Akhir Sang A380, Kemenangan Boeing
Airbus A380 adalah pesawat terbesar sejagad. Namun baginya, langit selalu penuh badai dan turbulensi sejak awal. Kini ketika usianya yang baru 11 tahun, lini produksi sang Superjumbo sudah dipastikan waktu kematiannya, 2021. A380 yang lebih kolosal, tak sanggup merampas predikat sang legenda dari yang dia gantikan, si Jumbojet Boeing 747.
Fabrice Bregier baru beberapa bulan menduduki posisinya sebagai Chief Operating Officer Airbus SE di awal 2017. Namun keningnya sudah berkenyit membaca laporan tebal yang disodorkan para anak buahnya. Dia harus memutuskan sebuah rencana suram dalam sejarah produsen raksasa pesawat terbang komersial tersebut.
Pesanan atas A380 pesawat raksasa berlantai dua yang bisa menampung hingga 800 penumpang (dengan konfigurasi sepenuhnya kelas ekonomi) tak jua menjanjikan. Maka Bregier pun mengumumkan rencana besar, lini produksi A380 akan sepenuhnya ditutup dalam beberapa tahun ke depan.
Bregier sesungguhnya sudah kenyang dengan berita suram tentang pesawat tambun yang gagasannya dilansir pada 1988 untuk menggerus habis pasar pesawat badan super besar andalan Boeing, 747, tersebut. Ditembatkan di pucuk manajemen Airbus dari lini produksi helikopter, Eurocopter, pada 2006, lelaki kelahiran Dijon Perancis itu harus membereskan kesalahan kalkulasi pemasangan seluruh jaringan kabel A380 produksi massal yang panjang totalnya hampir 500 kilometer.
Pengurutan ulang kabel itu menunda waktu penyerahan produksi perdana ke pelanggan sekitar 7 bulan. Airbus pun terkena penalti yang membuat perusahaan itu kehilangan potensi pendapatan sebesar 2,5 miliar dollar AS hingga 2010.
Beruntung badai 2017 berganti menjadi angin segar berembus setahun kemudian. Di awal 2018, maskapai penerbangan luks Uni Emirate Arab, Emirates memesan tambahan A380 sebanyak 35 buah (total pesanan menjadi 54). Sejak awal, Emirates memang sudah menjadi selang penyelamat bagi reputasi pesawat yang prototipe-nya pertama kali terbang pada April 2005 tersebut.
Ketika Airbus baru menyiapkan berbagai fasilitas pembuatan komponen A380 di berbagai negara anggota pada 2003, Emirates sudah melemparkan puluhan pesanan pasti. Maskapai memesan 41 pesawat, hampir 40 persen dari total jumlah pesanan pasti saat itu.
Kini pun, Emirates menjadi satu-satunya operator penting A380 di dunia. Berbeda dari semua maskapai besar dunia, Emirates hanya mengoperasikan dua jenis pesawat: A380 sebanyak 108 buah dan pesawat badan lebar twin engines canggih jarak jauh hemat bahan bakar, Boeing 777 sebanyak 164 buah.
Sayang, janji Emirates di awal 2018 itu hanya berumur sekian bulan. Di akhir tahun lalu, Emirates sadar dengan biaya besar pengoperasian A380. Mereka tak puas dengan kinerja mesin produksi Rolls Royce yang ternyata tak seekonomis yang dijanjikan. Pembicaraan tuk mencapai solusi baru tentang mesin yang lebih ramah maskapai komersial juga buntu.
Emirates pun mengisyaratkan, bakal mengganti pesanan A380 mereka dengan pesawat Airbus yang lebih ramah bahan bakar, A350—dan belakangan menambah dengan tipe lain, A330. Pukulan terhadap produksi A380 makin telak ketika awal Januari, Qantas mendahului dengan membatalkan pesanan 6 pesawat mereka. Maskapai Australia dengan reputasi amat baik itu berkilah, cukup puas dengan 12 A380 yang dimilikinya sekarang.
Menyerahnya Qantas membuat Emirates yang sudah kehilangan nafsu menjadi satu-satunya harapan bagi masa depan Superjumbo.
Menyerahnya Qantas membuat Emirates yang sudah kehilangan nafsu menjadi satu-satunya harapan bagi masa depan Superjumbo. Bagaimanapun hingga akhir Januari, pesanan 53 buah A380 dari Emirates belum dihapus. Itu satu-satunya yang menjanjikan. Lainnya hanya 3 pesawat pesanan maskapai Jepang All Nippon.
