Angka Harapan Hidup Kanker Anak di Indonesia Rendah
JAKARTA, KOMPAS — Angka harapan hidup kanker anak di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara maju. Kondisi ini diduga akibat masih banyaknya pasien kanker anak yang ditangani pada stadium atau stratifikasi lanjut.
Konsultan hematologi onkologi anak dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, Mururul Aisyi, di Jakarta, Kamis (14/2/2019), mengatakan, angka harapan hidup kanker anak (usia 0-18 tahun) di Indonesia hanya 50 persen. Padahal, di negara maju, seperti di Amerika Serikat dan sebagian besar negara di Eropa, angka harapan hidup kanker anak bisa lebih dari 80 persen.
”Bahkan, pada jenis tertentu di luar negeri, seperti leukemia, bisa 90 persen dan retinoblastoma 94 persen. Beberapa waktu lalu saya bertemu ahli kanker di Belanda. Dia berani bilang angka kesembuhan kanker leukemia pada anak mencapai 100 persen,” kata Aisyi.
Baca juga: Layanan Kanker Masih Terbatas
Menurut Aisyi, rendahnya angka harapan hidup kanker anak di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, kesadaran masyarakat terhadap penyakit kanker masih rendah. Ketika mucul gejala kanker pada anak, orangtua tidak langsung menyadari sehingga terlambat ditangani.
Faktor selanjutnya, masih tingginya kepercayaan terhadap ilmu semu atau pseudosains. Ketika anaknya mengalami gejala kanker, sebagian orangtua memilih pengobatan alternatif yang belum teruji khasiatnya secara ilmiah.
Selain itu, pola rujukan fasilitas kesehatan juga menjadi penyebab. Aisyi mengatakan, selama ini penanganan kanker, termasuk kanker anak, disamakan dengan penyakit infeksi. Pola rujukannya dimulai dari rumah sakit tipe C, kemudian tipe B, baru ke tipe A. Sebaiknya pola itu dibalik agar penentuan stadium atau stratifikasi lebih presisi sehingga langkah penanganannya lebih tepat.
”Rumah sakit tipe A biasanya punya perangkat diagnosis yang lebih presisi. Setelah diagnosis presisi, terapi awal sudah dilakukan, baru kemudian bisa dialihkan ke rumah sakit yang tipenya lebih rendah. Jangan tunggu responsnya tidak bagus dulu terhadap pengobatan baru dirujuk ke level rumah sakit lebih tinggi,” ujarnya.
Faktor lainnya, yaitu perawatan suportif yang belum optimal. Faktor genetik diduga juga turut berpengaruh. Gen warga Indonesia yang beragam berbeda dengan gen ras lainnya sehingga respons pada pengobatan kanker juga berbeda.
Baca juga: Perilaku Hidup Sehat Tekan Risiko
Ditemui di lokasi berbeda, Ketua Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKAI) Sallyana Sorongan mengatakan, rendahnya angka kesembuhan juga dipicu karena terbatasnya akses layanan kesehatan untuk kanker anak. Jumlah dokter, rumah sakit, dan obat-obatan masih terbatas dan umumnya terpusat di kota-kota besar. Dampaknya, pasien kanker anak terlambat ditangani.
Sejak 2010, YKAI telah membantu pengobatan total 900 pasien kanker anak kurang mampu (anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan kelas III). Sebanyak 300 anak masih dalam masa pengobatan dan sisanya telah selesai. Dari jumlah yang telah selesai, separuhnya tidak tertolong. ”Kalau ditangani lebih cepat, mungkin angka harapan hidupnya lebih besar,” kata Sally.
Dewan Pengawas YKAI Ruth Setiabudi menambahkan, keterbatasan jumlah dokter juga menghambat proses pengobatan. ”Kadang-kadang pun, kalau pasien sudah dirujuk ke Jakarta, untuk membuat janji ketemu dokter bisa berbulan-bulan. Meskipun sudah positif kena kanker, pasien baru bisa bertemu dokter dua bulan kemudian karena jumlah dokter terbatas,” ujarnya.
Belum diketahui
Aisyi menjelaskan, sejauh ini penyebab kanker anak belum diketahui. Namun, penyebabnya diduga berbeda dengan kanker pada orang dewasa yang lebih banyak dipicu oleh gaya hidup dan lingkungan. Kanker pada anak lebih dominan dipicu oleh ketidakstabilan genetik dibandingkan faktor gaya hidup dan lingkungan.
Kanker pada anak ada yang diturunkan ada yang tidak. Faktanya, cuma 10 persen yang diturunkan dari orangtua yang membawa gen kanker.
”Kanker pada anak ada yang diturunkan ada yang tidak. Faktanya, cuma 10 persen yang diturunkan dari orangtua yang membawa gen kanker. Anak baru lahir atau baru beberapa bulan sudah kanker, berarti faktor lingkungan lebih sedikit. Ketidakstabilan genetik lebih berperan pada kanker anak karena itu respons terapinya lebih baik,” kata Aisyi.
Baca juga: Akses Layanan Kesehatan bagi Pasien Kanker Anak Masih Terbatas
Ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional Soehartati Gondhowiardjo, sebelumnya, menjelaskan, tidak ada faktor tunggal penyebab kanker. Gen bawaan kanker yang dibawa anak akan tumbuh menjadi kanker jika didukung oleh faktor risiko lainnya yang didapat dari luar.
Kompas (17/2/2019) mencatat, ada enam jenis kanker pada anak, yaitu leukemia (kanker darah), retinoblastoma (kanker mata), osteosarkoma (kanker tulang), limfoma maglima (kanker kelenjar getah bening), neuroblastoma (kanker saraf), dan karsinoma nasofaring (kanker pada tenggorokan).
Soehartati mengatakan, leukemia merupakan kanker terbanyak diidap anak, diikuti retinoblastoma dan limfoma maglima. Persentase kanker leukemia pada anak berkisar 60-70 persen dari total kasus.
Aisyi menambahkan, kasus baru kanker anak di Indonesia berkisar 5.000-6.000 kasus per tahun. Jumlahnya menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan Sistem Registrasi Kanker Anak Departemen Kanker Anak Rumah Sakit Kanker Dharmais, jumlah penderita kanker anak meningkat terus, pada 2015 sebanyak 156 anak, pada 2016 sebanyak 164 anak, dan pada 2017 sebanyak 278 anak (Kompas, 15/2/2018).
Peningkatan itu sejalan pula dengan peningkatan kasus kanker secara umum. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar, prevalensi tumor/kanker di Indonesia 1,79 per 1.000 penduduk (2018), meningkat dari 1,4 per 1.000 penduduk (2013). (YOLA SASTRA)