Negara yang pekan ini warganya tengah memandang harapan pada perdamaian, 30 tahun lalu menjadi saksi parade pasukan Uni Soviet. Parade kekalahan setelah invasi tahun 1979.
“Orang Rusia melambai dan tersenyum kepada massa. Mereka (prajurit Uni Soviet) terlihat lelah bertempur,” kata warga Afghanistan yang menjadi saksi peristiwa 15 Februari 1989 itu, Abdul Qayum (60).
Kala itu, ia tinggal di perbatasan di Hairatan. Di sana terletak jembatan di atas sungai Amu Darya. Satu sisi jembatan di Afghanistan, satu sisi lain di wilayah Uni Soviet. Jembatan itu dilewati konvoi tentara Uni Soviet yang meninggalkan Afghanistan.
Uni Soviet kehilangan 15.000 tentara selama masa invansi yang berlangsung pada 1979-1989. Mereka dikalahkan oleh Mujahidin, pasukan perlawanan Afghanistan.
Uni Soviet masuk ke Afghanistan atas nama solidaritas sebagai sesama negara komunis. Setelah kudeta pada 1978, Afghanistan dideklarasikan sebagai negara komunis.
“Ada banyak tentara. Mustahil menghitungnya. Mereka yang menyeberang ke Hairatan segera masuk ke Kabul. Mereka terus berjalan sepanjang hari dan malam,” kata Qayum mengenang hari kedatangan pasukan Uni Soviet.
Kala invasi dimulai, Moskwa mengira serbuan ke Afghanistan adalah misi mudah dan singkat. Sebab, yang dihadapi adalah milisi bersenjata lawas dan tidak teroganisasi dengan baik.
Namun, keadaan berubah setelah Mujahidin dapat dukungan dari banyak pihak. Dengan dana dari Arab Saudi, persenjataan dari Amerika Serikat, serta pasokan dari Pakistan, Mujahidin bisa menghadapi Uni Soviet. Setelah sembilan tahun berperang, Moskwa akhirnya mundur dari Afghanistan.
Keputusan itu sulit dipercaya, bahkan oleh milisi Mujahidin. Abdul Karim (79) masih remaja kala bergabung dengan Mujahidin. Ia termasuk yang sulit percaya keputusan Uni Soviet keluar dari Afghanistan.
Kala itu, ia berada di pegunungan dan menduga mana yang akan membunuhnya, musim dingin di pegunungan atau tembakan prajurit Uni Soviet. “Lalu saya mendengar (salah satu komandan Mujahidin) Ahmad Shah Massoud membahas soal Rusia (Uni Soviet) mundur dan kami bisa turun (dari pegunungan),” ujarnya.
Keberhasilan Massoud melawan Uni Soviet membuatnya dipuji di berbagai penjuru Afghanistan. Ia menjadi pahlawan dalam perang itu.
Salah seorang mantan milisi remaja Mujahidin di pegunungan tempat Massoud dan Karim bertugas masih ingat hari-hari pertempuran itu. Pria yang tidak mau namanya disebut itu mengatakan, berkali-kali Uni Soviet berusaha merebut daerah pegunungan. Mereka selalu gagal.
Perang Lanjutan
Milisi lain, Mohammad Salih mengatakan, penarikan pasukan Uni Soviet dirayakan besar-besaran oleh Afghanistan. Akan tetapi, kemenangan itu membawa kenyataan pahit : gagal membawa perdamaian ke Afghanistan. “Kami bahagia musuh pergi. Akan tetapi, kami juga tahu perang belum berakhir,” kata Karim.
Setelah Uni Soviet pergi, Mujahidin menghadapi pasukan pemerintah pimpinan Presiden Najibullah. Ketika Najibullah mundur, ganti terjadi perang di antara faksi-faksi Mujahidin. Salah satu faksi itu akhirnya memenangi perang saudara dan berkuasa pada 1996. Mereka dikenal sebagai Taliban.
Kekuasaan faksi itu berakhir pada 2001, saat Amerika Serikat menyerbu Afghanistan. Berselang 17 tahun kemudian, giliran AS memutuskan mundur dari Afghanistan setelah gagal menundukkan Afghanistan. Perwakilan AS dan Taliban kini sedang berunding untuk membahas nasib Afghanistan ke depan.
Tidak ada yang tahu hasil perundingan itu. Hal yang jelas, Afghanistan tetap terpecah dan dilanda perang hingga 30 tahun sejak Uni Soviet terusir (AFP/REUTERS)