Daerah Pemilihan DKI Jakarta II, yang meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri, menawarkan tantangan berlipat bagi para calon anggota DPR yang bersaing di wilayah itu. Selain persaingan sangat sengit akibat keberadaan para caleg petahana dengan keunggulan politik dan finansial, dapil ini juga menjadi medan pertarungan yang menantang dengan demografinya yang beragam.
Modal kuat untuk menghadapi tantangan ini sesungguhnya sudah dimiliki oleh caleg petahana apabila selama duduk sebagai anggota legislatif lima tahun terakhir mereka telah sungguh-sungguh bekerja menyentuh masyarakat dan menyalurkan aspirasi warga. Namun, apabila mereka terlena dan tidak memanfaatkan keunggulan ini, pintu terbuka bagi para caleg baru untuk bekerja keras berkampanye dan merebut kursi mereka.
Dalam Pemilu 2019, dapil ini menyediakan 7 kursi DPR, bertambah satu dari periode 2014–2019. Sementara itu, seluruh anggota DPR yang menduduki 6 kursi tersebut kembali maju untuk turut berkontestasi.
Saya bukan tipe yang datang (ke masyarakat) menjelang pemilu
Enam petahana tersebut adalah Muhammad Hidayat Nur Wahid (PKS), Eriko Sotarduga (PDI-P), Masinton Pasaribu (PDI-P), Biem Triani Benjamin (Gerindra), Melani Leimena Suharli (Demokrat), dan Lena Maryana (PPP).
Kesempatan untuk terlebih dulu menciptakan ruang komunikasi dengan pemilih di dapil adalah keunggulan politik yang menjadi modal kuat dalam pemilu, seperti yang diungkapkan Masinton Pasaribu, caleg petahana dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang juga anggota Komisi III DPR.
“Sebagai petahana, pola-pola interaksi ke masyarakat sudah terbentuk terlebih dahulu sebelum musim pemilu dimulai,” kata Masinton ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (14/2/2019).
Masinton menuturkan, sejak awal periode keanggotaannya Oktober 2014, ia telah mendirikan ‘Rumah Aspirasi Masinton DPR-RI’. Kata dia, ini adalah sebuah ruang di mana masyarakat dapat menyampaikan aspirasi kepada dirinya.
Di sana juga menjadi tempat kegiatan dan tempat menyusun agenda bersama masyarakat. “Dari interaksi itu ada sentuhan-sentuhan emosional kepada masyarakat,” kata Masinton.
Pandangan yang serupa juga disampaikan oleh Hidayat Nur Wahid, caleg petahana dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia menilai, strategi yang cukup ia lakukan adalah melaksanakan tugas dan kewajiban seorang wakil rakyat kepada masyarakat di dapilnya. Komunikasi dengan masyarakat secara berkesinambungan sejak awal masa jabatannya sebagai anggota DPR adalah strategi yang ia lakukan secara jangka panjang.
“Saya bukan tipe yang datang (ke masyarakat) menjelang pemilu. Saya anggota DPR sejak 2014, sesuai dengan prinsip itu, ada kunjungan dapil dan reses dan dalam kesempatan itu saya dapat menyerap aspirasi masyarakat dan menyampaikannya,” kata Hidayat.
Kemampuan para caleg petahana untuk membangun komunikasi dengan masyarakat dimungkinkan dengan pemanfaatkan fasilitas-fasilitas yang mereka nikmati selama ini sebagai anggota DPR. Mengumpulkan sisa uang dari berbagai aktivitas yang diikuti di DPR menjadi salah satu cara anggota DPR untuk mencari modal berkontestasi pada pemilu mendatang.
Fasilitas sebagai anggota DPR yang dapat dimanfaatkan seperti tunjangan kedewanan, dana reses, kunjungan kerja (kunker), atau sosialisasi empat pilar MPR. Jika anggota DPR dapat berhemat selama satu tahun, dapat terkumpul dana Rp 1-2 miliar (Kompas, 11/10/2018).
“Ya kalau dana reses memang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan di masyarakat. Kalau untuk spanduk dan alat peraga kampanye lainnya sudah dialokasikan dana di luar itu,” kata Masinton.
Masih terbuka
Pertarungan berat melawan petahana sudah disadari oleh Tsamara Amany, yang pertama kali maju sebagai caleg dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Politisi muda ini menyadari bekal popularitas dan dukungan finansial yang dimiliki petahana adalah lawan yang menantang.
Namun, Tsamara mengatakan, kemungkinan terpilihnya caleg baru masih terbuka karena tidak semua petahana memanfaatkan posisinya dengan maksimal, seperti jarang melakukan kunjungan ke masyarakat.
“Permintaan masyarakat ke saya biasanya cuma satu, ‘kalau terpilih tetap inget kami ya\'. Ini karena mereka merasa tidak diperhatikan oleh para anggota dewan yang mereka pilih sebelumnya,” kata Tsamara.
Untuk itu, Tsamara menggiatkan komunikasinya dengan para pemilih. Ia mengungkapkan sudah berkunjung ke 100 titik di dapilnya dan terus menggalang kekuatan dengan merekrut relawan-relawan.
Berdasarkan hasil survei Charta Politika yang dilaksanakan pada 18 Januari hingga 25 Januari 2019, Tsamara berada di peringkat lima caleg dengan elektabilitas tinggi di dapil DKI Jakarta II—melampaui petahana seperti Lena Maryana dari PPP.
Persaingan ketat dalam dapil ini juga diperparah dengan medan pertarungan yang menantang. Tsamara mengatakan, para caleg harus menyesuaikan strategi kampanye dengan kondisi demografis Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan pemilih luar negeri yang beragam.
Paling penting itu harus banyak turun ke masyarakat, bangun komunikasi
Berdasarkan data Litbang Kompas, warga dapil ini memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang paling tinggi di antara dapil lainnya. IPM 2017 menempatkan dapil DKI Jakarta II di posisi puncak dengan skor 82,31.
Kegiatan ekonomi yang berputar di wilayah dapil ini pun yang paling besar. Produk domestik regional bruto (PDRB) ini pun mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun. Di sisi lain, masih banyak kantong-kantong masyarakat segmen menengah-bawah di wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
Oleh karena itu, narasi yang disiapkan harus beragam untuk menyesuaikan dengan target kampanye caleg, tidak bisa hanya mengangkat satu gagasan ataupun program semata.
Tsamara mencontohkan, untuk kampanye di luar negeri, ia membawa topik-topik terkait dengan urusan imigrasi seperti masalah kelebihan masa tinggal (overstay). Sementara itu, untuk segmen menengah bawah, tema yang diangkat terkait Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau lapangan pekerjaan.
“Paling penting itu harus banyak turun ke masyarakat, bangun komunikasi,” kata Tsamara.
Membangun komunikasi dan menjalin kedekatan dengan masyarakat masih menjadi kunci sukses para caleg untuk memenangkan kontestasi pesta demokrasi 17 April mendatang.
Namun, perlu diingat, kunci sukses demokrasi Indonesia baru dapat diraih apabila caleg tersebut dapat terus menjalin komunikasi setelah terpilih dan benar-benar bekerja untuk rakyat. Semoga!