Memang masih tercatat 23 pesawat pesanan dari perusahaan leasing pesawat komersial, Amedeo dan Air Accord. Namun, pabrikan pesawat menyebut pesanan seperti itu sebagai zombie order, tak bakal jelas kepastiannya. Sebagai perusahaan pemasok pesawat—kerap termasuk awak dan pemeliharaan—kepada maskapai, keduanya sangat bergantung pada keseriusan niat dan rencana konsumen mereka. Air Accord sebagai contoh hampir dipastikan tak akan menindaklanjuti pesanan karena konsumen andalannya, Transaero Rusia telah gulung tikar.
Upaya Airbus untuk membujuk para konsumen tradisionalnya untuk menambah jumlah A380 juga tak berbuah. Alih-alih menambah, Air France bahkan berencana mengurangi separuh dari 10 Superjombo yang dioperasionalkan.
Malaysia Airlines sudah sejak tahun lalu menyadari, biaya operasi 6 A380 miliknya ternyata terlalu tinggi untuk skala bisnis perusahaan tersebut. Kini, pesawat dua lantai penuh itu dikonsentrasikan untuk mendukung penerbangan haji dan umroh, serta ketika masuk dalam musim-musim libur padat penumpang.
Berbeda dari Air France dan malaysia Air, British Airways menjawab lebih diplomatis. British Airways mengaku tetap berminat untuk menambah armada A380, tetapi hanya dengan syarat, jika harganya turun hingga sesuai dengan kantong maskapai penerbangan tersebut.
Valentine kelabu
Akhirnya, jadwal eutanasia A380 tersebut diumumkan Kamis, 14 Februari 2019. Tak ada cokelat valentine si hari kasih sayang dari Emirates pada hari itu. Sebaliknya, maskapai negeri gurun pasir itu memastikan, membatalkan sebagian besar pesanannya, dari 54 menjadi hanya 14 pesawat A380 baru.
"Emirates adalah pendukung setia A380 sejak awal. Kami menyesal tidak bisa bertahan dengan pesanan kami. Kami sedih, program ini (A380) tidak dapat terus berlanjut. Tetapi inilah kenyataan yang ada,” ujar pemimpin Emirates Sheikh Ahmed bin Saeed al-Maktoum.
Secara bisnis, Airbus tidak rugi-rugi amat. Pasalnya, Emirates mengganti pembatalan itu dengan pesanan baru, berupa 40 buah A-330 Neo dan 30 pesawat A-350-900. Namun begitu artinya, pabrik fasilitas Airbus kini hanya punya tanggung jawab untuk membuat 17 pesawat A380 baru: 14 buah untuk Emirates dan 3 untuk All Nippon Airlines.
Dengan jumlah pembuatan belasan pesawat itu, pesawat Superjumbo produksi terakhir bakal diserahkan pada pembeli pada 2021. Setelah itu, tamat. Pintu-pintu lini produksi A380 akan benar-benar ditutup.
"Ini keputusan yang menyakitkan. Kami sudah berinvestasi sangat banyak, upaya, sumber daya, dan keringat. Namun sangat jelas terlihat kami harus realistis,” ujar CEO Airbus Tom Enders.
Airbus jelas tidak bakal gulung tikar dengan kesudahan nasib A380. Namun, tentu penutupan tersebut berdampak pada sekitar 3.000 hingga 3.500 tenaga terampil dan ahli yang selama 12 hingga 17 tahun terakhir berfokus pada pembuatan pesawat tersebut.
Di internal Aibus sendiri, produksi A380 melibatkan kerja besar dalam fasilitasnya yang tersebar di Bremen, Varel (Jerman), Filton (Inggris), Illescas (Spanyol), Nantes dan Toulouse (Perancis). Belum lagi, Airbus juga melibatkan 36 perusahaan vendor dari 16 negara untuk membuat berbagai komponen dari ban, pintu pesawat, kelopak rem sayap (wing spoiler), hingga ujung ekor tegak.
Diperhitungkan, biaya penutupan fasilitas produksi A380 akan menggerus dana 463 juta euro. Selain itu, manajemen juga harus bersiap menjalani negosiasi panjang dengan serikat pekerja.
Membidik Sang Jumbo
Kelahiran Superjumbo A380 adalah jawaban Airbus atas merajalaelanya pesawat berloteng Boeing, 747. Saat itu, Boeing 747 adalah satu-satunya pesawat yang mampu terbang sangat jauh dan mengangkut penumpang hingga 500 orang (jika seluruhnya kelas ekonomi).
