Persempit Gerak Koruptor, Perbaikan UU Tipikor Mendesak
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS - Maraknya kasus korupsi di Indonesia menuntut Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang masih memiliki kelemahan mendesak diperbaiki. Apalagi Indonesia sejak lama meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC). Harapan itu disematkan kepada presiden terpilih Pemilu 2019.
Demikian benang merah yang mengemuka dalam Diskusi Publik bertema Prospek Pemberantasan Korupsi di Indonesia Pascapemilu 2019 dan Urgensi Perubahan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, Kamis (14/2/2019).
Hadir sebagai narasumber Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, mantan Hakim Agung Mahkamah Agung Artidjo Alkostar, ahli hukum pidana Universitas Brawijaya Malang Lucky Endrawati, dan ahli hukum pidana UMM Mokhammad Najih. M Fahrudin dari Malang Corruption Watch (MCW) sebagai moderator.
“Kita sudah usulkan (perubahan UU Tipikor) tapi sekali lagi (tergantung) komitmen pemerintah untuk bisa mewujudkan. Mudah-mudahan nanti kalau sudah terpilih pemimpin hasil pemilu, tapi syukur-syukur pemerintah yang sekarang, sedang berjalan,” ujar Agus.
Agus mencontohkan produk hukum lain, seperti UU Antiterorisme bisa selesai dalam waktu relatif singkat yakni satu bulan. Berkaca pada contoh ini, perbaikan UU Tipikor semestinya bisa diwujudkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Apalagi publik mendukung hal tersebut dan Indonesia sudah meratifikasi UNCAC sejak 2006.
Agus menyebut, dalam waktu yang masih tersisa, pemerintah sebenarnya bisa mewujudkan produk pengganti berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Tipikor.
Lebih komprehensifSementara itu Artidjo berpendapat, ideologi hukum UU Tipikor yang baru harus lebih komprehensif. Artinya, mencakup hal-hal yang selama ini belum dijangkau. Dengan demikian, ini akan mempersempit ruang gerak koruptor di Indonesia.
Ia mencontohkan, sektor privat yang berhubungan dengan tindakan yang tidak berkaitan dengan keuangan negara, mesti masuk ke UU baru. “Selama ini, kan, harus ada kerugian keuangan negara (pada kasus korupsi yang ditangani KPK). Jadi kalau itu diperluas maka ruang gerak koruptor di republik ini akan semakin sempit,” ucapnya.
Menurut Artidjo, rakyat Indonesia berhak optimistis menatap masa depan bebas korupsi. Hal itu bisa terjadi jika ruang gerak koruptor makin terbatas dan kinerja penegak hukum berintegritas. “Karena itu, kajian-kajian seperti hari ini harus diperbanyak. Artinya, publik semakin sadar letak kekurangan dalam UU,” katanya.
Artidjo setuju, siapa pun yang terpilih sebagai presiden dalam pemilu 2019 mesti segera merespons perbaikan UU Tipikor. Namun, di sisi lain, menurut dia, masyarakat sipil juga memiliki posisi penting mengawal hal ini. Jangan sampai publik hanya berpangku tangan menyerahkan masalah ini begitu saja ke penguasa.
Di akhir diskusi, MCW mengeluarkan pernyataan sikap dan mendesak institusi penegak hukum, pemerintah, DPR, dan kedua pasangan calon presiden dan wakilnya, untuk memberantas korupsi di segala sektor. Mereka harus melibatkan masyarakat sipil secara aktif dalam upaya pencegahan dan penindakan kasus korupsi.
“MCW juga mendesak pemerintah dan DPR segera membahas dan mengesahkan Rancangan UU Tipikor dengan melibatkan masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lain. Mendesak kedua pasangan calon Presiden dan wakilnya untuk menjadikan RUU Tipikor dan penguatan lembaga antikorupsi sebagai program prioritas,” kata Fahrudin.