Hardian (51), warga Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah menunjukkan tanaman yang mereka sebut gambir di hutan yang berjarak lima kilometer dari rumahnya, pada Sabtu (19/1/2019). Menurut warga sekitar, tanaman itu dipercaya bisa menyembuhkan penyakiit diabetes. Program pangan yang digulirkan pemerintah berisiko menggerus areal hutan di Kaltreng.
Rencana pembukaan kawasan hutan dinilai tidak tepat. Pemerintah daerah tidak belajar dari pembukaan lahan gambut sejuta hektar.
PALANGKARAYA, KOMPAS —Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mengajukan pelepasan kawasan hutan seluas 663.287 hektar untuk pencadangan program pangan atau food estate. Surat permohonan diajukan Februari 2017 kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Nantinya kawasan hutan itu untuk penanaman padi organik, singkong, tebu, cokelat, bambu, dan peternakan sapi. ”Kami pakai kawasan hutan lalu diajukan pinjam kawasan atau pelepasan,” kata Sekretaris Daerah Kalteng Fahrizal di sela Rapat Koordinasi Kesiapan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif Tahun 2019 di Palangkaraya, Rabu (13/2/2019).
Dari total kawasan 663.287 ha itu, 300.000 ha untuk padi organik di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan Kota Palangkaraya. Lalu, 273.287 ha untuk tebu di Barito Utara, Barito Selatan, dan Barito Timur.
Lahan 40.000 ha untuk singkong di Seruyan, 20.000 ha untuk cokelat di Barito Selatan dan Barito Utara, serta 20.000 ha untuk menanam bambu di Seruyan. Peternakan sapi di Sukamara 10.000 ha.
Menurut Fahrizal, meskipun menggunakan kawasan hutan, pembukaan tidak akan mengubah kawasan konservasi atau perlindungan lainnya. Program food estate diyakini membuka lapangan kerja baru. Bahkan, tenaga kerja lokal diperkirakan kurang sehingga akan dibuka transmigrasi.
Polemik
Rencana itu menuai polemik. Apalagi, pada 18 Desember 2018, Kalteng dinobatkan sebagai ibu kota paru-paru dunia oleh Komite Perdamaian Dunia. Salah satu indikatornya kawasan hutan.
Koordinator Save Our Borneo Safrudin mengungkapkan, daripada membuka kawasan hutan, lebih baik pemerintah menggunakan kawasan/kebun rakyat yang digarap masyarakat dengan pendampingan. Petani di Kalteng butuh peningkatan kualitas mengelola lahan.
”Saya tak melihat program ini untuk masyarakat. Ini mengakomodasi kepentingan investor,” kata Safrudin.
Banyak contoh kasus di Kalteng yang membuka kawasan untuk program ketahanan pangan, akhirnya jadi perkebunan kelapa sawit, khususnya jika dihubungkan dengan program transmigrasi.
Ia mencontohkan kawasan eks proyek pengembangan lahan gambut sejuta hektar di Kabupaten Pulang Pisau yang diawali transmigrasi dan kini jadi sumber kebakaran dan terbengkalai.
”Dari peta yang diajukan ke KLHK oleh Gubernur Kalteng bisa dilihat semua kawasan gambut tak cocok dengan komoditas dalam food estate,” kata Safrudin.
Hal serupa diungkapkan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalteng Dimas Novian Hartono. Menurut dia, optimalisasi lahan seharusnya ditujukan bagi masyarakat Kalteng. Pemerintah bisa menggunakan kawasan areal penggunaan lain, bukan kawasan hutan. (IDO)