Maka pada 1988, Airbus merilis gagasan tentang pesawat penumpang berkapasitas amat besar, ultra high capacity airliner, UHCA. Gagasan itu pun dituangkan dalam konsep dan desain awal enam tahun kemudian, 1994, ngan kode A-3XX.
Airbus sangat optimistis dengan kehadiran penggusur Boeing 747 tersebut. Kenyataan saat itu memang mengarah pada kalkulasi para insinyur dan pemikir strategi bisnis Airbus. Bisnis pesawat terbang tumbuh kian tinggi. Jumlah penumpang semakin banyak.
Apalagi, pertumbuhan teramat besar terbaca di kawasan Asia, benua dengan populasi yang luar biasa. Kekuatan ekonomi di negara-negara Asia timur dan tenggara kian kokoh. Kebutuhan transportasi orang-orang di kawasan itu untuk ke Eropa dan Amerika yang jauh (juga sebaliknya) tercium bakal semakin membeludak.
Maka, proyek A-3XX pun berjalan terus. Sayang, keputusan untuk menekan lampu hijau itu—menurut Bregier di tahun 2015—terlalu cepat 10 tahun. Atau sebaliknya, produksi massal A380 dimulai terlambat 10 tahun.
Maskapai pengguna tertatih-tatih untuk bisa mengisi kapasitas pesawat (yang dengan konfigurasinya rata-rata menampung total 550-an penumpang) hingga ambang ekonomis untuk bisa terbang.
Di awal 2000-an saat A380 tengah berproses di tengah jalan, tren bisnis maskapai penerbangan telah kian mengkristal. Semua dipicu oleh harga bakar yang kian mahal dan fluktuasinya tak lagi bisa dipegang. Sehingga, perhitungan ekonomis antara ongkos menerbangkan pesawat (mulai dari bahan bakar, perawatan, hingga sewa parkir) dengan pemasukan dari jumlah penumpang menjadi pertimbangan utama kalau bukan satu-satunya.
Tak lama setelah produk-produk awal A380 diterima oleh pemesan pada 2017, hukum tersebut terbukti. Maskapai pengguna tertatih-tatih untuk bisa mengisi kapasitas pesawat (yang dengan konfigurasinya rata-rata menampung total 550-an penumpang) hingga ambang ekonomis untuk bisa terbang.
Katakanlah batas ekonomis itu akan tercapai jika 70 persen bangku terisi. Tentu berbeda mengejar 70 persen dari Boeing 747 yang 440 bangku (apalagi Boeing 767, 777, Airbus A-330 dan 350 yang 300 bangku) dengan A380 yang 550 bangku. Kalimat lain, upaya besar untuk mengumpulkan 300 penumpang agar A380 bisa terbang tanpa rugi sama artinya dengan sebuah keuntungan besar bagi maskapai jika jumlah penumpang itu dimasukkan dalam sebuah Boeing 777.
Dari sisi bahan bakar, secanggih apapun desain aerodinamis dan material A380, tubuhnya yang besar dan mesinnya yang empat tetaplah membuatnya sebagai gajah peminum avtur yang lahap.
Selain itu, Boeing 747 lahir ketika menumpang pesawat sekaligus adalah kebanggaan, pengalaman yang mengesankan. Orang akan bangga bukan kepalang jika bisa menumpang Boeing 747 misalnya. A380 hadir ketika pesawat terbang telah menjadi bus angkasa, airborne bus.
Senang tentu, tetapi bukan penumpang A380 tujuan penumpang. Yang mereka inginkan adalah penerbangan yang aman dan berharap sampai tempat tujuan sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Tak ada penundaan. Tak ada pembatalan.
Nyaman? Tak ada bedanya pesawat penumpang jarak jauh apapun, apalagi di kelas ekonomi. Ruang untuk badan dan kaki tetap relatif terbatas. Yang dilakukan selama 8 hingga 13 jam terbang adalah duduk. Jangka waktu selama ini tak berbeda antara naik A380 atau pesawat jenis lain. Dan sebagian besar aktivitas dalam penerbangan seperti itu adalah: tidur dalam posisi duduk, kaki tertekuk.
Kecuali tubuhnya yang super besar berlantai dua sepenuhnya, tak ada yang bisa diberikan A380 untuk memberikan pengalaman yang berbeda bagi penumpang. Ini berlainan dengan solusi yang diberikan duet British Aerospace dan Aerospatiale di 1970-an.
