Perlu Perundangan yang Melindungi Perkebunan Silo dari Pertambangan Emas
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS - Pencabutan Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus di Silo dirasa belum cukup untuk melindungi kawasan perkebunan silo. Warga berharap ada produk hukum yang mengatur bahwa kawasan silo tetap menjadi wilayah perkebunan.
Sementara dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jember, Silo memang masuk dalam wilayah pertambangan. Dokumen yang akan habis masa berlakunya pada 2020 tersebut diharapan dapat direvisi oleh Bupati Jember
Salah satu tokoh masyarakat Desa Pace, Kecamatan Silo Taufiq Nur Ahmadi menilai pencabutan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) bukan sebagai akhir perjuangan masyarakat dalam menolak pertambangan di Silo. Ia khawatir akan ada usaha lain dari pihak-pihak tertentu untuk tetap melegalkan usaha tambang di daerah tersebut.
“Karena itu sangat dibutuhkan sebuah aturan perundangan entah itu Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati untuk melindungi lahan perkebunan di Silo. Ini diperlukan agar ada kepastian hukum atas keberlangsungan hidup masyarakat Silo yang sejatinya adalah masyarakat agraris,” ujarnya ketika dihubungi dari Banyuwangi, Kamis (14/2/2019).
Taufiq mengatakan, apapun bentuk peraturan tersebut asalkan bertujuan untuk mencegak kerusakan sumber daya alam sekaligus tempat dan sarana hidup warga. Ia berharap peraturan tersebut dapat melindungi warga di sektor, sosial, ekonomi dan kesehatan.
Karena itu sangat dibutuhkan sebuah aturan perundangan entah itu Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati untuk melindungi lahan perkebunan di Silo. Ini diperlukan agar ada kepastian hukum atas keberlangsungan hidup masyarakat Silo yang sejatinya adalah masyarakat agraris
Hal senada disampaikan Ketua Forum Masyarakat Silo Hasan Basri. Masyarakat sangat berharap lahir sebuah Peraturan Bupati ataupun Peraturan Daerah sebagai bentuk keseriusan Bupati dan DPRD Kabupaten Jember terhadap nasib masyarakat Silo.
“Masyarakat Silo membutuhkan aturan perundangan yang mengikat guna melindungi alam di wilayah Silo. Aturan tersebut diharapkan dapat menjadi kepastian bahwa wilayah di Silo tetap sebagai areal pertanian tanpa merubah fungsi dasarnya,” tuturnya.
Sementara itu Bupati Jember Faida menjelaskan, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jember, Wilayah Silo masuk dalam wilayah pertambangan. Hal itu tampak dalam Pasal 47 Perda Kabupaten Jember Nomor 1 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jember tahun 2015-2035.
Dalam Pasal 96 Perda tersebut dinyatakan, RTRW Kabupaten Jember berlaku sejak 2015 hingga tahun 2035. Namun, klausul-klausul di dalamnya dapat ditinjau kembali satu kali dalam lima tahun.
“Di tahun 2020, kami akan berupaya untuk mengeluarkan Silo dari zona pertambangan. Kami akan tempatkan sebagai zona perkebunan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Saya Bupati Jember yang akan memperjuangkan revisi perda RTRW dan akan menerbitkan peraturan kepala daerah tentang lahan Silo sebagai zona LP2B,” ujar Faida tegas.
Secara terpisah Ketua DPRD Jember Ardi Pujo Prabowo mengatakan, DPRD Jember berkomitmen memperjuangkan aspirasi masyarakat. Ia berjanji akan membahas hal tersebut di internal DPRD utk menindaklanjuti penolakan masyarakat terhadap keberadaan tambang.
Di tahun 2020, kami akan berupaya untuk mengeluarkan Silo dari zona pertambangan. Kami akan tempatkan sebagai zona perkebunan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Saya Bupati Jember yang akan memperjuangkan revisi perda RTRW dan akan menerbitkan peraturan kepala daerah tentang lahan Silo sebagai zona LP2B
“Sangat dimungkinkan DPRD Jember menghasilkan sebuah peraturan perundangan untuk melindungi kawasan Silo dari pertambangan sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Sepanjang tidak melanggar aturan-atura di atasnya, DPRD Jember pasti akan memperjuangkan aspirasi masyarakat Silo,” tutur dia.