Kebersamaan yang menggembirakan itu yang saya rindukan dan sepertinya bisa dikuatkan lagi lewat kegiatan ini,” kata Bekti.
Malam semakin larut. Jarum jam menunjukan pukul 23.00. Saat sebagian warga lain mulai tertidur lelap, Kirana dan Vici bersama enam rekan lainnya masih sibuk membersihkan trotoar di Jalan Sultan Agung.
Semangat tak kendor. Tugasnya semakin beragam. Ada yang bertugas memasukkan sampah ke dalam kantong plastik berukuran besar. Sebagian mengorek iklan kertas yang ditempel di tembok, tiang listrik, hingga tiang lampu penerang jalan.
Tiga karung sampah berhasil mereka kumpulkan. Satu karung tingginya bisa mencapai sekitar 1 meter. Sampah dalam karung berupa plastik bungkus makanan atau minuman, daun-daun kering, dan bungkus rokok. Sampah itu nanti akan dibuang ke tempat pembuangan sampah sementara terdekat.
”Lumayan, sekarang sampahnya lebih sedikit. Tahun 2015-2017, sekali berkegiatan, sampah yang terkumpul bisa 10-20 karung. Mulai 2018 sampai sekarang, paling banyak cuma 5 karung,” kata Bekti, semringah.
Lewat sampah, kebersamaan dan kepedulian memberi bukti. ”Garuk Sampah” sudah memulainya. Anda?