Ketika Boeing mengandalkan pesawat super besar 747, keduanya maju lewat pesawat penumpang supersonik dua kali kecepatan suara, Concorde. Kapasitas airliners bersayap delta itu memang kecil, 120 kursi, tetapi mampu memangkas waktu tempuh New York-London atau Paris dari sekitar 8 jam menjadi 3,5 jam. Ini pengalaman dan value yang betul-betul berbeda.
Sebaliknya karena tak ada bedanya dengan menumpang pesawat jenis lain, tak ada pula penumpang yang rela menunggu jadwal yang sesuai sehingga mereka bisa menumpang A380, bukan yang lain. Jika sudah begitu, mengapa maskapai harus berkeras membelinya? Animo yang biasa-biasa ini akhirnya tak mambantu meringankan overhead biaya menerbangkan si raksasa terbang.
Meski sama-sama bermesin empat, Boeing 747 juga sudah menang langkah—jauh di depan—ketika A380 lahir. Pasalnya, hampir sebagian besar bandara utama di negara-negara di seluruh dunia telah sesuai dengan kebutuhan 747.
Sebaliknya, sebuah bandara harus menghabiskan dana hingga puluhan juta dollar AS, ratusan miliar rupiah, agar mampu menerima pendaratan dan penerbangan A380. Ini untuk menambah panjang landas pacu jika masih kurang, perluasan apron, fasilitas garbarata dan sebagainya. Bandara Kastrup di Copenhagen Denmark misalnya, menghabiskan dana 50 juta dollar AS (sekitar 2008) agar bisa melayani Airbus A380.
Dalam 10-11 tahun beroperasi, A380 hanya beroperasi ke kurang dari 60 bandara di seluruh dunia. Di luar itu, tampaknya para pengelola bandara tak terlampau berminat untuk menyesuaikan arealnya dengan si tambun. Apalagi bagi bandara yang maskapai penerbangan nasional mereka tak memiliki A380.
Ini sangat masuk akal. Armada pesawat maskapai tuan rumah selalu menjadi penyumbang pemasukan terbesar kepada bandaranya karena di sanalah pesawat-pesawat tersebut paling sering berlabuh dan diistirahatkan. Artinya, uang sewa parkir dan lain-lain juga besar.
Kemenangan 747
Pengumuman Enders adalah pengakuan Airbus, Boeing dengan seri 747-nya telah menang. Dengan keunggulan waktu dan kelemahan Airbus dalam memprediksi timing membuat A380 keluar ring sebagai pecundang.
Sekarang hanya adalah 231 A380 yang sudah dibuat dan beroperasi, 245 buah di saat penutupan fasilitas produksi pada 2021. Sebaliknya sejak penyerahan perdana pada Pan Am pada 1969, Boeing 747 sudah diproduksi 1.533 buah dalam tiga generasi: 747-200, 747-400 (sejak 1985), dan 747-8 (2011). Sekarang pun masih sekitar 500-an Boeing 747 yang mengangkasa.
Meski tak melayani tantangan Airbus saat mengajukan A380 dan mempersilakan Airbus untuk melenggang menguasai pasar pesawat badan ekstra besar, Boeing lebih luwes dalam mengalihkan jurus bagi seri 747-nya: dari mengandalkan sebagai pesawat penumpang, menjadi pesawat barang.
Lewat usia pengalaman yang jauh lebih panjang, hampir 30 tahun begitu A380 lahir, Boeing telah piawai mengubah Jumbojet menjadi pesawat barang. Bahkan seri terbaru Boeing 747-8 yang mulai diproduksi 2011 pun lebih banyak diserahkan ke pengguna untuk kargo, 107 buah berbanding 47 sebagai pesawat penumpang.
Hingga sekarang pun Boeing tak pernah menutup fasilitas pembuatan 747-nya—meski pesawat terakhir kelar diproduksi dua tahun lalu yang merupakan pesanan Korea Airlines. Fasilitas itu tetap dibuka dan siap bekerja jika ada yang memesan 747 kargo.
Sebaliknya, Airbus belum menemukan desain yang benar-benar mantap untuk A380 versi barang. Ini lagi-lagi menjadi dilema bagi maskapai yang kini mengoperasikan A380 sebagai pesawat penumpang.
Sebagian besar maskapai-maskapai itu menjaga reputasi mereka dengan kebanggaan hanya menggunakan pesawat baru. Qatar Airways misalnya telah memastikan akan memensiunkan armada A380-nya jika sudah berusia 10 tahun. Saat ini, Qatar memiliki 10 pesawat yang mulai diterima sejak 2014.
