Ratusan Filsuf "Turun Gunung" Tolak Penggunaan Filsafat untuk Rusak Demokrasi
JAKARTA, KOMPAS - Menyikapi sengkarutnya opini yang berseliweran di ruang-ruang publik serta keterbelahan masyarakat akibat kontestasi politik, ratusan filsuf, akademisi, dan pemikir “turun gunung” dalam Diskusi Publik “Menolak Pembusukan Filsafat”di Cikini, Jakarta, Rabu (13/2/2019). Mereka sepakat menolak penggunaan filsafat untuk merusak demokrasi.
Tema diskusi “Menolak Pembusukan Filsafat” rupanya sangat menarik. Ini terbukti dengan sesaknya ruangan Tjikini Lima Cafe & Resto di bilangan Cikini kemarin siang.
Diskusi publik ini mendatangkan empat pembicara, yaitu sastrawan Goenawan Mohamad, dosen Filsafat Universitas Indonesia Donny Gahral Adian, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Akhmad Sahal, serta pemerhati politik Mochtar Pabottingi. Satu pembicara lagi dosen filsafat STF Driyarkara A Setyo Wibowo SJ tidak jadi hadir, tetapi menyerahkan tulisan yang dibacakan dalam diskusi.
“Di abad pertengahan, ada terminologi filsafat sebagai hamba/sahaya teologi, ancilla theologia. Tetapi, sekarang (terminologi itu) menjadi ancilla politica, filsafat sebagai hamba politik. Inilah yang akhirnya menyeret para filsuf keluar dari perpustakaan, keluar dari bacaan-bacaan beratnya, keluar dari tempat persembunyiannya untuk turun ke ruang publik membicarakan keresahan bersama,” kata Donny.
Menurut Donny, filsafat perlu masuk ke perkara-perkara publik karena ia memiliki fungsi klarifikasi dan bisa menjadi “lampu penerang” dari diskusi-diskusi yang sarat dengan konsep-konsep sumir. Dengan filsafat, siapapun bisa bergunjing dengan ide-ide yang bisa dipertangungjawabkan, bukan semata-mata retorika yang tidak ada fungsinya bagi kebenaran.
Hal yang paling mencemaskan saat ini adalah munculnya pemikiran-pemikiran yang sekadar dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik. Karena itulah, Donny berharap agar penggunaan filsafat untuk merusak demokrasi harus segera dihentikan.
“Yang diperlukan sekarang bukan siasat dan retorika yang terkesan agung tetapi maknanya tidak ada. Jangan terpukau dengan kata-kata indah tetapi penuh dengan inkonsistensi,”tambahnya.
Kebenaran yang abu-abu
Di tengah banjir informasi melalui media sosial, menurut Akhmad, masyarakat tidak tahu lagi mana yang benar dan salah. Bahkan, fakta pun kadang tidak dilawankan dengan kebohongan tetapi dengan alternatif fakta.
“Jadi semuanya kini mengklaim berdasarkan fakta. Begitu banyak banjir narasi, banjir versi mengenai kebenaran di dunia media sosial dan media secara umum. Orang mempertanyakan lagi demokrasi. Kebenaran yang menjadi momok (hantu) bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di dunia,” ujarnya.
Akhmad mengutip gagasan filsuf Jerman, Hannah Arendt yang menyebut dalam politik yang terjadi sebenarnya bukan pertukaran kebenaran, tetapi pertukaran opini yang selalu berdasarkan pada versi seseorang. Opini ini, menurut Hannah, akan menemukan nilai-nilai kebenaran jika dihadapkan pada ranah deliberasi melalui perdebatan dan dialektika.
“Dalam konteks demokrasi, pemikiran kritis selalu memberi tempat pada pertukaran. Asumsinya masing-masing opini mempunyai kebenaran tetapi parsial, demikian juga kesalahan tetapi parsial,” kata Akhmad.
Agar nilai-nilai kebenaran hakiki bisa ditemukan, maka siapapun perlu memperbanyak diskusi yang memberikan tempat pada kemungkinan benar dan kemungkinan salah dari pihak-pihak tertentu. Karena itulah, pembusukan filsafat terjadi ketika ia diklaim menjadi alat bagi suatu kaum tertentu.
“Melawan pembusukan filsafat bukan berarti kita lebih filosofis daripada yang lain tetapi bahwa tempatkanlah filsafat pada tempatnya sebagai instrumen kritis untuk mengawal kesehatan politik agar kebenaran yang faktual diperkuat dengan opini yang ada. Di sinilah, kita akan menemukan makna dari filsafat sebagai pencarian kebijaksanaan,” tambah Akhmad.
Dilandasi data
Setyo Wibowo mengatakan, kita bebas membentuk opini apapun karena kebebasan berpendapat dijamin oleh undang-undang. Namun, ada baiknya jika kata-kata mesti dilandasi dengan data karena hanya kata yang berlandaskan data yang perdebatannya akan menaikkan kecerdasan publik.
Di era keterbelahan publik akibat kontestasi politik saat ini, opini yang berseliweran di media sosial dan media televisi seringkali terlalu bersemangat sehingga tidak peduli lagi pada data, atau bahkan menciptakan data rekaan.
"Pasca kebenaran dan fakta alternatif menjadi mantra untuk menghinotis publik sehingga tidak tahu lagi mana data dan mana hoaks. Filsafat pun tidak lepas dari tuntutan itu. Filsafat tidak boleh melalaikan fakta keras bernama data supaya tidak menjadi obrolan yang menggelapkan, supaya tidak jatuh pada filsafat ‘KW’,” kata Setyo.
Sofisme atau kelihaian bersilat lidah disebut Setyo sebagai “filsafat KW Super Premium”. Di situ seperti terlihat ada orang yang berfilsafat. Tapi, meski tampaknya berkualitas super premium, namun ia tetaplah KW atau bukan asli.
Goenawan menambahkan, buruknya pendidikan di Indonesia menjadi persoalan besar bagaimana orang bisa bernalar. Ini terjadi karena pemikiran kritis tidak dibangun dan sebaliknya yang diajarkan hanyalah rumus-rumus.
Dalam diskusi ini, ratusan filsuf menandatangani pernyataan dan seruan. Menyikapi kondisi saat ini, mereka menyatakan enam sikap. Pertama, menolak praktik sofisme yang tidak lebih daripada permainan tipu daya berbungkus kelihaian silat lidah dan permainan kata untuk mengecoh lawan bicara dengan memajukan dalil-dalil seolah argumentasi, padahal sejatinya bukan, kedua menolak kesesatan pikir dengan mengabaikan kaidah-kaidah logika, dan ketiga mendorong praktik berpikir logis dan kritis demi menghindari kesekatan pikir.
Pada poin keempat, mereka menolak penyebarluasan informasi dan pesan-pesan kebencian yang bukan hanya merusak kepercayaan silang, melinkan mendorong permusuhan dan menegasikan alasan berdirinya Indonesia dan kelima mendorong perwujudan diskursus publik. Terakhir, poin keenam mendorong praktik politik demokratis, termasuk dalam kontestasi elektoral dengan bersandar pada norma-norma etis permusyawaratan rakyat.