BEKASI, KOMPAS — Pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, yang amburadul memancing kemarahan warga. Untuk kesekian kali, warga menutup jalan masuk truk sampah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi yang hendak membuang sampah di lokasi tersebut.
”Penutupan itu terkait dengan pengelolaan TPA (tempat pembuangan akhir sampah). Kami ingin Pemerintah Kabupaten merapikan infrastruktur jalan, saluran air, dan penerangan jalan umum yang ada di sekitar TPA,” kata Aep (47), warga Kampung Jati, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Kamis (14/2/2019).
Aep mengatakan, penutupan jalan masuk TPA Burangkeng dilakukan pada Rabu (13/2/2019). Sejak pagi sampai sore, sebanyak 120 truk Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi mengular di jalan karena tidak bisa masuk ke TPA.
Sebelumnya, warga telah mengirim surat permohonan kepada Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air, Dinas Sosial, serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah pada 15 Januari 2019. Akan tetapi, tidak ada tanggapan resmi dari pemerintah daerah.
Warga Desa Burangkeng itu menambahkan, perbaikan jalan, saluran air, dan penerangan jalan umum di sekitar TPA Burangkeng penting bagi masyarakat. Sebab, TPA berada di tengah permukiman warga. Truk dan kendaraan warga melintas di jalan serupa.
Sementara itu, sebagian kondisi jalan berlubang, tidak rata, sehingga membahayakan pengguna jalan. Di jalan tersebut, sejumlah penerangan jalan umum terpasang, tetapi tidak berfungsi. Di sepanjang jalan itu pula, belum ada saluran air yang layak.
Selain tidak dilengkapi infrastruktur yang layak, peletakan sampah juga berantakan. Pada Kamis siang, sampah berceceran di jalan yang berjarak 100 meter dari gerbang TPA Burangkeng. Memasuki areal TPA, sampah tidak hanya terkonsentrasi pada gunungan-gunungan, tetapi juga di tepi jalan. Begitu juga air lindi dan bau busuk menguar ke mana-mana.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah TPA Burangkeng Maulan mengatakan, TPA juga sudah melebihi kapasitas atau overload sejak 2014. Tempat pembuangan seluas 11,6 hektar itu belum bisa diperluas karena harus mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Barat terlebih dahulu. Dalam RTRW tersebut, luas TPA ditetapkan 11,6 hektar dan berlaku hingga 2030.
Tak ada perbaikan
Berdasarkan catatan Kompas, TPA Burangkeng mulai digunakan secara resmi sejak 2001. Kemarahan warga atas pengelolaan TPA Burangkeng mulai terjadi tiga tahun setelahnya. Pada 2004, warga setempat menutup jalan masuk truk selama sepekan.
Warga Kampung Cinyosok dan Kampung Jati yang paling dekat dengan TPA memasang portal dari bambu untuk menghalangi truk. Mereka enggan membuka portal hingga Bupati Bekasi Saleh Manaf mau datang dan melihat pengelolaan sampah yang buruk (Kompas, 1/3/2004).
Abi (42), warga Kampung Cinyosok, Desa Burangkeng, mengatakan, hampir setiap tahun warga berunjuk rasa. Namun, hingga saat ini tidak pernah ada perubahan signifikan terhadap pengelolaan TPA dan pembangunan wilayah sekitar.
Kepala Desa Burangkeng Nemin mengatakan, aksi besar-besaran pernah dilakukan pada 2013. Saat itu, ia bersama jajaran Badan Permusyawaratan Desa dan pemuda karang taruna setempat juga menutup TPA dengan tuntutan serupa.
”Waktu itu, Pemerintah Kabupaten Bekasi mau mendengar, kami diberi dana sebesar Rp 7 miliar untuk pembangunan,” lanjutnya.
Selain itu, pemerintah menjanjikan pemberian dana bantuan sebesar Rp 5 miliar per tahun di luar anggaran dana desa (ADD) untuk pembangunan Desa Burangkeng.
Nemin menyebutkan, dana Rp 7 miliar itu digunakan untuk mengecor jalan sepanjang 4 kilometer. Sebelum itu, jalan masih berupa tanah. ”Namun, bantuan itu cuma setahun saja. Setelah itu, (Pemerintah Kabupaten) sudah lupa lagi,” ujarnya.
Bahkan, dana bantuan sebesar Rp 5 miliar per tahun pun tidak pernah terealisasi. Warga setempat sempat mencurigai Nemin mengorupsi dana tersebut.
”Desa kami juga tidak punya puskesmas,” kata Nemin.
Seluruh warga harus pergi ke puskesmas di Kecamatan Setu untuk berobat. Padahal, warga yang tinggal di sekitar sampah lebih rentan terkena penyakit. Baru dua tahun lalu, Nemin mendirikan puskesmas pembantu di kompleks kantor desa.
Selain itu, infrastruktur pendidikan juga memprihatinkan. Di Burangkeng, hanya ada empat sekolah dasar (SD). Belum ada sekolah untuk jenjang yang lebih tinggi.
Kompensasi
Een, warga Kampung Jati, Desa Burangkeng, mengatakan, warga yang hidup di tengah sampah tidak pernah mendapatkan kompensasi apa pun dari pemerintah. Mereka hanya mendapatkan kesempatan untuk menjadi pemulung.
Ia berharap, pemerintah mempertimbangkan pemberian dana kompensasi seperti yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk warga di sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi. Pengelolaan yang berbeda memang tampak jelas oleh warga sebab kedua tempat pembuangan itu hanya berjarak 3 kilometer.
Nemin menuturkan, ada sekitar 500 keluarga yang terdampak langsung akibat keberadaan TPA Burangkeng. Ia pun sudah berkali-kali mengajukan dana kompensasi dan perbaikan pengelolaan TPA kepada pemerintah kabupaten, tetapi hasilnya nihil.
Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Dodi Agus Suprianto mengatakan, belum ada anggaran untuk memberikan dana kompensasi bagi warga. Ia pun berharap dana tersebut bisa diadakan. Akan tetapi, warga perlu mengorganisasikan permintaan untuk seluruh warga dilengkapi dengan data seluruh warga terdampak untuk mengajukannya.
Ia menambahkan, permintaan perbaikan infrastruktur di sekitar TPA Burangkeng juga sudah dibahas oleh Bappeda.