Singapore Airlines yang mengoperasikan 21 pesawat juga merupakan armada yang ogah memelihara pesawat tua. Usia A380 tertua Singapore Airlines kini 11 tahun dengan rata-rata umur pesawat kurang dari tujuh tahun. Masalahnya, pasar pesawat A380 bekas belum terbentuk sekarang ini.
Setelah sekitar 40 tahun berkiprah dan menikmati kesuksesan demi kesuksesan, Airbus harus menerima sebuah kekalahan telak. Ini menjadi bagian sejarah yang harus mereka telan.
Pada awal 1980-an, hanya ada empat pabrikan airliners utama, yaitu tiga pabrikan AS Boeing, Lockheed Aircraft Corporation, McDonnell Douglas, dan anak bawang dari Eropa, Airbus. Keempatnya berbagi kue dalam bisnis penjualan pesawat komersial sedang hingga besar. Ini bisnis yang dari dulu penuh dengan angin puyuh yang bisa serta-merta menyapu peluang dan keuntungan secara tiba-tiba.
Angin puyuh itu dapat berupa kesalahan strategi si pabrikan sendiri: membuat pesawat yang terlalu besar, terlalu kecil, pesawat dengan biaya operasi yang terlalu tinggi dibandingkan yang bisa ditoleransi maskapai. Bisa juga pesawat itu punya ukuran yang pas, tetapi salah dalam memilih mesin. Atau, pabrikan itu memang sial dengan produk barunya.
Lockheed adalah pabrikan yang sekarat karena nasib sial produk andalannya, L-1011 Tristar produksi 1960-an. Tristar bermesin tiga—dua di bawah sayap dan satu di pangkal ekor tegak—diakui sebagai pesawat wide body terbaik. Aerodinamikanya pun paling dipuji.
Namun, penjualan Tristar tak pernah bagus. Hingga Lockheed putus asa dalam memasarkan dan menghentikan Tristar pada 1981, perusahaan itu sudah dibuat merugi 2,5 miliar dollar AS. Pada dekade itu pula Lockheed harus menyerah sebagai pemain dalam pembuatan pesawat terbang komersial.
McDonnel Douglas kandas karena melakukan kesalahan besar. McDonnel punya dua alternatif rencana sebelum 1980. Pertama, membuat pesawat badan lebar bermesin ganda yang ukuran tubuhnya tak terlalu besar. Kedua, mengejar Lockheed dengan membuat pesawat wide body bermesin tiga.
Pilihan yang kedua yang kemudian diambil. Kenyataannya, McDonnell Douglas DC-10 bermesin tiga (yang juga pernah dimiliki Garuda Indonesia) tak pernah menjadi pesawat yang benar-benar laris manis di pasaran.
Sebaliknya, konsep pesawat badan lebar bermesin dua menjadi andalan Airbus dengan melahirkan A-300. Pengembangan pesawat seperti inilah yang akhirnya bisa membuat Airbus beranjak dari sebuah perusahaan sekadar ada menjadi pabrikan besar. Jika saja McDac memilih alternatif pertama, mungkin saja cerita Airbus bisa berbeda.
Boeing tumbuh menjadi terkuat di 1980-an berkat konsepnya tentang pesawat ultra besar seri 747 yang lahir sejak penhujung 1960-an. Dan konsep itu pula yang coba ditantang Airbus dengan A380, alih-alih terus mengasah ciri khasnya sendiri sebagai pembuat airliners yang ekonomis.
Predikat terakhir itu disandang Airbus sejak awal. Pabrikan itulah yang paling setia dan sering paling dulu mengembangkan pesawat besar bermesin dua. Itu ditambah dengan Airbus pula yang pertama memperkenalkan teknologi winglet, sirip tegak kecil di ujung sayap peredam turbulensi yang ujung-ujungnya membuat pesawat lebih hemat bahan bakar.
Bagaimanapun pertempuran di kelas super berat telah berakhir. Airbus menderita kegagalan telak. Namun “perang” bagi kedua industri pembuat airliners terbesar itu masih jauh dari usai. Pertempuran terus berlangsung di kelas pesawat badan lebar canggih hemat bahan bakar antara Boeing 777 dengan A350.
Palanggan baru juga sudah dibuka di kelas pesawat jet regional berpenumpang maksimal 120-an. Ke depan, sangat mungkin pertempuran baru akan berlangsung lewat sodoran konsep pesawat anyar nan canggih lainnya. Yang pasti, Boeing dan Airbus tak akan berhenti bersaing untuk menjadi yang paling dominan, paling besar.